- Randy Wirayudha
- 26 Mei
- 5 menit membaca
SELAMA ini, urusan umrah dan haji ditangani Kementerian Agama. Tapi tahukah Anda di balik sejarah berdirinya kementerian itu pada 79 tahun silam ada peran Wapres Mohammad Hatta di dalamnya? Begini kisahnya.
Sampai tiga bulan Republik Indonesia berdiri, pemerintah belum menaruh perhatian pada sebuah lembaga yang mengurusi persoalan agama. Padahal, di zaman kolonial ada badan yang mengurusinya, Departement van Onderwijs en Eredienst, en Nijverheid (Departemen Pendidikan, Ibadah, dan Industri Kerajinan). Pun di masa pendudukan Jepang, ada Shubumu alias Kantor Urusan Agama.
Persoalan itu menjadi concern tiga tokoh Masyumi yang juga anggota Komite Nasional Indonesia (KNI) Karesidenan Banyumas: H. Moh. Saleh Suaidy, M. Sukoso Wirjosaputro, dan KH. Abu Dardiri. Isu itu dibawa ketiganya ketika mengikuti sidang pleno Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) di Gedung Pendidikan Tinggi Kedokteran (kini Gedung Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia) Salemba, Jakarta, pada 23-28 November 1945.
“Usul utusan KNI Banyumas itu mendapat sambutan positif dan diperkuat anggota KNIP, M. Natsir, Dr. Mawardi, Dr. Marzuki Mahdi, N. Kartosudarmo, dan lain-lain. Presiden Sukarno yang hadir dalam sidang KNIP itu memberi isyarat kepada Wakil Presiden Mohammad Hatta. Maka berdirilah Hatta dan menyatakan, ‘Adanya Kementerian Agama tersendiri mendapat perhatian Pemerintah,’” ungkap Lukman Hakiem dalam Biografi Mohammad Natsir.
Usulan yang disetujui itu kemudian berbuah pembentukan Kementerian Agama pada 3 Januari 1946. H. Rasjidi yang sebelumnya menjabat menteri negara urusan agama pun menjadi menteri agama yang pertama.
Misi Diplomasi Sembari Berhaji
Sudah sejak abad ke-14 orang-orang di Nusantara berhaji dan jamaahnya kian masif sejak abad ke-19. Di masa revolusi kemerdekaan, Wapres Hatta melihatnya tak semata sebagai fenomena ritual, melainkan bisa “didomplengi” untuk tujuan politis. Maka Bung Hatta, yang juga perdana menteri dari Kabinet Hatta I sejak 29 Januari 1948, merencanakan misi haji khusus.
Menjelang musim haji 1948, Bung Hatta memanggil Menteri Agama KH. Masjkur dan menginstruksikannya untuk membentuk tim misi haji. Sambil menunaikan ibadah haji, tim juga mesti menemui penguasa Arab Saudi, Raja Abdulaziz bin Abdul Rahman al-Saud.
“Hatta memanggil Menteri Agama KH. Masjkur ke kediamannya di Reksobayan, Yogyakarta. Pada pertemuan itu, Bung Hatta memerintahkan Kiai Masjkur untuk mengirim Misi Haji ke Tanah Suci. Wapres mengatakan bahwa selama ini kita berjuang dengan senjata terbatas dan tekad meluap-luap. Bung Hatta meminta supaya Misi Haji yang akan dibentuk oleh Kiai Masjkur berdoa di Makkah, Arafah, Mina, dan Madinah untuk kemenangan perjuangan bangsa Indonesia. Di akhir pembicaraan, Bung Hatta mengatakan, ‘Pemerintah tidak punya uang. Karena itu ongkosnya supaya dicari sendiri,’” tulis Lukman Hakiem dalam Utang Republik pada Islam: Perjuangan Para Tokoh Islam dalam Menjaga NKRI.
Bukan tugas yang mudah tentunya bagi KH. Masjkur. Kala itu bibit-bibit konflik dengan kalangan kiri dan Partai Komunis Indonesia (PKI) pimpinan Munawar Musso mulai muncul dan terus memuncak dengan klimaksnya pemberontakan di Madiun pada 18 September 1948.
KH. Masjkur sendiri harus berperjalanan dari Yogyakarta ke Solo pada 19 September 1948, daerah yang turut terdampak Madiun Affair, untuk menemui, Ketua Mahkamah Tinggi Islam KH R. Mohammad Adnan, yang sudah tidak asing dengan suasana politik di Arab Saudi.
KH. Adnan kemudian berkenan memimpin misi haji yang direncanakan itu. Tim misi haji pun kemudian dibentuk. Anggotanya: H. Sjamsir Sutan Rajo Ameh, Ismail Banda, H. Moh. Saleh Suaidy.
Sebelum berangkat, tim tersebut terlebih dulu menghadap Presiden Sukarno dan Wapres/PM Hatta di Yogyakarta. Bung Karno menitipkan sebilah keris sebagai hadiah untuk Raja Abdulaziz. Sementara Bung Hatta mengamanatkan agar KH. Adnan dkk. menyebarkan kabar tentang perjuangan bangsa Indonesia sekaligus mendoakannya sembari menjalani ritual-ritual ibadah haji.
