- Petrik Matanasi
- 27 Okt
- 4 menit membaca
PADA pertengahan 1970-an, seorang guru senior di Rotterdam yang hampir pensiun merasa khawatir akan kehilangan waktu mengajarnya di kelas. Pensiun berarti merosot pemasukannya walaupun tidak perlu bekerja keras lagi. Dia sudah puluhan tahun menjadi guru dan itu sangat menyenangkan baginya.
“Saya takut. Meskipun jam mengajar saya terbatas, itu tetap menjadi selingan yang menyenangkan bagi saya,” terang Ir. Johan Alvares Manusama, guru senior tadi, dikutip koran Het Vrije Volks tanggal 15 Agustus 1975. “Mengajar telah menjadi semacam hobi bagi saya,” sambung pria yang biasa disapa Joop oleh kawan-kawannya itu.
Manusama telah mengajar sejak muda. Menurut Orang Indonesia Terkemoeka di Djawa, pria Ambon kelahiran Banjarmasin pada 17 Agustus 1910 itu sudah mengajar di sekolah teknik partikelir di Bandung pada 1938. Kala itu dia masih bergelut dengan kuliah teknik sipilnya di Technische Hoogeschool te Bandoeng (kini Institut Teknologi Bandung/ITB). Ketika itu sedikit sekali pemuda Hindia yang bisa berkuliah di sana.
Guru Para Elite Jakarta
Setelah lulus kuliah pada 1940, Manusama yang berhak memakai gelar insinyur (Ir.) memilih terus jadi guru. Pada 1941, dia menjadi guru di sekolah menengah setara Lyceum atau Hogere Burgerschool (HBS) Bandung. Namun itu tidak lama, sebab pada 1942 tentara Jepang menduduki Indonesia dan sekolah itu dibubarkan.
Pemerintahan militer Jepang memberangus hampir semua warisan Belanda. Tak ada lagi HBS. Yang ada hnya Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Tinggi (SMT) yang setara SMA.
“SMT Jakarta dibuka terlebih dahulu, yakni di gedung bekas Canisius College Menteng 40,” terang Amin Singgih dalam Jembatan Antar Generasi.
Amin Singgih adalah guru bahasa Indonesia di SMT Jakarta. Manusama lalu ditarik menjadi guru di sana. Bersama Herman Johannes, Manusama jadi guru ilmu pasti.
Di zaman itu, semua guru dipanggil sebagai Engku. Di SMT, Engku Manusama bertemu lagi dengan muridnya di Bandung, Ario Senosastro. Bagi siswa macam Ario, yang dalam setiap generasi ada di Indonesia, ilmu pasti atau matematika menjadi pelajaran sulit di SMA. Ada siswa yang merasa tegang ketika guru macam Manusama atau Supandam masuk kelas. Namun setidaknya ada pelajar putri yang merasa belajar banyak soal ilmu pasti dari Engku Manusama.
“Lalu datanglah Engku Manusama. Caranya menguraikan soal begitu gamblang dan dengan penuh kesabaran dapat menjebolkan dinding kamar gelapku. Sejak itu ilmu pasti tidak lagi merupakan masalah,” kenang Istimangtun dalam Jembatan Antar Generasi.
Tak semua sarjana punya jurus mengajar yang baik. Namun Manusama termasuk guru yang punya jurus baik ketika mengajar. Manusama bahkan juga bisa jadi guru yang membuat murid merasa nyaman dalam belajar ilmu pasti. Dia tipe guru yang bisa mengubah pelajaran ilmu pasti menjadi menyenangkan.
“Dari Manusama itu, saya telah belajar banyak di bidang ilmu pasti,” aku Harjati Soebadio dalam Jembatan Antar Generasi.
Lama bergelut dengan ilmu pasti dan ilmu lain selama kuliah tentu membuat Manusama sering berhadapan dengan bahasa Belanda atau bahasa lain. Lingkungan pergaulannya sebagai orang sekolahan zaman itu pun membuatnya sering berbahasa Belanda. Di zaman Hindia Belanda pun dia mengajar di kelas menggunakan bahasa Belanda. Pun di kantornya. Alhasil bahasa Melayu pasar jarang dipakainya hingga dalam berbahasa Indonesia dialek asing Manusama masih terasa.
Ketika mengajar dalam bahasa Indonesia, menurut Sanjoto Sastromihardjo dalam Jembatan Antar Generasi, “Logatnya masih kebelanda-belandaan.”
Sebagai orang Ambon, tentu sulit bagi Manusama hidup di bawah pemerintah militer Jepang. Dia punya wajah Indo dan itu membuatnya diawasi Jepang. Dia hanya bisa terus menjadi guru. Namun, kecintaannya dalam mengajar membuat Manusama serius menjalaninya hingga menjadi guru berpengaruh. Manusama pernah menjadi wakil kepala sekolah, di mana kepala sekolahnya adalah Drs Adam Bachtiar, ayah dari Harsya Bachtiar.
