- M.F. Mukhti
- 21 Agu 2019
- 2 menit membaca
Diperbarui: 30 Mei
KOLONEL T.B. Simatupang hanya bisa merenung. Di sebuah gardu di Dusun Minggir di tepi Kali Progo, Yogyakarta, dia tak menyangka keadaan bisa berubah drastis dari waktu ke waktu tanpa bisa diprediksi. Simatupang tak pernah membayangkan tanggal 19 Desember 1948 kehidupannya berbeda jauh dari tanggal-tanggal sebelumnya di ibukota Yogyakarta akibat Agresi Militer Belanda.
“Kemarin tanggal 18 Desember saya masih mondar-mandir dalam mobil di Yogyakarta sebagai Wakil Kepala Staf Angkatan Perang. Sorenya, saya masih makan di Hotel Kaliurang sebagai ‘diplomat’ bersama-sama dengan anggota delegasi kita dan anggota KTN. Kemudian saya bertemu dengan Paduka Yang Mulia Wakil Presiden dari Republik Indonesia,” ujar Simatupang dalam catatan harian yang dimuat dalam memoarnya, Laporan Dari Banaran.
Selepas bertemu Bung Hatta di Kaliurang, Simatupang pulang ke rumahnya di Jalan Merapi No. 8. Hari sudah larut. Karena lelah, dia langsung berbaring di atas ranjangnya dan tertidur tanpa sempat mengganti pakaian.
Langit sudah mulai terang ketika deru pesawat-pesawat Belanda membangunkan Simatupang dari tidurnya. Tanpa sempat mencuci muka, Simatupang langsung naik mobilnya menuju rumah atasannya, Komodor Suryadarma, yang terletak tak jauh dari rumahnya. Mereka mendiskusikan keadaan dan kemungkinan-kemungkinan yang bakal terjadi.
Setelah tak berhasil mengajak Suryadarma ke Istana saat itu juga, Simatupang langsung menuju Markas Besar Komando Jawa (MBKD) dan tinggal sesaat untuk kemudian pergi lagi ke markas Komando Militer Kota (KMK). Lantaran para personil KMK sedang sibuk, Simatupang bertolak ke kantor Jawatan Sandi. Di sana dia memerintahkan Dr. Rubiono agar hubungan komunikasi dengan Bukittinggi terus dijaga mengingat situasi genting dan tak pasti.
Simatupang akhirnya ke Istana. Masih terlalu pagi. Dia bisa menikmati kesempatan santai dengan menyantap suguhan nasi goreng dan segelas kopi. “Siapa tahu kapan kita akan sempat makan lagi hari ini, pikir saya,” kata Simatupang.
Dugaan Simatupang tak meleset. Beberapa jam kemudian, situasi bergonta-ganti dengan cepat seiring makin gencarnya serangan dari pasukan Belanda. Setelah gagal menemui Panglima Besar Soedirman di rumahnya yang telah kosong, Simatupang pulang untuk mengambil ransel berisi pakaian ganti dan peralatan mandinya. Dia melanjutkan perjalanannya ke Kutu di pertengahan Yogyakarta-Magelang, tempat MBKD darurat berada.
“Akan tetapi beberapa meter sebelum mobil tiba di jembatan Gondolayu, maka salah satu pesawat terbang yang berputar-putar di atas menembak mobil itu dan tepat mengenai bagian belakangnya dengan peluru mitraliur,” sambung Simatupang.
Kendati berhasil menyelamatkan diri, ransel Simatupang ikut terbakar bersama mobilnya. Tinggal badan dan satu setel pakaian yang dikenakannya dari kemarin yang dimiliki Simatupang kala itu. Pakaian yang oleh rekan-rekan Simatupang sering dibilang “pakaian diplomat” itu merupakan pakaian kesukaan Simatupang. “Kemeja buatan luar negeri dan celana wol abu-abu ini hanya saya pakai kalau saya pergi ke Jakarta atau ke Kaliurang untuk berunding,” kata Simatupang.
"Pakaian diplomat” itu menjadi satu-satunya "teman" setia yang mengiringi Simatupang di masa tak menentu kala menyingkir ke luar kota pasca-Agresi Belanda. “Beberapa minggu kemudian, waktu keadaan telah mulai teratur dan kami mulai dapat ketawa kembali, maka seringlah saya diejek dengan kata-kata ‘diplomat kesasar,’ sebab sering berjalan kaki dari desa ke desa dalam perang rakyat ini dengan memakai celana wol abu-abu dan kemeja buatan luar negeri, yang dahulu hanya saya pakai untuk berunding dengan Belanda dan KTN,” kata Simatupang.*












Komentar