top of page

Sejarah Indonesia

...

Ketika Jenderal Nasution Marah

Ketegangan terjadi ketika Presiden Sukarno merombak Kabinet Dwikora. Atas nama keadilan, Jenderal Nasution menolak prosesi serah terima jabatan.  

Oleh :
4 Januari 2021
bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Jenderal Abdul Haris Nasution bersama istrinya, Yohana Sunarti. (Wikimedia Commons).

Pasca peristiwa Gerakan 30 September (G30S) 1965 keadaan negara bisa dikatakan kisruh. Gerakan penumpasan massa PKI menyebabkan situasi keamanan tidak terkendali. Harga-harga kebutuhan pokok melambung tinggi. Aksi demonstrasi menentang pemerintah pun semakin menguat.


Untuk mengatasi gejolak tersebut, Presiden Sukarno melakukan perombakan besar-besaran di jajaran kabinetnya. Pada 21 Februari 1966, keluar pengumuman dari Istana bahwa Presiden mereshuffle Kabinet Dwikora. Dalam Kabinet Dwikora yang disempurnakan itu sejumlah menteri ditambahkan sehingga memunculkan istilah “Kabinet 100 Menteri”. Ketua Nahdalatul Ulama Idham Chalid menjadi wakil perdana menteri IV.


“Tapi yang membuat kami kaget adalah digesernya Jenderal Nasution sebagai menteri pertahanan, diganti dengan Mayor Jenderal Sarbini,” kata Jenderal Soemitro dalam memoarnya Soemitro: Dari Pangdam Mulawarman sampai Pangkopkamtib.


Kegundahan Sarbini

Jenderal Abdul Haris Nasution merupakan salah satu menteri yang kena reshuffle. Jabatannya sebagai menteri koordinator pertahanan dan keamanan dihapus lalu dipecah menjadi dua: pertahanan dan keamanan. Mayor Jenderal Sarbini Martodihardjo ditunjuk menjadi menteri pertahanan sedangkan Kolonel Sjafei diangkat sebagai menteri negara untuk urusan keamanan. Adapun Mayjen Moersjid ditetapkan sebagai wakil menteri pertahanan membantu Sarbini.


Dalam perombakan kabinet, Sukarno memberikan perhatian khusus kepada departemen-depertemen ketentaraan. Selain memberhentikan Nasution dari jabatannya, Sukarno juga menghapus jabatannya sebagai kepala staf angkatan bersenjata dan membubarkan staf yang telah dibinanya sejak 1962. Sarbini yang sebelumnya menjabat menteri urusan veteran dan mobilisasi dianggap sebagai pengganti yang tepat untuk posisi Nasution.



Sarbini, seturut penelitian Harold Crouch dalam disertasi yang dibukukan Army and Politics in Indonesia, sangat disegani di kalangan Angkatan Darat, sebagai mantan panglima divisi Brawijaya dan Diponegoro. Dia juga dikenal punya relasi cukup kuat dengan Presiden Sukarno. Lagi pula, seperti dicatat Crouch, Sukarno tidak dapat lagi bekerja sama dengan Nasution.


Mayor Jenderal Sarbini, menteri pertahanan dalam Kabinet Dwikora yang disempurnakan. (Wikimedia Commons). 
Mayor Jenderal Sarbini, menteri pertahanan dalam Kabinet Dwikora yang disempurnakan. (Wikimedia Commons). 

Semula, Sarbini menolak dan bertanya mengapa Nasution harus diganti. Dari Menteri Panglima Angkatan Darat Letjen Soeharto, Sarbini mendapat jawaban kalau Nasution akan diberi jabatan baru. Belum puas dengan jawaban itu, Sarbini menemui Nasution, tapi yang bersangkutan hanya mengatakan terserah Sarbini mau menerima posisi menteri pertahanan ataupun tidak. Jawaban demikian semakin membuat gundah Sarbini.


Sarbini kemudian meminta petunjuk kepada Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Sultan Yogya itu menyarankan agar Sarbini menerima saja jabatan menteri pertahanan. “Jika tidak ingin melihat pertumpahan darah,” kata Sri Sultan. Seperti dituturkan Sarbini kepada Crouch, menurut Sultan kalau Sarbini menolak, maka dari “unsur Gestapu” yang akan diangkat. Diyakinkan demikian oleh Sri Sultan, Sarbini akhirnya menerima jabatan yang ditempati Nasution.


