- Martin Sitompul

- 28 Jun
- 4 menit membaca
DARI Yogyakarta, ibu kota Republik Indonesia dipindahkan kembali ke Jakarta usai Perang Kemerdekaan. Presiden Sukarno ingin membenahi istana kepresidenan yang sekira empat tahun terbengkalai. Untuk itu, dia membutuhkan karya-karya lukisan dari pelukis ternama demi menghiasi dinding-dinding Istana. Salah satunya lukisan karya Ernest Dezentje, pelukis aliran mooi indie yang sudah terkenal sejak masa kolonial. Mangil Martowidjojo, ajudan presiden dari Detasemen Kawal Pribadi (DKP) Kepolisian, ditugaskan Bung Karno untuk mencari sang pelukis.
“Bung Karno memerintahkan kepada saya untuk mencari peluki kenamaan, Ernest Dezentje. Bung Karno berkata, 'Cari dia sampai ketemu dan suruh dia datang ke Istana ditunggu Bapak. Saya sendiri tidak tahu dimana dia sekarang, tetapi kamu, polisi tentu dapat menemukannya,'” tutur Mangil dalam memoar Kesaksian tentang Bung Karno 1945—1967.
Dezentje adalah pelukis yang memiliki talenta kuat dan terkenal di Hindia Belanda. Pelukis kelahiran Jatinegara pada 1885 ini mengawali kiprahnya secara otodidak. Lukisannya mengungkapkan pemandangan dengan gaya impresionisme. Nama Dezentje mentereng pada dekade 1930-an dan mendapat perhatian dari pengamat seni zaman itu. Dalam karya-karyanya, ia dikenal selalu menangkap cahaya tropis yang melimpah.
“Selain sebagai anggota Bataviasche Kunstkring, Dezentje juga banyak menyelenggarakan pameran tunggal di Batavia. Pameran tersebut yaitu di Kunstzaal & Co. (1936—1938), dan di Expositiezaal F. van Eelde pada Desember 1939,” sebut Agus Burhan dalam Perkembangan Seni Lukis: Mooi Indie sampai Persagi di Batavia, 1900-1942.
Lumayan sulit bagi Mangil untuk mengendus keberadaan Dezentje. Setelah keliling Jakarta, Mangil justru secara tak sengaja menemukan Dezentje di Jl. Veteran, tak jauh dari Istana Negara. Ketika bersua, Mangil mendapati sosok Dezentje yang sudah menua, kurus, dan terlihat sakit-sakitan. Setelah Mangil menyatakan maksudnya, Dezentje terkejut karena Sukarno masih mengingat dirinya.
“Ya, saya bersedia datang ke Istana, tetapi harus dijemput, sebab saya takut masuk Istana,” ujar Dezentje kepada Mangil.

Bagi Sukarno, Dezentce lebih dari sekedar pelukis ternama. Menurut kritikus seni Agus Dermawan T, seperti dikisahkan pelukis Dullah, Dezentje adalah sahabat Bung Karno yang super akrab. Kala istana kepresidenan di Jakarta dan Bogor sedang genting-gentingnya dirundung agresi militer Belanda pada tahun pertama kemerdekaan, Sukarno menitipkan keselamatan Guntur, anak sulungnya yang masih bocah, ke rumah Dezentje.
“Dezentje itu sangat baik kepada Bung Karno dan juga kepada banyak orang. Pertolongannya tidak pernah dipikir panjang,” kata Dullah seperti dituturkan Agus Dermawan dalam Dongeng dari Dullah.
Setelah menghadap Bung Karno, Dezentje kemudian sering dipanggil Bung Karno, terutama sekali ke Istana Bogor. Ia pun menjadi salah satu pelukis Istana yang karya-karyanya jadi langganan Bung Karno. Selain Dezentje, Mangil juga mendapat tugas untuk mencarikan pelukis lain bernama Henk Ngantung. Semula Mangil menyangka Henk Ngantung orang Tionghoa, namun nyatanya dia adalah orang Indonesia asli dari Minahasa.
“Dia juga pelukis kenamaan. Henk Ngantung saya temukan dengan gampang di Jalan Tanah Abang II dekat Asrama Polisi Tentara, Asrama Kala Hitam namanya waktu itu,” kenang Mangil.
Bung Karno telah mengenal Henk lewat karyanya semasa pendudukan Jepang. Lukisan Henk bertajuk “Memanah” pada 1944, membuat Bung Karno terpikat dan menawarkan dirinya sebagai model pemanah dalam lukisan itu. Ketika Belanda menduduki Jakarta pada 1945, teman-teman Henk sesama pelukis hijrah ke Yogyakarta, sementara Henk menetap di Jakarta. Henk bahkan ikut berjuang melawan Belanda dengan keterlibatannya dalam Laskar Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi (KRIS).
Selain lukisannya yang kerap jadi koleksi Bung Karno, menurut Obed Bima Wicandra, kedekatan Henk dengan presiden RI pertama itu terus berlanjut selama periode kepresidenan. Henk selalu menjadi seniman pilihan Bung Karno dalam pelbagai panitia negara (pusat) untuk memimpin bidang dekorasi pada tempat-tempat acara kenergaraan, kota, dan sebagainya sejak 1957. Henk kemudian dikenal publik dan melenggang menjadi anggota Dewan Nasional (kemudian Bernama Dewan Pertimbangan Agung).
“Keterlibatan Henk Ngantung tidak berhenti pada Dewan Nasional saja, namun namanya terus merangkak ketika ia ditunjuk menjadi panitia dan Anggota Juri Sayembara Tugu Nasional, kemudian anggota parlemen (MPRS), anggota Front Nasional, dan sebagainya,” catat Obed dalam biografi Henk Ngantung: Saya Bukan Gubernurnya PKI.
Setelah beres mengurusi pencarian Dezentje dan Henk Ngantung, Bung Karno masih menugasi Mangil untuk mencari satu orang lain. Kali ini bukan pelukis, melainkan tukang cukur rambut. Pak Azis namanya. Haji Abdul Azis yang akrap dipanggil Pak Azis adalah tukang cukur rambut langganan Bung Karno sejak zaman pendudukan Jepang.
“Salah seorang tukang cukur di daerah Cikini dapat memberikan petunjuk, rumah Pak Azis tukang cukur, yakni dekat kuburan Menteng Pulo,” ungkap Mangil, “Jadi, kalau Bung Karno mau cukur, seminggu sebelumnya sudah harus memberi tahu Pak Azis.”
Semenjak bertugas di Istana, menurut Minggu Pagi, 4 April 1954, Pak Azis dibekali alat cukur yang baru. Alat-alat itu disimpan di Istana dan khusus digunakan hanya untuk Presiden Sukarno dan kedua putranya, Guntur dan Guruh. Untuk pekerjaan itu, Pak Azis datang berkala ke Istana tiga kali sebulan.
Demikianlah kisah Ernest Dezentje, Henk Ngantung, dan Pak Azis, orang-orang yang dicari Bung Karno setelah Perang Kemerdekaan berakhir dan ibu kota negara kembali ke Jakarta. Dezentje menghabiskan masa tuanya di Bogor dan wafat pada 1972. Henk Ngantung sempat menjabat Gubernur DKI Jakarta periode 1964—1965. Namun, saat peralihan rezim, Henk dipenjara beberapa tahun lamanya tanpa pengadilan lantaran aktivitasnya dalam Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang terafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Sementara itu, Pak Azis menjadi tukang cukur rambut yang setia melayani Bung Karno, bahkan hingga saat-saat terakhir mendekati ajalnya pada 1970.*













Komentar