- Randy Wirayudha
- 23 Mei
- 5 menit membaca
SOSOK Bacharuddin Jusuf Habibie dikenal sebagai teknokrat yang bergelut dalam bidang sains dan teknologi. Namun di balik itu ia juga sosok yang relijius karena tumbuh di lingkungan keluarga yang kuat agamanya. Rukun Islam pun ia jalankan baik semasa meniti karier di Jerman hingga saat sudah jadi menteri sepulangnya ke Indonesia, termasuk rukun terakhir, haji.
Seperti kebanyakan muslim di Indonesia, Habibie termasuk yang lebih dulu menjalani ibadah umrah sebelum berhaji. Habibie yang sudah menjabat menteri negara riset dan teknologi (Menristek) sejak 1978 menjalankan umrah pada 1983 setelah ditegur sang ibunda, Tuti Marini Puspowardojo.
“Sahabatmu kan sekarang di Arab Saudi. Aturlah dengan kawanmu itu, kapan kau sekeluarga pergi umrah. Tunaikanlah umrah sebaik-baiknya. Ini semua petunjuk Tuhan dengan adanya temanmu di sana,” ujar sang ibu pada Habibie via telepon, dikutip Andi Makmur Makka dalam True Life of Habibie: Cerita di Balik Kesuksesan.
Sahabat yang dimaksud adalah Letjen (Purn.) Achmad Tirtosudiro, duta besar (Dubes) RI untuk Arab Saudi, Yaman, dan Oman periode 1982-1985. Dialah yang dikontak Habibie yang mengiyakan perintah ibunya.
Pada Januari 1983, Habibie pergi umrah membawa serta sang istri, Hasri Ainun Besari, dan kedua putranya, Thareq Kemal Habibie dan Ilham Akbar Habibie, serta dua asisten menteri. Dubes Achmad Tirtosudiro pula yang ikut mendampingi rombongan Menristek Habibie ketika tawaf di Masjidil Haram, sa’i di antara Bukit Safa dan Marwah, serta meninjau ke Padang Arafah, Jabal Rahmah, mengunjungi Mina. Tak lupa rombongan Habibi melengkapinya dengan ziarah ke makam Nabi Muhammad SAW dan iktikaf di Masjid Nabawi di Madinah.
Setelah merampungkan umrah, Habibie tentu berkeinginan untuk berhaji yang jadi rukun Islam kelima. Sebab, kesempatan itu “hadiah” langsung Sang Pencipta yang tak pernah diduganya. Mulanya ia berniat akan berhaji jika musim haji jatuh di musim dingin. Namun diperkirakan itu bisa satu dekade ke depan. Jelas terlalu lama. Di tengah kondisi itulah ia mendapat undangan khusus dari Pangeran Sultan bin Abdulaziz al-Saud.
“Di awal tahun 1984 Pangeran Sultan Abdulaziz berkunjung ke Indonesia. Salah satu acaranya di Indonesia sebagai Wakil Perdana Menteri II, Menteri Pertahanan dan Penerbangan Sipil serta Inspektur Jenderal adalah mengunjungi Industri Pesawat Terbang Nusantara. Ia sudah banyak mendengar mengenai B.J. Habibie dan pangeran ini amat gembira dan bangga bahwa ada orang Asia, muslim lagi, yang mampu membangun dan memimpin industri penerbangan teknologi tinggi,” lanjut Makmur Makka.
Pada akhir kunjungannya, Pangeran Sultan Abdulaziz menyampaikan undangan berhaji untuk Habibie dengan dibolehkan membawa rombongan tak terbatas. Maka pada musim haji 1984, Habibie dengan senang hati memenuhi undangan itu. Selain istri dan anak-anaknya, rombongannya termasuk ibunda, ibu mertua, dan beberapa kerabat lain, serta asisten dan dokter pribadinya.
“Saya terpanggil naik haji tahun ini. Sudah lama ini saya niatkan,” terang Habibie dikutip Tempo edisi 25 Agustus 1984.
Suhu yang panas di musim haji itu tak jadi kerisauan Habibie. Pasalnya, ia dan rombongannya di Tanah Suci dijamu laiknya raja. Fasilitas eksklusif dan mewah yang diperoleh rombongannya antara lain disediakan AC (air conditioner) selama berada dalam perjalanan maupun di tenda lokasi tempat ritual-ritual haji.
Habibie kembali menunaikan ibadah haji pada musim haji 1988. Bedanya, kali ini Habibie ingin pergi sebagaimana warga Indonesia biasa alias tanpa jamuan mewah seperti sebelumnya.
Namun, rencana berhajinya tetap diketahui pemerintah Arab Saudi. Sebab, Kedutaan Arab Saudi di Jakarta mengetahui ada permintaan visa dari Habibie sehingga akhirnya kembali menjamunya sebagai tamu khusus.
Menata Penyelenggaraan Haji
Prabowo Subianto tercatat dalam sejarah jadi presiden pertama yang secara langsung melepas calon jamaah haji pada 4 Mei 2025 lalu. Namun, undang-undang (UU) penyelenggaraan haji pertamakali dibahas dan disahkan di masa kepresidenan Habibie.
Meski masa pemerintahannya terbilang singkat dan disibukkan dengan agenda-agenda reformasi dalam bidang sosial, ekonomi, dan politik, setidaknya penyelenggaraan haji juga jadi perhatian. Pengalaman sekali umrah dan dua kali naik haji semasa masih jadi menteri tampaknya sedikit-banyak mempengaruhi kebijakannya dalam penataan penyelenggaraan haji yang di masa itu masih jadi urusan pelaksanaannya Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji (Ditjen Bimas Islam dan Urusan Haji) Departemen Agama RI.
