- Randy Wirayudha

- 19 Agu
- 6 menit membaca
SIANG itu menjelang Hari Raya Idul Adha, Juli 2021, Mayjen (Purn.) I Gusti Kompyang (IGK) Manila menyapa hangat awak Historia.ID yang bertandang ke kantornya di gedung sekolah kader Partai Nasional Demokrat, Akademi Bela Negara (ABN NasDem), Jakarta Selatan. Sosoknya memang sudah tak lagi muda namun semangatnya masih membara jika bicara tentang sepakbola.
Penulis dan fotografer Fernando Randy diizinkan bertamu meski harus terlebih dulu melakukan swab-test dengan hasil negatif. Maklum, masa itu COVID masih ramai dan ada Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM). Sang jenderal pun sudah terbilang uzur, baru saja memasuki 79 tahun kala itu.
Kala itu, Manila jadi sosok penting dalam sejarah sepakbola. Ia memanajeri tim nasional ketika Indonesia terakhir kali mendapatkan medali emas SEA Games 1991. Sekadar membangkitkan memori, di tahun-tahun sebelum pandemi pun prestasi timnas tengah melulu menelan kekalahan. Baru pada 2023 Indonesia mendulang emas sepakbola lagi di SEA Games.
Manila menjamu penulis di ruang kerjanya yang berdekorasi sarat pajangan wayang, lukisan, miniatur sepasang ondel-ondel, serta dua pasang patung gajah yang masing-masing sepasang berwarna putih dan keemasan. Menariknya, Manila pernah dijuluki “Panglima Gajah”.
Bicara tentang Manila, bukan sekadar sepakbola. Pernah pula Manila mengampu wushu pada awal 1990-an.
“Ya itu dulu waktu sehabis SEA Games (1991),” terang Manila.
Hal itu diamini eks-atlet wushu Fonny Kusumadewi yang ditemui Historia.ID sebelumnya, 2018.
Tak berapa lama kemudian, kami beranjak ke meeting room di sebelah untuk bicara sepakbola. Tak sampai satu jam karena Manila ingatannya masih kuat dan komunikasinya lugas sehingga perbincangan sangat efektif. Setelahnya, Manila mengantar sendiri penulis dan rekan sampai ke halaman muka ABN yang sedang “disemarakkan” beberapa hewan kurban.
Pertemuan singkat itu amat berkesan hingga kemudian jenderal murah senyum itu wafat. IGK Manila menghembuskan nafas terakhir di Rumahsakit Bunda Jakarta pada Senin (18/8/2025) di usia 83 tahun. Jenazah mendiang akan lebih dulu disemayamkan di aula ABN sebelum dikremasi di RSPAD Gatot Soebroto pada Rabu (20/8/2025).
"Panglima" dari Singaraja
Lahir di Singaraja, Bali pada 8 Juli 1942, IGK Manila tumbuh di masa sulit namun punya cita-cita untuk bisa sekolah tinggi secara cuma-cuma. Kesempatan kemudian datang pada awal 1960-an meski ia harus memilih antara ke Mataram, Lombok atau ke Lembah Tidar di Magelang, Jawa Tengah.
Hardy R. Hermawan dan Edy Budiyarso dalam biografi IGK Manila: Panglima Gajah, Manajer Juara mencatat, Manila selepas lulus SMA sejatinya lolos seleksi masuk Kursus Dinas C (KDC) di bawah Departemen Dalam Negeri atau cikal-bakal Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN). Namun ketika hendak ke KDC Lombok, seorang sahabatnya, I Made Krana, mengabarkan bahwa mereka rupanya lulus seleksi Akademi Militer Nasional (AMN) di Magelang.
“Karena sudah bersiap ke Mataram, Manila sempat bimbang. Namun sahabatnya lebih keras menggertak bahwa AMN lebih menjanjikan. Tak terbayang Manila akan jadi perwira. Saat itu di tahun pendidikan 1961, untuk pertamakalinya AMN membuka pendaftaran bagi lulusan SMA Jurusan C/Ilmu Budaya,” tulis Hardy dan Edy.
Pada akhirnya Manila memilih AMN. Di Lembah Tidar itu pula Manila pertamakalinya bisa makan teratur: sarapan, makan siang, dan makan malam.
“Wah, rasanya sudah jadi orang saja,” celetuk Manila, dikutip Hardy dan Edy.
