- Petrik Matanasi
- 6 Okt
- 3 menit membaca
Diperbarui: 7 Okt
KAPAL motor Johan van Oldebarnevelt angkat jangkar dari Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, pada 17 Mei 1958. Kapal itu hendak bertolak ke Negeri Belanda.
Dalam perjalanan, ternyata ada 27 penumpang gelap di dalamnya. Salah satu di antaranya seorang pria Ambon. Dia memilih “jalan belakang” lantaran enam kali upaya pengajuan visanya semua ditolak.
“Jalan belakang” diupayakan oleh kawan-kawannya yang polisi. Mereka mengaturnya naik Johan van Oldebarnevelt dengan modal boarding pass untuk izin naik kapal saja seperti penumpang gelap lain. Namun ada satu syarat yang harus dipenuhi untuk bisa begitu. Yakni si calon penumpang harus bekerja di kapal dengan imbalan minum dan makan gratis.
Demi bisa menaiki kapal, pekerjaan itu pun dilakoni George de Fretes, pria Ambon yang jadi penumpang gelap tadi. George bernama lengkap Frits George Karel de Fretes. Dia lahir di Bandung, 23 Desember 1921. Koran Deventer Dagblad tanggal 15 November 1958 menyebut dia anak seorang pegawai negeri. Dari Bandung, keluarganya kemudian pindah ke Jakarta.
George pun ikut Johan van Oldebarnevelt berlayar dari Jakarta mengarungi Samudera Hindia lalu Luat Merah, Terusan Suez dan akhirnya Port Said.
Namun, apa yang tak terpikirkan George telah terpikir oleh aparat keamanan di luar negeri. Polisi di Negeri Belanda sudah mencium kedatangan George penumpang gelap.
"Di Port Said, saya menerima telegram dari pencari bakat Jan de Winter,” aku George, seperti diakuinya di Algemeen Dagblad tanggal 26 April 1960.
Isi telegram itu merupakan sesuatu yang tak bisa ditolaknya, bahkan mungkin jadi impiannya. Yakni ajakan rekaman dari perusahaan Jan de Winter. Jan mengtahui George akan ke Belanda itu berkat informasi dari kepolisian berupa akan datangnya penumpang gelap dari bekas Hindia Belanda.
Maka, setibanya George di Belanda, dia harus menjalani penahanan beberapa waktu terlebih dulu. Het Parool tanggal 20 Agustus 1958 memberitakan, George diperbolehkan tinggal di Belanda setelah dibebaskan.

George akhirnya bebas. Pada Agustus 1958 dia bahkan sudah membuat band sendiri. Bagi George, ini jelas bagai memetik buah manis yang telah ditanamnya sejak lama. Pengorbanannya cukup besar karena harus berpisah dari istri dan anak yang tertinggal di Indonesia. Sementara, George dia tak bisa lagi berekspresi sebagai musisi jika terus tinggal di Indonesia.
“Saya harus pergi, karena saya tidak tahan lagi tinggal di Indonesia dalam kekacauan dan teror seperti ini. Semua karena orang-orang menganggap saya terlalu kebarat-baratan. Saya bermain untuk stasiun radio Belanda,” kenang George di Algemeen Dagblad.
George mengaku pernah dipenjara empat bulan tanpa pengadilan karena bermusik. Partai Komunis Indonesia (PKI) yang sedang naik daun pasca-1955 adalah biang kerok dari kesulitan berekspresinya. Musik Barat dicap partai tersebut sebagai tidak progresif dan buah dari kebudayaan neo-kolonialisme (Nekolim).
Diterima dengan baik di Belanda, George tak menyia-nyiakan kesempatan. Algemeen Dagblad menyebut, “(George, red.) meraih sukses besar dengan gitarnya.”
Gitar sendiri bukan satu-satuya alat musik yang dikuasai laki-laki Ambon keturunan Portugis dan kelahiran Jawa ini. George bisa meniup saksofon dan terompet. Semasa di Indonesia, George adalah pentolan dari Royal Hawaiian Minsreels.
Waktu kecil ada band yang mengajaknya ke Hawaii, namun ayahnya menolak tawaran itu karena tak ingin kehilangan anaknya. Padahal, merantau ke Belanda adalah cita-cita George sejak muda.
Selama di Belanda, George memainkan lagu-lagu dari Indonesia yang sudah populer di zaman Hindia Belanda. Koran Frisian Courier tanggal 28 Februari 1959 memberitakan, George mengaransemen ulang lagu “Ajoen-ajoen”. George yang dikenal sebagai musisi Hawaiian itu begitu terkenal di Belanda dan Indonesia. Ayah dari Wanda de Fretes ini sama sohornya dengan Kapolri Hoegeng Imam Santoso yang suka memainkan musik Hawaiian.*













Komentar