“Sarbini tidak pernah mengalami pelantikannya sebagai menteri baru karena Nasution tidak bersedia menghadiri upacara serah terima yang lazim,” tulis Crouch.    


Pembangkangan Nasution

Menurut Nasution, dirinya bersama beberapa menteri lain dipecat karena dianggap merintangi Sukarno. Nasution juga menduga bahwa dirinya akan “dibereskan” oleh Menteri Keamanan Sjafei yang terkenal sebagai “jagoan Senen” maupun pemimpin Barisan Sukarno. Namun, menurut Soemitro penujukan Sjafei sebagai menteri keamanan ditugaskan untuk menghadang aksi mahasiswa yang semakin getol berunjuk rasa.


“Dapat dipahami Mayjen Sarbini rikuh untuk menggantikan Jenderal Nas dalam kondisi seperti itu,” tutur Soemitro.



Setelah perombakan kabinet diumumkan, Nasution mangkir ketika dipanggil Presiden untuk menghadap. Nasution kemudian memerintahkan Komandan Korps Staf Angkatan Bersenjata, Kolonel Worang untuk menjaga jangan sampai papan Hankam/SAB diturunkan. Dengan bertindak demikian, Nasution menolak melakukan serah terima.


“Akhirnya Jenderal Sarbini dan Jenderal Moersjid datang ke rumah mendesak saya untuk serah terima Hankam, karena saya tetap tidak bersedia menyerahkan Hankam,” kenang Nasution dalam memoarnya Memenuhi Panggilan Tugas Jilid 6: Masa Kebangkitan Orde Baru.


Ketegangan yang terjadi mengundang keprihatinan di kalangan Angkatan Darat. Kolega Nasution sesama perwira lalu urun rembug. Mereka mengusulkan supaya Nasution dan Sarbini salat Jumat bersama di kantor Hankam dan sebelum pulang agar boleh mengadakan sekedar serah terima informal tanpa upacara sebagaimana biasanya. Nasution bergeming. Sementara itu, Sarbini bergegas pergi menuju Kalibata untuk menziarahi makam Jenderal Yani sekaligus menenangkan diri. 



Pada hakikatnya Nasution dapat legowo Sarbini menggantikannya. Perasaan kesal dan marahnya lebih ditujukan kepada Sukarno. Ketika bersua dengan Sarbini, Nasution mengatakan, “Saya berdosa kalau saya terima begitu saja putusan Presiden yang tidak adil. Hankam tidak saya serahkan begitu saja.” Dengan demikian, serah terima urung terjalin.


Drama serah terima jabatan itu terselesaikan pada 24 Februari 1966, ketika  “Kabinet 100 Menteri” akhirnya dilantik. Sarbini resmi menjabat menteri pertahanan. Sementara itu, Nasution harus tersingkir dari biduk catur kekuasaan rezim Sukarno.  

Comments

Rated 0 out of 5 stars.
No ratings yet

Add a rating
Mayor Udara Soejono Sang Eksekutor Kartosoewirjo

Mayor Udara Soejono Sang Eksekutor Kartosoewirjo

Mayor Soejono disebut sebagai eksekutor imam DI/TII S.M. Kartosoewirjo. Dia kemudian dieksekusi mati karena terlibat G30S.
Bung Karno dan Sepakbola Indonesia

Bung Karno dan Sepakbola Indonesia

Meski punya pengalaman kurang menyenangkan di lapangan sepakbola di masa kolonial, Bung Karno peduli dengan sepakbola nasional. Dia memprakarsai pembangunan stadion utama, mulai dari Lapangan Ikada hingga Gelora Bung Karno.
Juragan Besi Tua Asal Manado

Juragan Besi Tua Asal Manado

Bekas tentara KNIL yang jadi pengusaha kopra dan besi tua ini sempat jadi bupati sebelum ikut gerilya bersama Permesta.
Perdebatan dalam Seminar Sejarah Nasional Pertama

Perdebatan dalam Seminar Sejarah Nasional Pertama

Seminar Sejarah Nasional pertama tidak hanya melibatkan para sejarawan, melainkan turut menggandeng akademisi dan cendekia berbagai disiplin ilmu serta unsur masyarakat. Jadi momentum terbitnya gagasan Indonesiasentris dalam penulisan sejarah nasional Indonesia.
Berlan Kampung Serdadu dan Anak Kolong

Berlan Kampung Serdadu dan Anak Kolong

Sedari dulu, Berlan adalah daerah militer. Di zaman KNIL, Jepang, ataupun Indonesia, tetap sama.
bottom of page