Maka dimulailah perjalanan hidup Manila meniti karier sebagai calon prajurit Corps Polisi Militer (CPM). Pasalnya sebagai lulusan SMA jurusan Ilmu Budaya, Manila hanya bisa masuk via jalur Polisi Militer (PM) dengan belajar hukum militer guna kemudian jadi prajurit PM, oditur militer, hakim atau jaksa militer. Semasa pendidikan itu pula Manila megenal seorang gadis yang kelak jadi istrinya, Raden Ayu Roro Endarni.
Lulus dari Lembah Tidar pada 1964, kehidupan Manila sebagai prajurit CPM pun kian “berwarna”. Setelah bertugas di CPM Cilegon dan Peleton I Batalyon Polisi Militer Angkatan Darat (Pomad) Para di Ciluwer, pada awal 1965 Letnan Dua (letda) Manila ikut dikirim ke perbatasan Malaysia dalam Konfrontasi Indonesia-Malaysia. Ia bersama Peleton I Batalyon Polisi Militer Angkatan Darat (Pomad) Para dikirim ke Bengkayang, Kalimantan Barat sebagai bagian dari Detasemen CPM.
“Ada 4 brigade ditempatkan di sini (Bengkayang): Brigade V Kodam Diponegoro, Brigade IX dan Brigade XVI Kodam Brawijaya, Brigade Mobil Polisi. Sebagai penguatan pasukan, diperbantukan juga satu Detasemen Zeni Tempur, dan satu Detasemen PM. Di Detasemen PM inilah Letda CPM Manila bergabung,” tambah Hardy dan Edy.
Pada akhir 1966, Manila kembali ditarik ke Jakarta. Tetapi gejolak politik akibat Peristiwa 1965 ternyata juga mengubah hidupnya. Tak pernah terbayangkan sebelumnya seorang prajurit CPM berpangkat letda bisa jadi pengawal Presiden Sukarno.
Itu terjadi ketika Manila yang baru selesai menjabat komandan Kompi PM Kodam XIV Udayana –bersama dua rekannya, Letnan Murudin dan Letnan Suyanto– ditugasi Letkol Noorman Sasono untuk mengawal Presiden Sukarno di Wisma Yaso (kini Museum Pusat TNI Satria Mandala) pada awal Januari 1967. Maka Manila pun terkenang momen saat masih taruna kedatangan Presiden Sukarno ke AMN Lembah Tidar dengan ditemani sejumlah perwira tinggi Angkatan Darat.
“Manila masih ingat ketika Bung Karno bertanya kepadanya, sebagai taruna asal Bali, mau jadi apa setelah lulus AMN? Manila menjawab, ingin menjadi pengawal Presiden. Panglima Angkatan Darat, Jenderal Ahmad Yani yang ikut hadir lantas tertawa. Jenderal Ahmad Yani mengatakan, ‘Pengawal Presiden itu kolonel, seperti Maulwi Saelan, bukan letnan dua.’ Manila hanya terdiam,” sambung Hardy dan Edy.
Siapa sangka, ternyata kemudian Manila yang masih berpangkat letnan sudah jadi pengawal Presiden Sukarno mulai awal 1967, beberapa bulan sebelum presiden lengser. Namun, Manila bertugas hanya 10 hari lantaran Manila mengambil cuti untuk melepas masa lajang.
“Saat itu Bung Karno masih sehat. Beliau sakit setelah tahun 1969,” kenang Manila.
Pada 1970-an, Manila memilih jalur “pendidik” demi bisa masuk sekolah staf dan komando (sesko). Maka pada 1974 Mayor CPM Manila memberanikan diri pindah jadi instruktur di Pusat Pendidikan Polisi Militer (Pusdikpom) di Cimahi.
Pada 1982, Kolonel Manila ikut serta dalam Operasi Ganesha, sebuah misi untuk memindahkan lebih dari 100 ekor gajah di Sumatera Selatan setelah ada konflik dengan transmigran sejak 1979. Persoalan ini jadi atensi Presiden Soeharto yang kemudian ditembuskan ke Menteri Lingkungan Hidup Emil Salim dan Pangdam IV/Sriwijaya Brigjen Try Sutrisno. Ketimbang dimusnahkan, pemerintah menganggap lebih baik gajah-gajah itu dipindahkan ke daerah yang layak, yakni Lebong Hitam, Air Sugihan, Sumatera Selatan. Manila jadi komandannya hingga ia dijuluki “Panglima Gajah”.
