- Randy Wirayudha
- 28 Mei
- 5 menit membaca
SOSOK Mohammad Hatta alias Bung Hatta dikenal sebagai bibliofil (pecinta buku). Saat menikahpun, mahar sebuah buku karangannya sendiri. Pun kemudian, Bung Hatta bisa berangkat ibadah haji juga berkat buku.
Kecintaan Bung Hatta pada buku ditumbuhkan oleh pamannya, Mat Etek Ayub Rais, yang sering membelikannya buku-buku tentang ekonomi berbahasa Belanda. Sedikit-banyak itu berperan membuat Bung Hatta bisa mendapat beasiswa untuk kuliah di Belanda.
Seiring waktu, Bung Hatta tertarik pada ilmu filsafat hingga membuahkan buku karya perdananya berupa buku filsafat, Alam Pikiran Yunani (1941), yang ditulis ketika masih diasingkan di Boven Digul, Papua. Buku itu pula yang kemudian jadi mahar kala Wakil Presiden (Wapres) Hatta memperistri Siti Rahmiati pada 18 November 1945. Lalu, buku pula yang kemudian membuat Bung Hatta bisa menunaikan ibadah haji yang sudah lama diniatkannya.
Ibadah Haji Setelah Masa Revolusi
Kendati telah berkeinginan menunaikan haji sejak lama, Bung Hatta justru mengesampingkan urusan pribadi itu dan mendahulukan urusan orang banyak alias negara. Itu sebabnya Bung Hatta yang belum berhaji justru mengirim orang untuk berhaji.
Pada masa revolusi, Bung Hatta selaku wapres dan perdana menteri (PM) pernah mengirim misi haji. Ia memerintahkan Menteri Agama KH Masjkur untuk membentuk tim misi haji yang –kemudian dipimpin KH. R. Mohammad Adnan– selain ibadah ke tanah suci juga melakukan diplomasi dengan menghadap Raja Abdulaziz al-Saud pada musim haji 1948.
“Hasil positif diplomasi haji ini mendekatkan negara-negara Arab dan dunia Islam kepada perjuangan bangsa Indonesia. Secara politis menggugah simpati negara-negara Islam baik de facto maupun de jure mereka mengakui kedaulatan RI,” ungkap buku Amal Bakti Departemen Agama R.I., 3 Januari 1946-3 Januari 1996: 50 Tahun Departemen Agama, Eksistensi dan Derap Langkahnya.
Bung Hatta sendiri baru bisa mewujudkan niatnya berhaji setelah masa revolusi kemerdekaan Indonesia selesai. Pada 1952, Bung Hatta merencanakan perjalanan ibadah hajinya. Mengingat kondisi ekonomi negara yang masih sulit, Bung Hatta meskipun seorang wapres justru berkehendak untuk naik haji dengan ongkos pribadi agar tidak membebani anggaran negara.
“Wakil Presiden Hatta memiliki cita-cita naik haji ke Mekah tahun ini. Keinginan Hatta adalah pergi haji sebagai seorang partikulir menumpang dengan kapal terbang biasa. Namun dari kalangan pemerintah menyatakan bahwa tidak pantas untuk kehormatan negara Wakil Presiden pergi dengan cara seperti itu dan harus dengan charter plane,” tulis potongan berita suratkabar Pemandangan, 14 Agustus 1952.
Untuk itulah, Bung Hatta menabung untuk bisa pergi haji sebagai pribadi tanpa ongkos pemerintah. Ia mengumpulkan biaya dari hasil penjualan dan royalti buku-bukunya. Salah satunya buku yang belum lama dirilis Penerbitan dan Balai Buku Indonesia, Verspreide geschriften van Mohammad Hatta (1952).
“Ketika Bung Hatta hendak naik haji bersama istri dan dua saudarinya pada 1952, Bung Karno (Presiden Sukarno, red.) menawarinya untuk naik haji dengan pesawat terbang dan biaya yang ditanggung negara. Bung Hatta menolak. Bung Hatta memilih untuk naik haji seperti rakyat kebanyakan. Biaya untuk naik haji dikumpulkan dari honorarium tulisan dan bukunya,” tulis Yudi Latif dalam Mata Air Keteladanan: Pancasila dalam Perbuatan.
Pemerintah akhirnya menghormati keputusan Bung Hatta yang akan bertolak ke Tanah Suci dengan biaya pribadi. Namun karena Bung Hatta tidak mungkin dipisahkan dari kedudukannya sebagai wapres, pemerintah tetap memerintahkan beberapa staf untuk ikut menyertai rombongan keluarga Bung Hatta. Selain sekretaris pribadi Iding Wangsa Widjaja, turut pula staf Kementerian Luar Negeri Mr. Dj. Tamin dan staf Kementerian Agama Farid Maruf.
“Pemerintah meminta Bung Hatta sekalian melakukan beberapa kunjungan resmi di negeri-negeri Arab untuk mewakili Indonesia. Kunjungan yang dilakukan Bung Hatta ini bukan kunjungan politik, melakinkan hanya kunjungan muhibbah atau persahabatan antarnegara. Beberapa petugas kemudian ditunjuk untuk mendampingi Bung Hatta,” ungkap Muhammad Muhibbuddin dalam Bung Hatta: Kisah Hidup dan Pemikiran Sang Arsitek Kemerdekaan.
