top of page

Sejarah Indonesia

Ibu Para

Ibu Para Pohon

Tak dikaruniai anak, perempuan ini menanam pohon hingga hampir 70 tahun. Mengubah empat kilometer jalan gersang menjadi teduh.

15 Juli 2019

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Thimmakka memerima Padma Shri dari Presiden Kovind, 16 Maret 2019. (Wikimedia Commons).

Diperbarui: 6 hari yang lalu

SETELAH bersusah payah melangkah sambil dipapah seorang pengawal presiden, perempuan berusia lebih dari 90 tahun itu akhirnya sampai ke tempat Presiden India Ram Nath Kovind berdiri. Sebuah penghargaan diterimanya dari sang presiden. Naluri keibuannya muncul dengan mengusap kepala sang presiden sebagai bentuk restu tatkala sang presiden memintanya menghadap kamera.


Gemuruh tepuk tangan langsung memenuhi seisi ruangan pada 16 Maret 2019 itu. Senyum tipis langsung tersungging di bibir Saalumarada Thimmakka, perempuan tadi. Senyum itu menjadi tanda perjuangannya selama puluhan tahun menjaga lingkungan akhirnya berbuah manis.


Thimmakka lahir di Gubbi, Tamakuru, Karnataka, India pada 1 Januari 1926 (sumber lain menyatakan tahun 1927, ada pula 1912) dari pasangan Smt Vijayamma dan Sri Chikkarangayya. Kemiskinan membuat Thimmakka kecil tak pernah mencicipi bangku sekolah. Sedari usia 10 tahun, Thimmakka sudah membantu keluarganya dengan bekerja menggembalakan ternak milik beberapa tetangganya. Beranjak dewasa dia juga menjadi buruh kasar.


Kehidupan yang berat tetap menggelayutinya ketika sudah berumahtangga dengan Sri Bikkala Chikkayya. Maklum, pemuda asal Hulikal, Magadi Taluk, Distrik Ramnagar itu juga datang dari keluarga ekonomi lemah.


Namun, kemiskinan sama sekali bukan peruntuh semangat hidup Thimmkka dan suaminya. Keluarganya tetap berjalan harmonis kendati mesti berjuang keras untuk sekadar membuat dapur ngebul. Bahu-membahu selalu dilakukan pasangan suami-istri itu untuk mengatasi rintangan.


Sekian tahun keluarga itu berjalan, Thimmakka kemudian merasa ada yang kurang pada keluarga mereka. Kesepian selalu menemani mereka karena anak yang dirindukan tak kunjung hadir. Kehidupan Thimmakka semakin berat karena cemoohan orang-orang sekitar.


“’Anak-anakmu yang akan mengingatmu hidup.’ Begitulah mitos yang abadi. Di India, mitos ini begitu kuat sehingga pasangan tanpa anak seperti terkutuk. Perempuan yang tidak memiliki anak dianggap tidak memiliki kehidupan. Mitos inilah yang jadi ejekan buat Thimmakka,” tulis laman goodnewsindia.com, Mei 2002.


Seiring perjalanan waktu, hinaan itu membuat Thimmakka kian tersiksa. Saking frustrasinya, Thimmakka sampai ingin mengakhiri hidupnya sendiri. Beruntung, sang suami menggagalkannya. Dengan setia sang suami terus membesarkan hati Thimmakka.


“Malam hari kami kesepian. Tapi dia pria yang baik. Ada tekanan padanya untuk mencari istri lain tetapi dia menolak. Dia terus memikirkan sesuatu yang harus dilakukan dalam hidup kami,” kata Thimmakka mengenang kebaikan suaminya, dimuat goodnewsindia.com.


Keduanya lalu sepakat untuk menanam pohon. Mereka memilih menanam pohon itu bukan di pekarangan rumah tapi di pinggir jalan antara Hulikal dan Kudur yang merentang sepanjang empat kilometer. “Itu jalan yang kering dan panas. Penduduk desa kami harus sering ke Kudur dan takut. Jadi kami pikir akan lebih baik jika pohon-pohon muncul dan memayungi jalan,” sambungnya.


Thimmaka dan suami pun menanam 10 bibit pohon beringin di satu sisi tepi jalan itu. “Dia memilih pohon beringin karena spesies itu tersedia secara bebas saat itu. Selain itu, beringin, atau pohon ‘bodhi’, dipuja di India,” demikian majalah Outlook Vol. 5 Th. 1999 memberitakan.