Ketika ulangtahun Engku Manusama yang ke-35, terjadi sebuah peristiwa bersejarah di Jakarta. Bangsa Indonesia menyatakan diri sebagai bangsa merdeka. Sehari setelahnya, negara Republik Indonesia (RI) terbentuk.
Setelah tentara Jepang kalah, Manusama menjadi berseberangan dengan kebanyakan murid-muridnya di SMT. Sementara banyak muridnya mendukung RI, Manusama anti-RI. Joezahar Sirie gelar Sutan Perpatih dalam Moralitas Informasi dalam Diplomasi menyebut, Engku Manusama pernah disabot murid-muridnya “akibat politik anti R.I. yang dianutnya.”
Murid-muridnya di SMT banyak yang menjadi tentara Indonesia. Ada yang menjadi jenderal semisal Mas Tirtodarmo Haryono, Taswin Almalik Natadiningrat, atau Sajidiman Surjohadiprojo. Ada pula yang kemudian bekerja untuk jawatan-jawatan dalam pemerintahan RI. Mereka menjadi elite penting setelah Indonesia merdeka.
Sikap Manusama tentu membuat nyawanya terancam. Tak hanya oleh para muridnya, tapi juga oleh pendukung RI yang tak berpendidikan. Yang terakhir ini bisa membuatnya terbunuh.
Segala hal yang terkait dengan Belanda kerap begitu dibenci, termasuk sikap Manusama. Selain dimusuhi, seperti diceritakan Het Vrije Volks, Manusama “hampir digantung oleh para mahasiswanya, karena ia menolak untuk berjanji setia kepada Sukarno dan melawan pasukan Belanda jika mereka menyerbu.”
Ketidakamanan membuat Manusama kemudianmeninggalkan Jakarta.
Dari Tanah Leluhur ke Negeri Penjajah
Manusama merupakan putra dari pasangan Johan Alexander Manusama dan Sophia Wilhelmina Geertruida Versteegh. Ayahnya orang Ambon, sementara ibunya Indo-Belanda. Meski bukan insinyur, ayah Manusama juga teknisi sipil seperti dirinya.
Johan sangat ingin anak-anaknya punya pendidikan baik. Demi hal itu, Johan memboyong keluarganya ke Jawa, tempat banyak sekolah menengah dengan mutu baik berada. Manusama dan saudara-saudaranya pun mengenyam pendidikan baik di Jawa.
Het Parool tanggal 20 Desember 1975 mengisahkan, Manusama setelah lulus sekolah dasar tujuh tahun pada 1924 tak diterima masuk HBS karena bahasa Belandanya buruk. Maka dia pun sekolah di Meer Uitgebried Lager Onderwijz (MULO) alias SMP tiga tahun. Lalu dia melanjutkan ke Algemene Middelbare School (AMS) alias SMA kolonial di Jakarta. Manusama akhirnya diterima di Technische Hoogeschool te Bandoeng.
Setelah keamanan dirinya terancam di Jakarta, pada Desember 1945 Manusama naik kapal ke Makassar. Ketika Negara Indonesia Timur (NIT) berdiri, dia menjadi pendukung negara federal itu.
Pada 1947, Manusama mengunjungi tanah leluhurnya di Abubu, Nusalaut, Kepulauan Maluku. Dirinya kemudian dipercaya menjadi direktur SMA di Ambon dan juga menjadi wakil Maluku Selatan dalam Parlemen NIT. Nieuwe Courant tanggal 14 Februari 1948 menyebut, Manusama mendirikan Gerakan Demokraat Maloekoe sekaligus menjadi ketuanya pada 9 Januari 1948.
Setelah Republik Maluku Selatan (RMS) terbentuk di Ambon pada 25 April 1950, Manusama ikut ditarik ke dalamnya sebagai menteri pendidikan. Ketika RMS didesak TNI, Manusama dan lainnya lari ke Seram. Manusama akhirnya menyeberang ke Papua pada 1952.
Pada Oktober 1952, Manusama ditangkap. Setelahnya, ia pergi ke Belanda dan tiba di Bandara Schipool pada September 1953. Di Belanda Manusama tinggal di Rotterdam dan menghidupi dirinya dengan menjadi menjadi guru di Lyceum Kristen.
Sembari mengajar, Manusama kemudian menjadi presiden RMS di pengasingan. Meski begitu, tak semua insan RMS mendukungnya karena RMS sudah terpecah. Selain faksi yang mendukung Manusama, ada pula yang mendukung faksi Tamaela. Ketika Manusama hampir pensiun menjadi guru di Belanda, salah satu muridnya di SMT Jakarta, yakni Taswin Almalik Natadiningrat, menjadi Duta Besar RI untuk Kerajaan Belanda.*













Komentar