top of page

Sejarah Indonesia

Ketika Jenderal Purnawirawan

Ketika Jenderal Purnawirawan Bersuara

Di masa Orde Baru para jenderal purnawirawan mengajukan pandangan untuk mengoreksi Dwifungsi ABRI. Kini para jenderal purnawirawan bersuara untuk memakzulkan wakil presiden.

7 Juli 2025

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Soeharto diantara para jenderal purnawirawan yang tergabung dalam Fosko TNI-AD. Kiri: Letjen Mokoginta, Letjen M. Jasin, Letjen H.R. Dharsono. Kanan: Brigjen Daan Jahja, Letjen Sugih Arto, dan Letjen Djatikusumo. (Ilustrasi: Gun Gun Gunadi/Historia.id.)

WAKIL Presiden Gibran Rakabuming Raka kini tengah digoyang. Tuntutan datang dari Forum Purnawirawan TNI yang menghendaki Gibran dimakzulkan dari jabatannya. Mereka menganggap Gibran tidak layak untuk menempati posisi itu, apalagi harus menggantikan Presiden Prabowo ketika berhalangan atau pada saat-saat tertentu.


Mayor Jenderal Soenarko, mantan Danjen Kopassus (2007—2008), termasuk yang meragukan kompetensi dan moralitas Gibran. Sejumlah catatan seperti isu “anak haram konstitusi” hingga akun Fufufafa melekat pada Gibran. Dengan alasan itu, menurutnya Gibran tak pantas menjadi wakil presiden, “planga-plongo,” katanya dalam siniar Indonesia Lawyers Club (ILC) pada 3 Juli 2025 lalu.


Aspirasi para jenderal purnawirawan itu sudah disampaikan dan diterima oleh DPR. Maka putusan pemakzulan Gibran bakal ditentukan oleh ketuk palu DPR selanjutnya. Namun, tuntutan akan terus dilanjutkan dan lebih keras andaikata DPR tidak merespons pemakzulan terhadap Gibran. Salah satu purnawirawan, mantan Kepala Staf Angkatan Laut Laksamana (Purn.) Slamet Soebijanto, mengancam akan menduduki MPR kalau tuntutan pemakzulan Gibran tidak ditindaklanjuti.


“Kalau sudah kita dekati dengan cara yang sopan tapi diabaikan, enggak ada langkah lagi selain ambil secara paksa. Kita duduki MPR Senayan sana. Oleh karena itu, saya minta siapkan kekuatan,” kata Slamet dalam konferensi pers bersama forum purnawirawan TNI di kawasan Kemang, (2/7).


Pada masa Orde Baru, para jenderal purnawiran juga bersuara kritis, tapi bukan menyasar pribadi tertentu, melainkan koreksi terhadap institusi ABRI, tempat mereka bernaung semasa aktif. Praktif dwifungsi ABRI memasuki puncaknya pada dekade 1970-an, yang ditandai dengan dominasi peran sosial-politik militer pada ranah sipil.


Seperti dicatat Jun Honna dalam Military Politics and Democratization in Indonesia, pada 1977, lebih dari 20.000 anggota ABRI ditempatkan dalam sektor sipil. Mereka menduduki 53 persen jabatan tertinggi di pemerintahan pusat dan 76 persen dari semua jabatan gubernur. Pengiriman para perwira militer ke bidang-bidang non-militer itu, bagi rezim, sebagai langkah untuk menjamin kelancaran proyek pembangunan sekaligus menjawab ketidakmampuan sipil dalam tugas-tugas pemerintahan.


Tidak hanya memperkuat posisi militer dalam penyelenggaraan kehidupan bernegara, dwifungsi ABRI kian memperluas jarak antara TNI dengan rakyat. Profesionalitas ABRI sebagai garda terdepan pertahanan negara pun jadi melempem. Fenomena itu memantik kekhawatiran, justru dari para sesepuh TNI sendiri. Jenderal (Purn.) Abdul Haris Nasution yang disebut “Bapak Dwifungsi ABRI” pernah menyatakan keprihatinannya menyaksikan praktik dwifungsi ABRI kebablasan.