Terlepas dari fakta tim akhirnya berangkat ke Saudi, ongkos pulang-pergi tim itu masih jadi misteri. Sebab, pemerintah RI masih kesulitan finansial. Beberapa sumber menyebutkan, pada akhirnya pemerintah memberi sangu sebesar Rp3.500. Sumber lain ada yang menyebut misi itu dibiayai uang hasil perdagangan candu. Ada pula sumber yang menyebut ongkosnya didapat hasil penjualan segenggam berlian milik H. Sjamsir.
“Sesaat sebelum Bung Hatta berhenti sebagai wakil presiden, beliau menawarkan apakah H. Syamsir mau menerima uang pengganti ongkos karena memang Republik Indonesia berutang kepadanya. Tawaran Bung Hatta ini ditolaknya dengan halus, karena dia memang ikhlas mengorbankan berliannya demi perjuangan,” singkap Mahbub Djunaidi dalam Humor Politik.
Terlepas dari itu, tim misi haji pimpinan KH. Adnan itu berangkat pada 26 September 1948. Rutenya: Yogyakarta-Bangkok-Kalkuta-Kairo-Jeddah. Dari Pangkalan Udara (Lanud) Maguwo, rombongan misi haji itu bertolak dengan pesawat sewaan milik maskapai Pacific Overseas Airlines Service menuju Bangkok, Thailand.
“Pesawat yang dicarter pemerintah RI itu tentulah harus berhati-hati. Demi keselamatan dan agar tidak dicegat pesawat tempur Belanda maka hari dan jam pemberangkatan (pukul 2 pagi) dirahasiakan. Dari Bangkok Misi Haji RI harus mencari pesawat lain yang dapat membawanya sampai di Jeddah,” tulis Abdul Basit Adnan dan Abdulhayi Adnan dalam artikel “Prof. K.H.R. Mohammad Adnan dan Pemikirannya dalam Islam” di buku Lima Tokoh IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Dari Bangkok, pesawat yang melayani rute-rute Timur Tengah hanyalah maskapai milik Belanda, KLM. Tim misi terpaksa menumpang maskapai KLM sampai tiba di Kairo pada 6 Oktober 1948. Rombongan disambut para pelajar dan perwakilan RI. Selain rehat satu hari, tim juga mesti berbelanja busana formal untuk beranjangsana ke keluarga Kerajaan Saudi.
Sebagaimana juga di Kairo, ketika tiba di Jeddah pada 7 Oktober 1948, rombongan misi haji juga disambut warga Indonesia yang bermukim di sana. Setelah diterima perwakilan Kementerian Luar Negeri Saudi, pada 10 Oktober menjelang puncak ibadah haji tim tersebut bisa bertamu ke istana Raja Abdulaziz al-Saud.
“Misi Haji diantar oleh wakil RI untuk negara-negara Arab, H. Rasyidi dan stafnya melakukan kunjungan resmi kepada Raja Ibn Saud di istananya di Makkah. Raja Ibn Saud mempersilakan para tamu duduk berdampingan dengannya. Temu wicara dengan Raja Ibn Saud berlangsung kurang lebih 20 menit dan setelah itu Mohammad Adnan menyampaikan amat Presiden RI, menyerahkan sebilah keris berhulu emas. Dengan wajah berseri-seri Raja menerima kenang-kenangan itu dan mengucapkan terima kasih,” lanjutnya.
Kemudian di sela-sela ibadah haji, tim misi haji juga mengadakan pertemuan dengan warga Indonesia. Dalam beberapa ritual haji, tim mendapatkan beberapa fasilitas tenda-tenda korps diplomatik negara-negara Islam saat di Mina. Di sela-sela ritual haji lain, mereka juga bersua para tokoh Islam Timur Tengah, salah satunya Hassan al-Banna, pemimpin Ikhwanul Muslimin.
“Selama di Makkah, mereka (tim misi haji) juga mengibarkan bendera merah putih sesuai pesan Mohammad Hatta. Bendera itu juga dikibarkan di Arafah dan Mina. Ismail Banda juga ditugaskan untuk memperkenalkan perjuangan Indonesia melawan Belanda,” ungkap Ja’far dalam Biografi dan Karya Ismail Banda.
Tim misi haji pun selesai menunaikan ibadah haji sembari mengusung misi diplomatik. Sebelum kembali ke tanah air, pada 23 Oktober 1948 mereka kembali menghadap Raja Abdulaziz untuk pamit. Mereka kembali juga dengan rute sama dengan rute berangkat.
“Perlu diketahui bahwa saat itu Konsulat Belanda di Arab Saudi juga mengirim misi haji (Misi Dhiran). Tetapi dengan kedatangan misi haji Indonesia, misi haji bikinan Belanda tidak mendapat perhatian dari pemerintah Arab Saudi. Hasil positif diplomasi haji ini mendekatkan negara-negara Arab dan dunia Islam kepada perjuangan bangsa Indonesia. Sesara politis menggugah simpati negara-negara Islam baik de facto maupun de jure mereka mengakui kedaulatan RI,” tandas buku Amal Bakti Departemen Agama R.I., 3 Januari 1946-3 Januari 1996: 50 Tahun Departemen Agama, Eksistensi dan Derap Langkahnya.*
Comments