top of page

Sejarah Indonesia

Ketika Tas Sukarno Digondol Maling

Begitu mengetahui tas tamu mereka yang sangat dihormati itu raib dicuri, orang-orang Bukittinggi bekerja keras untuk menemukannya kembali.

Oleh :
22 Agustus 2020
bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Bung Karno dan keluarga saat diasingkan oleh pemerintah Hindia Belanda di Bengkulu. (Yayasan Bung Karno).

Selepas dari pengasingan di Bengkulu pada awal Maret 1942, Belanda mencoba untuk membawa Sukarno dan Inggit Garnasih ke Australia. Hal itu terpaksa dilakukan karena pihak Belanda khawatir jika pemimpin rakyat Indonesia tersebut akan digunakan sebagai propagandis oleh bala tentara Dai Nippon.


Namun dalam kenyataannya kekuatan militer KNIL di Sumatra tak berdaya saat harus berhadapan dengan Tentara Ke-25 Angkatan Darat Kekaisaran Jepang. Alih-alih menyelamatkan Sukarno dan membawanya ke Australia, mereka justru sibuk menyelamatkan dirinya masing-masing.


“Mereka seperti pengecut: lari terpontang-panting…Dan membiarkanku tinggal. Ini adalah kesalahan besar dari mereka,” ungkap Sukarno dalam otobiografinya yang disusun oleh Cindy Adams, Bung Karno Pejambung Lidah Rakjat Indonesia.


Sukarno dan seluruh keluarganya lantas terdampar di Padang. Untuk sementara mereka tinggal di rumah salah seorang kenalan baik Sukarno bernama Woworuntu. Dan seperti yang ditakutkan oleh pihak Belanda, militer Jepang ternyata benar-benar mendatangi Sukarno dan mengundangnya untuk datang ke markas besar mereka di Bukittinggi.


Pimpinan tentara Jepang Kolonel Fujiyama mengajak Sukarno untuk membantu mereka selama bercokol di Hindia Belanda. Sebaliknya, Sukarno sendiri memiliki pemikiran jika dia pun  harus memanfaatkan Jepang demi kemerdekaan bangsanya. Maka terbentuklah kesepakatan antara Kolonel Fujiyama dengan Sukarno.


Suatu hari Sukarno mendengar berita bahwa seorang kawan baiknya bernama Anwar Sutan Saidi telah ditangkap Kenpeitai (Polisi Militer Angkatan Darat Jepang) di Bukittinggi. Anwar dituduh telah bersekongkol akan melawan kekuasaan bala tentara Jepang. Demi menolong Anwar, Sukarno memutuskan untuk menghadap Kolonel Fujiyama.


Begitu sampai di Bukittinggi, Sukarno lantas menuju rumah Munadji di Jalan Syekh Bantam. Di rumah salah seorang kawan Minang-nya itu, dia lantas menitipkan tas yang berisi kalung emas dan liontin berlian kepunyaan Inggit Garnasih. Sukarno sendiri lalu bergegas menemui para pembesar militer Jepang di markasnya dan berhasil membebaskan Anwar hari itu juga.


Tetapi alangkah kagetnya Sukarno. Usai mengurus pembebasan Anwar, dia menemukan kenyataan tas miliknya raib digondol maling. Munadji dan Anwar yang merasa malu atas kejadian itu lantas meminta pertolongan kepada seorang ulama bernama Inyik Djambek, panggilan hormat orang Bukittinggi kepada Syekh Mohammad Djamil Djambek.


Ajaib. Berkat bantuan sang ulama yang masih kerabat dekat dari Mohammad Hatta itu, tas milik Sukarno bisa kembali. Disebutkan, sang maling seorang laki-laki Tionghoa mengembalikan sendiri tas itu lewat cara menaruhnya di sudut suatu sawah. Tas itu kemudian diambil oleh Inyik Djambek dan diserahkan secara langsung olehnya kepada Sukarno.


Benarkah pencuri tas itu adalah seorang Tionghoa? Hasjim Ning, salah satu keponakan Hatta meragukan cerita itu. Dalam otobiografinya yang disusun olehA.A. Navis, Pasang Surut Pengusaha Pejuang, Hasjim pernah mengonfirmasi cerita tersebut kepada orang-orang Bukittinggi yang tahu akan kejadian itu. Jawaban mereka sangat mengejutkan.


“Ah yang mencurinya memang orang awak. Karena malu pada Bung Karno, dikatakanlah yang mencurinya orang Cina. Padahal mana berani Cina di sana menjadi pencuri. Apalagi mencuri milik Bung Karno, seorang pemimpin yang sangat dihormati rakyat…” ungkap salah seorang dari mereka.


Menurut Hasjim, kejadian sebenarnya adalah begitu mendapat laporan tas milik Bung Karno digondol maling, Inyik Djambek berinsiatif memanggil pimpinan penjahat paling ditakuti di Bukittinggi. Dengan marah, Inyik Djambek menyuruh sang pemimpin dunia hitam itu untuk ikut bertanggungjawab.


“Malu awak, tolonglah carikan!” katanya.


Merasa segan kepada sang ulama dan Bung Karno, "sang bos" kemudian mencari “maling kelas teri” tersebut. Tidak perlu waktu berjam-jam, orang itu berhasil ditemukan. Persoalan baru datang: seluruh isi tas tersebut sudah terlanjur berpindah tangan kepada para penadah di pasar gelap.


“(Baru) dua hari kemudian, kopor itu diserahkan kepada Inyik Djambek lengkap beserta isinya,” ungkap Hasjim.


Rupanya keterlambatan itu terjadi karena sang maling harus ekstra keras mengambil kembali barang-barang hasil curiannya itu kepada para penadah. 

Comments

Rated 0 out of 5 stars.
No ratings yet

Add a rating
bottom of page