“Pelaksanaannya kini telah melampaui dalam pidato introduksi 11 November 1958 dulu dan bahu membahu dengan kekuatan perjuangan lain (sederajat) yang dibawakan oleh epilog tragedi nasional G 30 S,” kata Nasution dalam wawancaranya dengan Berita Yudha, 5 Oktober 1997.


Selain Nasution, sejumlah jenderal purnawirawan yang tergabung dalam Forum Studi dan Komunikasi (Fosko) TNI AD juga merasakan kegelisahan serupa. Pembentukan forum ini difasilitasi oleh Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal Raden Widodo, tak lama setelah pengangkatannya pada 1978. Tujuannya untuk mewadahi aspirasi dari para purnawirawan kepada para pimpinan TNI yang masih aktif dan sumbang saran kepada pemerintah melalui KSAD.


Sebanyak 18 perwira terkemuka mantan petinggi militer tergabung dalam Fosko. Presidium Fosko terdiri dari Letjen (Purn.) Djatikusumo (KSAD periode 1948—1949), Letjen (Purn.) R. Sudirman, dan mantan perwira intelijen Mayjen (Purn.) Achmad Sukendro dengan Letjen H.R. Dharsono (mantan Pangdam Siliwangi) sebagai sekretaris jenderal. Bidang politik dipegang Letjen (Purn.) A.Y. Mokoginta dan Brigjen (Purn.) Daan Jahja; bidang ekonomi oleh Letjen (Purn.) M. Jasin (Wakil KSAD 1970—1973); bidang hukum oleh Letjen (Purn) Sugih Arto (mantan Jaksa Agung). Turut pula Kolonel (Purn.) Alex Kawilarang, perwira yang begitu disegani sejak zaman revolusi sebagai anggota.


Setelah dua bulan bekerja, Fosko TNI-AD mulai unjuk suara. Makalah berjudul “TNI dan Dwifungsinya” berisi gagasan menyoal dwifungsi ABRI disampaikan kepada KSAD. Dalam rekomendasinya, kertas kerja itu mengharapkan agar dalam satu atau dua tahun ke depan, paling lambat akhir 1979, pelaksanaan dwifungsi dikoreksi sejauh mungkin untuk dikembalikan pada dasar semula. Peninjauan ini akan membuka kesempatan dilanjutkannya dwifungsi sebatas fungsi laten TNI, yaitu dilakukan hanya pada saat diperlukan. Selain itu, Fosko memberi masukan terkait kepemimpinan nasional agar tidak memaksakan garis-garis kebijakan dan nilai-nilai di dalamnya terhadap generasi baru. Fosko juga menyarankan kehidupan antar-partai politik yang sehat sehingga partai politik tidak dipaksa berkompromi mengikuti kehendak penguasa.


Kertas kerja Fosko TNI-AD itu, menurut jurnalis David Jenkins dari The Far Eastern Economic Review, disusun oleh Dharsono, Sukendro, dan Mokoginta, juga Daan Jahja. “Dalam waktu 12 bulan para pensiunan jenderal di Fosko telah menyusun lima kertas kerja. Semuanya memberikan peringatan bahwa jika pemerintahan tidak melakukan penyesuaian, maka akan terjadi jurang yang kian lebar antara rakyat dengan ABRI. Pada saat yang sama Fosko memperingatkan, jika segala sesuatu berjalan seperti sediakala, maka rakyat akan kehilangan kepercayaan terhadap Pancasila dan UUD 1945,” catat Jenkins dalam Suharto and His Generals: Indonesian Military Politics, 1975—1983 (alih bahasa: Soeharto dan Barisan Jenderal Orba: Rezim Militer Indonesia 1975—1983).