Tanpa peduli cemoohan orang akan perbuatannya yang dianggap aneh, setiap hari Thimmakka dan suaminya menyirami pohon-pohon itu dan merawatnya. Lantaran kesukaran mesti menggotong kendi-kendi penampung air setiap hari, Thimmakka lalu membuat tangki air untuk menyirami pohon-pohonnya. Kawat berduri juga dibuat untuk melindungi pohon-pohon itu.


Kendati ada beberapa pohon yang rusak oleh cuaca dan orang-orang tak bertanggung jawab, perjalanan waktu akhirnya mengubah bibit beringin itu menjadi pohon rindang. Kerindangan di kedua sisi jalan itu kian bertambah karena Thimmakka dan suaminya menanam 15-20 pohon baru setiap tahun, yang akhirnya membentang sejauh bentangan jalan itu.


“Pada 1991, ketika Chikkaiah meninggal, ada 284 pohon beringin sehat yang menyediakan perlindungan bagi banyak burung dan hewan, selain tempat teduh dan tempat peristirahatan bagi para pejalan kaki. Bagi Thimmakka, pohon-pohon itu dulu dan sekarang adalah anak-anaknya,” kata Vinathe Sharma-Brymer, peneliti dan pemimpin Forest School di Brisbane, dalam “Locations of Resistance and Agency: The Actionable Space of Indian Women’s Connection to the Outdoors” yang termuat di The Palgrave International Handbook of Women and Outdoor Learning.


Thimmakka tetap melanjutkan merawat pohon-pohonnya dan terus menanam pohon baru selepas kepergian sang suami. Penduduk desa lalu menambahkan Saalumarada, kata dalam bahasa Kannada yang berarti “sebaris pohon”, di depan nama Thimmakka.


Upaya itu membuat nama Thimmakka makin dikenal sehingga dia kerap diminta menjadi pembicara atau motivator lingkungan oleh berbagai organisasi lokal maupun internasional. Di California, AS, sebuah organisasi lingkungan sampai menamakan dirinya dengan Thimmakka’s Resources for Environmental sebagai bentuk penghargaan.


Lebih dari 45 penghargaan diterima Thimmakka sejak 1995, tahun ketika dia dianugerahi National Citizen Award oleh pemerintah. Pada Maret 2019, pemerintah India menganugerahinya penghargaan sipil tertinggi, Padma Shri.


Berbagai penghargaan itu tetap tak mengubah diri Thimmakka sebagai perempuan rendah hati, ulet, setia pada pendirian, dan penyayang. Dia tetap menanam dan merawat pohon. Saat menjadi pembicara dan motivator lantaran diundang berbagai organisasi dalam maupun luar negeri pun Thimmakka terus mengkampanyekan tanam pohon. Lebih dari 8000 pohon telah ditanam perempuan yang juga berjuluk “Ibu para pohon” itu di berbagai tempat sepanjang pengabdian tanpa pamrihnya selama hampir 70 tahun.


“[Sekarang] Aku punya cukup banyak anak (mengacu ke 284 pohon yang ditanamnya), sekarang Anda juga harus mencapainya,” kata Thimmakka beberapa tahun silam sebagaimana ditulis BR Srikanth, editor senior, di laman outlookindia.com.*

Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian
Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Film “The Voice of Hind Rajab” jadi antidot amnesia kisah bocah Gaza yang dibantai Israel dengan 335 peluru. PBB menyertakan tragedinya sebagai bagian dari genosida.
Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Dulu, orang Dayak dituduh pembakar hutan yang lebih berbahaya dari industri. Padahal, tidak banyak lahan hutan alam Kalimantan yang mereka gunduli.
Foto "Gadis Napalm" yang Kontroversial

Foto "Gadis Napalm" yang Kontroversial

Cerita di balik potret bocah-bocah yang menangis histeris saat terjadi serangan napalm di Perang Vietnam. Kini atribusi fotonya jadi polemik.
Anak Tawanan Itu Bernyanyi “Nina Bobo”

Anak Tawanan Itu Bernyanyi “Nina Bobo”

Sukses sebagai penyanyi di Belanda, Anneke Gronloh tak melupakan Indonesia sebagai tempatnya dilahirkan.
Pangku yang Memotret Kehidupan Kaum Pinggiran

Pangku yang Memotret Kehidupan Kaum Pinggiran

Film perdana Reza Rahadian, “Pangku”, tak sekadar merekam kehidupan remang-remang lewat fenomena kopi pangku. Sarat pesan humanis di dalamnya.
bottom of page