Rombongan Bung Hatta berangkat dari Bandara Kemayoran pada 20 Agustus 1952 pagi dengan menumpang pesawat maskapai KLM. Sebelum mencapai Saudi, rombongan lebih dulu mampir di Kalkuta, India dan Karachi, Pakistan.
Menurut suratkabar Het nieuwsblad voor Sumatra edisi 22 Agustus 1952, rombongan Bung Hatta tiba di Kalkuta pada hari yang sama. Kepada pers yang penasaran dengan situasi di Indonesia, khususnya terkait beberapa pemberontakan daerah seperti Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII), ia memberi penerangan di samping memaparkan tentang persiapan pemerintah mensukseskan pemilihan umum (pemilu) pertama sebagaimana yang terjadi di India.
“Pada 21 Agustus malam, Wapres Hatta tiba di Bandara Karachi dengan disambut kepala misi diplomatik Indonesia di Pakistan dan beberapa pejabat Pakistan. Kementerian Luar Negeri Pakistan juga menjamu Wapres Hatta untuk makan malam dan kemudian berbincang dengan (Perdana Menteri Pakistan, Khawaja) Nazimuddin selama sekitar dua jam. Sang perdana menteri kembali ingin mengundang Wapres Hatta untuk berkunjung lagi ke Karachi sepulangnya dari ibadah haji tetapi undangan itu ditolak secara halus karena masih banyak pekerjaan yang menunggunya sepulangnya ke Indonesia,” tulis harian De nieuwsgier, 23 Agustus 1952.
Dari Karachi, rombongan Bung Hatta melanjutkan kunjungannya ke Kairo, Mesir. Mereka berada di Kairo selama tiga hari sebelum melanjutkan perjalanan ke Arab Saudi untuk ibadah haji sebagai agenda utama.
“Kami singgah di Kairo dan tinggal di sana selama tiga hari. Sesampainya di Kairo kami dijemput oleh Jenderal Abdul Kadir, yang waktu itu menjabat duta besar RI untuk Mesir. Dari Kairo, kami menuju ke Jeddah. Mulai sejak itu Dubes Abdul Kadir ikut dalam rombongan Bung Hatta untuk sama-sama menunaikan ibadah haji,” kenang Iding Wangsa Widjaya dalam Mengenang Bung Hatta.
Di Tanah Suci, lanjut Iding, karena didampingi Dubes Abdul Kadir, kedatangan rombongan Bung Hatta disambut perwakilan Kedutaan RI dan pejabat protokol Provinsi Makkah. Meski begitu, Bung Hatta menolak tawaran fasilitas mewah dan perlakuan istimewa dari pemerintah Arab Saudi.
“Saat di Arab Saudi, Wapres Hatta kemudian menerima undangan dari pemerintah Arab dan ditawarkan fasilitas dan perlakuan laiknya pangeran selama beribadah haji di Makkah dan Medinah. Wapres Hatta menolak dan menyatakan ia datang ke Makkah bukan sebagai pejabat negara namun sebagai seorang muslim biasa yang mestinya diperlakukan selaiknya jamaah haji lainnya,” kata Kepala Urusan Agama wilayah Jawa Barat KH. R. Asnawi Hadisiswojo, dikutip suratkabar Indische courant voor Nederland, 4 Desember 1952.
Selepas merampungkan semua ritual haji, Bung Hatta menerima undangan untuk mengunjungi Raja Abdulaziz al-Saud di istananya. Namun, sambung Iding, hanya Bung Hatta dan beberapa pejabat negara yang berangkat ke istana Raja Abdulaziz di Riyadh. Sementara, Ibu Rachmi Hatta dan dua saudari Bung Hatta menunggu di Jeddah.
Dalam pembicaraan dengan Raja Abdulaziz, Bung Hatta menyampaikan beberapa aspirasi terkait suasana ibadah haji sebagaimana pengalamannya. Menurutnya, perlu diatur jalur khusus jamaah haji saat melakukan sa’i di Bukit Safa dan Marwah karena kondisinya begitu padat dan tak teratur sehingga menimbulkan ketidaknyamanan di antara para jamaah. Hal lainnya, keberadaan sebuah pasar dekat Masjidil Haram perlu diatur agar tidak mengganggu konsentrasi ibadah para jamaah.
Setelahnya, rombongan Bung Hatta kembali dengan lebih dulu transit lagi di Kairo dan Beirut, Lebanon. Rombongan yang kembali menumpang pesawat maskapai KLM itu tiba di Bandara Kemayoran pada 7 September 1952. Mereka disambut Menteri Agama KH. Abdul Wahid Hasyim, Anggota Dewan Konstituante cum ketua panitia penyambutan Kasman Singodimedjo dan ribuan masyarakat.
“Gema takbir membahana ketika pesawat KLM yang ditumpangi Wapres Hatta mendarat di Bandara Kemayoran pada Minggu malam. Wapres Hatta dan istri diberikan karangan bunga dan dijamu Mr. Kasman Singodimedjo dan Wahid Hasyim di sebuah restoran yang juga dihadiri para anggota kabinet dan korps diplomatik. Kemudian Haji Hatta memberikan kata sambutan kepada warga di atas podium: ‘Terima kasih atas semua doa-doa Anda yang menyertai, saya bisa menjalankan tugas saya (sebagai seorang muslim). (Di Makkah) Saya berdoa kepada Tuhan yang Maha Kuasa agar diberikan kekuatan untuk memenuhi tugas membangun negara’,” demikian De vrije pers, 8 September 1952 memberitakan.
Comments