- Petrik Matanasi
- 27 Jun
- 3 menit membaca
DI Kaliurang, sebuah daerah sejuk di kaki Gunung Merapi di utara Yogyakarta, berdiri sebuah villa bernama Van Resink. Nama ini cukup unik karena berbau Belanda.
Usut punya usut, dulu memang pernah ada keluarga Belanda kaya di Yogyakarta. Tersebutlah seorang laki-laki bernama Thomas Gertrudes Johan Resink. Makamnya berada di Utara Laya, kota Yogyakarta. Menurut nisannya, Thomas lahir di Banyubiru pada 29 April 1870. Dia adalah anak dari pasangan Albertus Resink dan Johanna Christina de Klerk.
Menurut studbook atas nama Albertus Resink, tersua informasi bahwa Albertus lahir di Doetinchem, Gelderland, 24 Juni 1841. Lalu pada 1858 Albertus masuk Akademi Militer dan menjadi kadet bagian zeni. Pada 1862, Albertus dilantik menjadi letnan dua KNIL. Albertus meninggal dunia pada 25 November 1906 di Haarlem.
Thomas lahir ketika Albertus masih berdinas. Thomas memilih jadi pengusaha di bidang perkebunan sebagai jalan hidupnya. Namun, Thomas juga pernah menjadi direktur dari NV Cultuur Maatschappij Gedjajan. Koran Indische Courant tanggal 12 Mei 1927 menyebut perusahaan itu didirikan di Semarang. Namun saat itu Thomas tinggal di Yogyakarta.
Pada 1927, NV Cultuur Maatschappij Gedjajan terlibat dalam pembukaan perkebunan tebu di Karangwuni (Depok, Sleman) dan Senwono (Mlati, Sleman). Perkebunan itu pengairannya didapatkan lewat sumur-sumur. Nama Gedjajan (yang dieja Gejayan) sendiri mirip dengan nama sebuah jalan yang kini secara resmi bernama Jalan Affandi namun di sana masih disebut Jalan Gejayan.
Pada era 1920-an, keluarga Thomas sudah tinggal di Gondokusuman. Thomas menikah dengan Anna Jacoba Wilkens, yang yang makamnya juga berada di Utara Laya. Anna Jacoba Wilkens, dalam nisannya, disebut kelahiran Rau Sumatra, 15 Agustus 1880. Menurut catatan Stuart Robson dalam The Kraton Selected Essays on Javanese Courts, Anna adalah cucu Johannes Albertus Wilkens (1813-1888) yang berkontribusi pada leksikon Jawa abad XIX.
Anna amat tertarik pada kebudayaan Jawa. Rumahnya di Gondokusuman pernah dijadikan tempat acara diskusi kebudayaan Jawa. Koran De Locomotief edisi 21 September 1921 menyebut pada Minggu, 11 September 1921 di rumahnya Anna memberikan ceramah tentang benda-benda seni dan kerajinan tangan di hadapan anggota Java Instituut. Anna juga membahas soal tekstil Jawa. Kala itu Anna prihatin dengan kemerosotan seni tenun yang sangat terlihat di seluruh Nusantara. Selain tentang kain, Anna juga membahas soal keris Jawa yang menurutnya terabaikan. Budaya Jawa menjadi merosot setelah kedatangan Islam, menurutnya. Menurutnya ukiran kayu Jawa kala itu sudah menyedihkannya, kecuali di Jepara, di lembah Kraton Solo dan di Bali. Anna berharap adanya kebangkitan seni Jawa.
Perkawinan Anna dan Thomas menghasilkan beberapa anak. Ada Anne Resink, yang seperti Thomas juga seorang insinyur. Selain itu ada Gertrudes Johannes Resink yang kelahiran Yogyakarta, 11 Oktober 1911. Gertrudes lulusan Recht Hogeschool (RHS) alias Sekolah hukum Batavia dan dikenal sebagai Han Resink. Anak lainnya adalah Gertrude Anna Resink yang kelahiran 1914.
Thomas masih menikmati masa ketika anak-anaknya sudah selesai sekolah tinggi. Namun tak lama. Koran Soerabaijasch Handelsblad, 12 September 1937 menyebut Thomas Resink senior tutup usia pada 8 Desember 1937 di usia 67 tahun. Kala itu anak-anak keluarga Resink ada yang tinggal di Yogyakarta, Semarang dan Bogor.
Anna Jacoba dan anak-anaknya melalui masa Perang Dunia II. Thomas Anne mengalami kemalangan karena dia pernah ditawan Jepang. Seperti kebanyakan orang Belanda, keluarga Resink di zaman Jepang adalah tipe orang yang tinggal di kamp interniran Jepang yang penuh derita. Mereka baru bebas pada akhir tahun 1945 begitu Jepang kalah perang. Namun, Anna Jacoba tak sempat merasakan kebebasan karena pada 25 Maret 1945 meninggal dunia di kala tentara Jepang masih berkuasa.
Han Resink, yang pernah aktif dalam Stuw-groep —sebuah kelompok pro kemerdekaan Hindia Belanda namun tetap terhubung dengan Kerajaan Belanda— setelah 1945 memilih tinggal di Indonesia. Han tipe seorang intelek dengan banyak karya. Salah satu yang terpenting yakni buku yang membahas tentang ketidakbenaran Indonesia dijajah 3,5 abad oleh Belanda lantaran masih ada kerajaan-kerajaan merdeka yang tidak terikat Kerajaan Belanda pada abad XIX.*













Komentar