top of page

Sejarah Indonesia

Letnan Kolonel, Overste, dan Obos

Berada di bawah kolonel dan di atas mayor, pangkat letnan kolonel dulu berwenang memimpin brigade atau resimen.

16 Mar 2025

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Letkol Untung, komandan Batalyon KK I di Resimen Tjakrabirawa. Pada 1960-an, letkol umumnya hanyalah komandan batalyon. (Wikimedia Commons).

DI masa revolusi kemerdekaan dulu, perkara pangkat tentara merupakan salah satu hal yang sulit diatur. Selain sistemnya masih belum “mapan”, situasinya masih dirundung perang. Maka acapkali soal pangkat menimbulkan gesekan, bahkan konflik.  Salah satunya pada 1946, yang melibatkan Kolonel Zulkifli Lubis.


Kala itu Lubis merupakan kepala Penjelidik Militer Chusus (PMC), cikal-bakal badan intelijen RI, yang berkedudukan di ibukota Yogyakarta. Sebagai salah satu petinggi di kemiliteran, dia hendak menertibkan pangkat anggotanya berdasarkan pendidikan militernya. Salah satu yang kena “penertiban” pangkat itu adalah Kahar Muzakkar, komandan Divisi Seberang asal Sulawesi yang dekat dengan Lubis.


Pangkat baru Kahar itu diberikan Lubis dalam sebuah pertemuan. Kolonel Lubis sendiri yang menyematkan pangkat letnan satu Tentara Republik Indonesia di pundak Kahar.

Namun tanpa dinyana, dengan sangat emosional Kahar cabut pangkat letnan baru itu dari pundaknya kemudian dia lemparkannya ke Lubis. Semua kaget.


“Selama kemerdekaan belum tercapai 100 persen, saya tidak akan memakai pangkat!” kata Kahar yang segera meninggalkan ruangan, dikutip Andi Mattalata dalam Meniti Siri dan Harga Diri.


Kahar sebetulnya kecewa. Menurut Mattalata, kala itu sebenarnya Kahar mengharapkan pangkat kolonel.


Di luar momen itu, Kahar Muzakkar akhirnya mendapat pangkat letnan kolonel, satu tingkat di bawah kolonel.


Pangkat Letnan Kolonel di masa revolusi biasanya dijabat oleh komandan brigade. Di antara para letnan kolonel di era revolusi terdapat Soeharto dan Achmad Yani. Ada pula bekas anggota Koninklijk Nederlandsch Indisch Leger (KNIL) atau Koninklijk Marine yang langsung dapat pangkat letnan kolonel ketika baru bergabung dengan tentara RI karena pengalaman militer mereka. Seperti Adolf Lembong atau Subyakto yang belakangan jadi KSAL.


Dalam sejarahnya, letnan kolonel terkait erat dengan pangkat kolonel. Menurut Raymond Oliver dalam makalahnya, “Why Is Colonel Called is Kernel?”, letnan kolonel adalah pembantu dari kolonel. Letnan kolonel akan mengambil alih tugas kolonel ketika kolonel tidak ada di tempat.


Di Indonesia, pada awal 1950-an kolonel dan letnan kolonel biasa memimpin sebuah resimen. Ini ada kaitan dengan kebiasaan sebelumnya. Di era Hindia Belanda, menurut Pieter Marin dalam Groot Nederduitsch en Fransch Woordenboek, overste memimpin resimen juga.


Di masa Hindia Belanda itu pula letnan kolonel sering disebut sebagai Overste. Menurut Polyglott Lexicon: pt. 3. English, Dutch, German, and French. pt. 4. Dutch, French, German, and English, Overste juga acap disebut Oberste atau Obrist di di negara-negara berbahasa Jerman. Dari Obrist kemudian lahir istilah Obrust, yang artinya juga sama.


Overste dan Obrust kemudian melahirkan turunan lagi, yakni Obos. Maka ada letnan kolonel yang disebut sebagai Obos. Salah satu yang terkenal adalah Obos Penelen, begitu lidah orang Gayo menyebut nama Letnan Kolonel van Daalen yang terkenal kejam di Gayo dan Aceh itu.

Kini, istilah Obrust atau Obos sudah terlupakan lantaran telah lama tidak dipakai. Hanya isitilah Overste yang masih suka dipakai oleh perwira-perwira yang bisa berbahasa Belanda di dalam Tentara Nasional Indonesia, umumnya dari generasi ’45 yang kini pun semakin langka.


Sementara dari segi kewenangan, kini letnan kolonel tidak lagi memimpin sebuah resimen,  tapi turun ke batalyon. Ini amat terkait dengan perbaikan organisasi di tubuh TNI. Semakin sempurnanya organisasi, personalia, dan persenjataan di TNI di era 1960-an membuat batalyon tak sekopong batalyon era revolusi. Jumlah personelnya pun bukan 300-500 lagi, sebuah batalyon bisa lebih dari 1000 personel dan semua bersenjata baik. Dari situlah kemudian komandan batalyon di TNI umumnya dipegang letnan kolonel. Salah satu contoh komandan batalyon adalah Letkol Untung yang –merupakan komandan Batalyon KK I Resimen Tjakrabirawa– memimpin G30S menculik para jenderal AD pada 1 Oktober 1965.*

Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian
Tedy Jusuf Jenderal Tionghoa

Tedy Jusuf Jenderal Tionghoa

Tedy masuk militer karena pamannya yang mantan militer Belanda. Karier Tedy di TNI terus menanjak.
Alex Kawilarang Menolak Disebut Pahlawan

Alex Kawilarang Menolak Disebut Pahlawan

Alex Kawilarang turut berjuang dalam Perang Kemerdekaan dan mendirikan pasukan khusus TNI AD. Mantan atasan Soeharto ini menolak disebut pahlawan karena gelar pahlawan disalahgunakan untuk kepentingan dan pencitraan.
Mengakui Tan Malaka Sebagai Bapak Republik Indonesia

Mengakui Tan Malaka Sebagai Bapak Republik Indonesia

Tan Malaka pertama kali menggagas konsep negara Indonesia dalam risalah Naar de Republik Indonesia. Sejarawan mengusulkan agar negara memformalkan gelar Bapak Republik Indonesia kepada Tan Malaka.
Misi Orde Baru Menggerus PNI dan NU

Misi Orde Baru Menggerus PNI dan NU

Setelah menumpas PKI, rezim Orde Baru kemudian menghabisi PNI dan NU. Dengan begitu Soeharto dapat berkuasa selama tiga dekade.
Dewi Sukarno Setelah G30S

Dewi Sukarno Setelah G30S

Dua pekan pasca-G30S, Dewi Sukarno sempat menjamu istri Jenderal Ahmad Yani. Istri Jepang Sukarno itu kagum pada keteguhan hati janda Pahlawan Revolusi itu.
bottom of page