- Petrik Matanasi
- 21 Apr
- 3 menit membaca
SETELAH mengungsi ke Buton pada 1660, Arung Palakka dari Bone mendapat tawaran persahabatan dari Kongsi dagang Belanda Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC). Kongsi dagang yang biasa disebut kompeni itu kebetulan juga berseberangan dengan Gowa, lawan politik Bone dan banyak kerajaan kecil di Sulawesi Selatan.
Arung Palakka lalu mengutus Datu Pattojo alias Arung Pattojo untuk melihat peluang kerjasama itu. Datu Pattojo, sebagaimana ditulis Muhammad Idris Patarai dalam Arung Palakka Sang Fenomenal, pun berangkat ke Batavia pada 1663.
Setelah persahabatan terjalin, VOC memanfatkan Arung Palakka dan pengikutnya berperang ke Sumatra Barat. Pada 1666, VOC mengajak kelompok Arung Palakka melawan Gowa.
Persekutuan VOC-Palakka berhasil hingga Gowa terpaksa menandatangani Perjanjian Bongaya. Arung Palakka kemudian menjadi orang berpengaruh di Sulawesi Selatan tanpa menghabisi nyawa bangsawan Gowa yang dulu berlaku buruk padanya.
Datu Pattojo, yang berasal dari Soppeng –dan juga Bone dihuni oleh orang-orang Bugis, sejatinya nama gelar atau penghormatan masyarakat setempat. Datu Pattojo biasa dipakai orang-orang yang berkuasa di Pattojo. Pattojo sendiri adalah nama kerajaan kecil, yakni Kedatuan Pattojo –kini menjadi sebuah desa di Kecamatan Liliaraja, Soppeng, Sulawesi Selatan. Dalam beberapa cerita, Datu Pattojo disebut pula sebagai Arung Patojo atau Aru Petuju. Arung atau Aru biasa dipakai sebagai sebutan raja kecil.
Ketika berada di Batavia, Datu Pattojo tinggal di daerah yang kini disebut Petojo, dekat Istana Negara di Kecamatan Gambir, Jakarta Pusat.
“Kampung Petojo mendapat namanya dari kepala kaum Bugis. Mereka datang pada tahun 1663 di bawah pimpinan Aru Patuju, yang bersama Aru Palaka memberontak melawan Sultan Makassar,” catat Adolf Heuken dalam Tempat-tempat bersejarah di Jakarta.
Kampung Petojo terus berkembang setelah Datu Pattojo yang diutus Arung Palaka itu tutup usia. Sebagai daerah yang dekat dari pusat kekuasaan, Petojo turut menjadi bagian dari pusat ekonomi dengan industri yang berisi pabrik-pabrik di dalamnya. Petojo pun sempat dikenal karena keberadaan pabrik es batu di wilayahnya, yakni Petodjo Ijs Maatschappij.
“Sebagian masyarakat meyakini dari nama pabrik es inilah nama kampung Petojo bermula. Kampung Petojo kini terbagi atas dua kelurahan, yaitu Petojo Utara dan Petojo Selatan, Kecamatan Gambir, Jakarta Pusat,” catat Gusmanuddin Natawidjaja alias G.J. Nawi dalam Maen Pukulan: Pencak Silat Khas Betawi.
Di era kulkas belum ada, apalagi tersebar di rumah-rumah penduduk, pabrik es batu merasakan masa jayanya. Tak terkecuali Petodjo Ijs Maatschappij. Terlebih, pabrik Petodjo Ijs Maatschappij dikelola dengan modern, baik manajemen maupun peralatan produksinya. Setidaknya di masa kepemimpinan Direktur J.D Mijer.
“Saya mendapat undangan untuk datang dan melihat mesin air mineral baru ‘Sarepta’ yang baru saja dipasang di kapal uap Bromo. Sistem Beins lama menyediakan air yang sama sekali bebas dari komponen logam; namun, pintu tetap terbuka lebar untuk mikroba dan basil seperti mesin lainnya, apa pun sistemnya. Pada titik ini, kami harus bergantung sepenuhnya pada kewaspadaan produsen atau pada kebersihan pekerja itu sendiri. Sistem Beins yang baru, Sarepta, tidak hanya memberikan air mineral yang ‘bebas logam’ tetapi juga bebas bakteri dan mikroba,” tulis Frederik Willem Westerouen van Meeteren dalam artikel “De ‘Sarepta’”, termuat di Wekelijksche Courant: De Nijverheid Vol. 3-4, No. 42.
Namun, keberadaan pabrik es itu berakhir setelah nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda oleh pemerintah Indonesia pada 1958. Sebagaimana tercatat dalam buku Surabaya, City of Work: A Socioeconomic History, 1900-2000, Petodjo Ijs Maatschappij termasuk ke dalam perusahaan-perusahaan Belanda yang diambil alih pemerintah pusat.
Petodjo sendiri saat itu telah berkembang jauh dari ketika pertama kali ditinggali Datu Pattojo. Di sana pula sejarah persepakbolaan tanah air ikut dibangun dengan pembukaan lapangan sepakbola di daerah Roxy oleh Voetbalbond Indonesish Jakarta (VIJ) pada 1928.
“Pahlawan Nasional M Husni Thamrin turut berperan dan banyak mengeluarkan uang untuk membangun lapangan VIJ bersama dengan sejumlah perkumpulan lainnya pada April 1930 menyokong berdirinya PSSI,” catat Alwi Shahab dalam Maria van Engels menantu Habib Kwitang.
Selain membantu sepakbola di Petojo, Thamrin terlibat dalam usaha perbaikan kampung Petojo pula. Di kampung itulah mantan anggota Volksraad itu bertempat tinggal.
IVJ sendiri lalu berubah menjadi Persija. Kelak, dari lapangan itulah “lahir” pesepakbola-pesepakbola handal tanah air. Salah satunya gelandang legendaris Kiat Sek yang ikut memperkuat kesebelasan Indonesia era 1950-an hingga awal 1960-an.*
Comentarios