Menukil penelitian tesis bertajuk “Kebijakan Penyelenggaraan Perjalanan Haji Indonesia Tahun 1945-2000 M” oleh Rina Farihatul Jannah dari Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel Surabaya tahun 2018, pemerintahan Habibie memulai penataan penyelenggaraan haji dengan mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) No. 119 Tahun 1998 yang ditetapkan pada 11 Agustus 1998. Habibie mengeluarkan keppres itu sebagai perubahan atas Keppres No. 62 Tahun 1995 Tentang Penyelenggaraan Urusan Haji, khusus untuk merevisi Pasal 15 tentang angkutan jamaah haji.
Di Keppres 62/1995, Pasal 15 butir kedua berbunyi: “Angkutan jamaah haji ke/dari Arab Saudi dilakukan oleh perusahaan angkutan nasional yang penunjukannya dilakukan oleh Menteri Agama setelah mendapat pertimbangan Menteri Perhubungan”. Sedangkan Keppres 119/1998 khusus mengubah bunyi Pasal 15 yang berbunyi: “Angkutan jamaah haji ke/dari Arab Saudi dilaksanakan oleh perusahaan angkutan udara yang penetapannya dilakukan oleh Menteri Perhubungan berdasarkan biaya yang paling rendah dengan tidak mengurangi aspek keselamatan dan keamanan”.
Dengan begitu artinya mulai di era pemerintahan Habibie, perusahaan angkutan nasional, dalam hal ini maskapai Garuda Indonesia, tidak lagi memonopoli angkutan jamaah haji dan sekaligus membuka pintu bagi maskapai swasta, baik domestik maupun asing. Boleh jadi ini juga berangkat dari pengalaman Habibie ketika pergi haji pertama kali ke Tanah Suci atas undangan pribadi Pangeran Sultan Abdulaziz pada 1984 lalu, di mana rombongan Habibie saat itu disediakan akomodasi dengan maskapai Saudi Arabian Airlines (kini maskapai Saudia).
“Habibie menggunakan pesawat menggunakan pesawat Saudia Airlines kelas satu. Setelah mendearat di Jeddah ia langsung diterima protokoler istimewa. Untuk penerbangan kembali ke tanah air semula ia menolak karena seharusnya terbang dengan Garuda Indonesia dan sudah memesan tempat. Akan tetapi setelah Habibie berkonsultasi dengan Departemen Agama, jawaban yang diterima, ‘Karena itu undangan resmi dari keluarga kerajaan, tidak ada salahnya menggunakan Saudia Airlines’,” sambung Makmur Makka.
Selain itu, Keppres 119/1998 itu juga diharapkan bisa menekan Ongkos Naik Haji (ONH) karena maskapai swasta manapun boleh memberikan penawaran tarif angkutan haji yang rendah meski syaratnya tanpa mengabaikan sisi keselamatan dan keamanan. Bukti nyatanya baru tampak dua tahun berselang ketika Habibie sudah tidak lagi menjabat.
Menurut M. Shidqon Prabowo dalam artikel “Persaingan Usaha yang Sehat dalam Penyelenggaraan Haji di Indonesia (Perspektif Hukum Persaingan Usaha dan Anti Monopoli)” di jurnal Qistie, Vol. 5 No. 1, Januari 2011, masuknya maskapai asing Saudi Arabian Airlines sejak musim haji 1999 membuat ONH reguler dapat ditekan. Pada 1999 ONH-nya mencapai Rp27.373.000 tapi pada musim haji 2000 turun menjadi Rp17.758.000 karena turut terimbas penghapusan royalti sebesar 100 dolar per penumpang sehingga ongkos angkutannya bisa diturunkan menjadi 1.200 dolar dari yang sebelumnya 1.750 dolar.
Beleid signifikan lainnya yang lahir di masa pemerintahan Habibie adalah undang-undang (UU) penyelenggaraan haji yang pertama semenjak republik merdeka pada 1945. Sebelumnya penyelenggaraan haji yang diampu Ditjen Bimas Islam dan Urusan Haji tak memiliki payung hukum yang kuat dan sekadar melalui kebijakan yang dikeluarkan Presiden RI dan Menteri Agama, baik dalam bentuk Keppres maupun Keputusan Menteri (Kepmen).
Maka di masa pemerintahan Habibie menjelang demisioner, keluarlah UU No. 17 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji yang ditetapkan tanggal 3 Mei 1999. UU 17/1999 ini mengatur dengan cukup mendetail, di antaranya terkait penyelenggaraan haji yang mencakup pendaftaran, biaya, pembinaan, pelayanan; mekanisme penetapan kuota haji; hingga perubahan penyelenggara haji.
Jika dalam Keppres 119/1998 secara signifikan menghapus monopoli perusahaan angkutan udara nasional, dalam hal ini maskapai Garuda Indonesia, pada UU 17/1999 dalam hal penyelenggara haji, pemerintah dengan Departemen Agama sebagai pelaksananya tidak lagi “memonopoli” jadi pihak penyelenggara. Sejak disahkannya UU 17/1999, pemerintah hanya akan mengurusi penyelenggaraan haji reguler. Sedangkan pihak swasta seperti biro travel haji dan umrah mulai diperbolehkan untuk ikut menangani penyelenggaraannya khusus haji plus atau haji khusus, meski pihak swastanya ditetapkan oleh menteri agama.*
Comentarios