Menurut pengamat politik dan militer Indonesia Bilver Singh, para jenderal purnawirawan itu percaya bahwa ABRI harus mengambil suatu pendekatan yang lebih sadar hakikat keberadaannya. Dengan demikian, ia harus meninggalkan banyak hak istimewa serta posisinya dan mengambil sikap lebih tidak memihak dalam politik nasional. “Kelompok ini,” ulas Singh dalam Dwifungsi ABRI: Asal-usul, Aktulisasi dan Implikasinya bagi Stabilitas dan Pembangunan, “mengharapkan adanya 'pemurnian' dwifungsi agar ABRI dapat kembali ke dasar moralnya yang tinggi yang telah diraih pada period revolusi.”


Presiden Soeharto rupanya tak senang atas tingkah para jenderal purnawirawan dalam Fosko. Atas tekanan dari Panglima ABRI Jenderal M. Jusuf, Jenderal Widodo akhirnya membubarkan Fosko. Dalam siaran persnya, seperti dikutip Kompas, 26 Mei 1979, Kepala Dinas Penerangan TNI AD Brigjen Soehirno menyatakan Fosko TNI AD bukanlah bagian organik dari TNI AD. Ia juga bukan merupakan organisasi massa seperti Lembaga Bantuan Hukum (LBH) dan sebagainya.


“KSAD Jenderal Widodo membekukan Fosko TNI-AD sejak tanggal 26 Mei yang lalu, dan tidak membenarkan siapapun dan apapun menggunakan nama Fosko TNI-AD,” demikian dilansir Kompas, 2 Juni 1979.


Meski ruang untuk berhimpun dikerangkeng, para jenderal purnawirawan itu berupaya agar suara mereka tetap didengar. Dengan tujuan yang kurang-lebih sama, Fosko TNI AD kemudian bersalin nama menjadi Forum Komunikasi dan Studi (FKS) Purna Yudha. Namun, lagi-lagi mereka kena bidik dan harus tiarap setelah laporan intelijen palsu menyebutkan para purnawirawan dalam FKS Purna Yudha merencanakan kudeta dalam suatu pertemuan di Semarang pada 9 November 1979.


Begitu pula Jenderal Widodo yang harus mengakhiri jabatannya lebih cepat sebagai KSAD dari sebagaimana yang lazim. Pada 1980, Widodo digantikan oleh wakilnya Jenderal Poniman. Diduga kuat faktor yang menyebabkan pemecatan Widodo adalah prakarsanya memfasilitasi pembentukan forum purnawirawan.


Sebagian dari para jenderal purnawirawan kemudian berhasil dijinakkan. Seperti diungkap Jenkins, mereka diumpan dengan tawaran konsesi ekonomi dari pemerintah. Mereka yang tetap kritis seperti Mokoginta dan Jasin bergabung dalam Petisi 50 bersama dengan Nasution. Sementara itu, dwifungsi ABRI jalan terus hingga berakhir bersamaan dengan runtuhnya rezim Orde Baru.

Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian
Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Film “The Voice of Hind Rajab” jadi antidot amnesia kisah bocah Gaza yang dibantai Israel dengan 335 peluru. PBB menyertakan tragedinya sebagai bagian dari genosida.
Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Dulu, orang Dayak dituduh pembakar hutan yang lebih berbahaya dari industri. Padahal, tidak banyak lahan hutan alam Kalimantan yang mereka gunduli.
Arsip Korupsi Sejak Zaman Kompeni

Arsip Korupsi Sejak Zaman Kompeni

Korupsi sejak masa VOC hingga kolonial Belanda terekam dalam arsip. Korupsi akan terus ada karena berkaitan dengan kekuasaan, kewenangan, dan keserakahan manusia.
Ziarah Sejarah ke Petamburan (1)

Ziarah Sejarah ke Petamburan (1)

Dari pelatih sepakbola Timnas Indonesia Toni Pogacnik hingga pembalap Hengky Iriawan. Sejumlah pahlawan olahraga yang mewarnai sejarah Indonesia dimakamkan di TPU Petamburan.
Foto "Gadis Napalm" yang Kontroversial

Foto "Gadis Napalm" yang Kontroversial

Cerita di balik potret bocah-bocah yang menangis histeris saat terjadi serangan napalm di Perang Vietnam. Kini atribusi fotonya jadi polemik.
bottom of page