“Banyak faktor yang menentukan kenapa I.G.K. Manila yang ditunjuk sebagai Komandan Operasi Ganesha. Yang jelas, lelaki asal Bali ini seorang pencinta lingkungan hidup. Pada waktu senggang, ia senang berkelana ke hutan. Hutan belantara dijelajahinya, lembah dituruninya, bukit didakinya. Ia melihat dari dekat berlangsungnya ekosistem di jagat raya,” tulis Zahakir Haris dalam Operasi Ganesha.
Sekembalinya ke Cimahi, mulai 1985 Kolonel Manila jadi komandan Pusdikpom. Di sanalah ia mulai bersentukan dengan sepakbola. Pasalnya, Pusdikpom sempat jadi markas latihan fisik tim PSSI Garuda I dan Garuda II.
Nama Manila juga dikenal “seniornya”, Ketua PSSI Marsdya (Purn) Kardono, karena Manila mengasuh PS ABRI mejuarai Piala Wira Malindo 1989 di Kuala Lumpur. Pada 1991, giliran Manila yang secara tak sengaja diserahi tanggung jawab sebagai “panglima” timnas pasca-terjadi konflik antara Kardono dengan manajer timnas cum Ketua III PSSI Brigjen (Purn.) Acub Zainal. Menariknya, Manila sudah mencoba menerapkan sport science selama training camp di Pusdikpom.
“Padahal saya sempat mendapat perintah untuk ikut kursus legislatif, persiapan untuk jadi anggota DPR dari Fraksi ABRI karena ada Pergantian Antar Waktu. Tiba-tiba saya diminta Ketua Umum PSSI untuk jadi manajer untuk SEA Games 1991. Untuk sport science, kan karena saya sekolahnya di AMN hanya tahu cara berperang, saya panggil juga ahlinya dari UNJ (Universitas Negeri Jakarta) dan (Universitas) Airlangga. Jadi kita tidak tendang-tendang bola begitu saja. Ada faktor-faktor lain yang harus kita pertimbangkan,” terang Manila kepada Historia.ID.
Selepas SEA Games 1991, Manila juga berkecimpung dalam wushu. Olahraga ini sudah lama ada di Indonesia namun “tiarap” gegara gejolak politik pasca-Peristiwa 1965. Cerita wushu menurutnya adalah cerita tentang represi politik dan stigma negatif terhadap orang Tionghoa. Jadi, tugas yang diembannya berat. Namun segala rintangan memulai pembinaan wushu itu berhasil disingkirkan Manila, dengan bantuan praktisi Tai Chi Mediteransyah Masnadi, hingga kemudian Pengurus Besar Wushu Indonesia berhasil didirikan pada 10 November 1992.
Seiring dengannya, karier militer Manila menanjak. Bintang satu disandangnya sejak 1993. Namun di tahun-tahun ke depannya ia dikaryakan di beberapa jabatan sipil, termasuk sekretaris jenderal Departemen Penerangan hingga departemen itu dibubarkan Presiden KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pada 1999.
Pasca-Reformasi, Manila comeback ke sepakbola bersama Persija. Manila dipercaya jadi chef de mission Persija mulai musim 1999-2000. Saat itu, konflik suporter masih begitu tajam dan gonta-ganti pelatih kerap terjadi. Hasil manis baru bisa dipetik pada 2001, ketika Persija menjuarai Liga Indonesia VII.
“Bagi Manila, gelar juara Liga Indonesia VII adalah gelar ketiga yang didapatnya bersama Persija. Setahun sebelumnya, pada Maret 2000, Manila sukses membawa Persija meraih piala di Brunei Invitational Cup dan mempertahankan gelarnya pada 24 Agustus-3 September 2001 sebelum digelarnya babak 8 Besar Liga Indonesia VII,” sambung Hardy dan Edy.
Selepas pensiun dan di masa senjanya, Mayor Jenderal (Purn.) Manila “merapat” ke Surya Paloh, bos Metro TV yang dikenalnya sejak masih menjabat di Deppen pada awal Reformasi. Manila turut ambil bagian ketika Surya Paloh mendirikan NasDem pada 2011. Sampai akhir hayatnya, Manila kembali jadi “pendidik” sebagai Gubernur ABN NasDem.
Selamat Jalan, Jenderal IGK Manila. Dumogi Sang Atma Palatra Amor Ring Acintya!













Komentar