- Amanda Rachmadita
- 10 Jun
- 5 menit membaca
“PROPAGANDA komunis begitu palsu, kasar, dan terang-terangan, sehingga kita bertanya-tanya bagaimana seseorang dapat terpengaruh olehnya. Kita lupa bahwa sebagian besar orang yang menjadi sasaran propaganda tersebut tidak memiliki akses bebas terhadap informasi yang akurat. Kita lupa bahwa mereka tidak mendengar siaran atau membaca surat kabar yang tidak memihak. Kita lupa bahwa mereka tidak memiliki kesempatan untuk mempelajari kebenaran dengan melakukan perjalanan ke luar negeri atau berbicara secara bebas dengan para pelancong di negara mereka sendiri... Terlalu sering orang-orang yang menjadi sasaran propaganda komunis tidak mengenal orang Amerika atau warga negara dari negara-negara bebas lainnya. Mereka tidak mengenal kita sebagai petani dan pekerja... Mereka bahkan tidak tahu apa yang kita maksudkan ketika kita mengatakan ‘demokrasi’... Ini adalah salah satu tugas terbesar yang dihadapi bangsa-bangsa merdeka saat ini, yakni menghadapi propaganda palsu dengan kebenaran di seluruh dunia... Kita harus mendorong lebih banyak lagi orang dari negara lain untuk mengunjungi kita di sini... Kita harus membuka lebih banyak kesempatan bagi pelajar asing untuk menempuh pendidikan di sekolah dan universitas kita,” kata Presiden Amerika Serikat Harry S. Truman di depan konvensi tahunan American Society of Newspaper Editors di Hotel Statler, Washington D.C., April 1950.
Pidato Presiden Truman menegaskan ancaman penyebaran komunis di berbagai negara pasca Perang Dunia II. Untuk meredam pengaruh komunis, Truman menjadikan orang-orang asing di Amerika, khususnya para mahasiswa, sebagai agen sosial yang memperkenalkan dan menanamkan budaya Amerika di negara asal mereka. Sebab, para pelajar asing ini merupakan pemuda-pemuda yang akan memimpin negara mereka di masa depan. Dengan ilmu dan kemampuan yang mereka dapatkan selama bersekolah di Amerika –termasuk budaya dan gagasan-gagasan Amerika– para pemuda itu akan menempati posisi-posisi strategis, baik di pemerintahan maupun lembaga-lembaga penting lainnya, yang dapat menentukan arah kebijakan politik dan ekonomi negara tersebut.
Menurut Liping Bu, profesor sejarah di Alma College, dalam “Educational Exchange and Cultural Diplomacy in the Cold War”, termuat di Journal of American Studies, Volume 33, Issue 3, Desember 1999, peran presiden Amerika Serikat dalam pertukaran budaya dan propaganda politik tidak hanya dicontohkan oleh Harry S. Truman, tetapi juga oleh Dwight D. Eisenhower. Ketika menjabat presiden, Eisenhower sangat tertarik dengan pertukaran budaya. Selama kampanye kepresidenannya pada 1952, Eisenhower menegaskan, “Saya sangat yakin bahwa program pertukaran pendidikan merupakan langkah penting menuju perdamaian dunia... Merupakan harapan pribadi saya bahwa kegiatan ini... akan terus berkembang di tahun-tahun mendatang.”
Eisenhower juga berperan dalam pendirian Badan Informasi Amerika Serikat (USIA), yang memisahkan informasi (propaganda terbuka) dari pertukaran pendidikan di bawah pengawasan Departemen Luar Negeri. Ia pun turut membantu pembentukan program People-to-People untuk kontak persahabatan antara negara-negara yang berbeda.
Program pertukaran pendidikan membawa ratusan ribu peserta pelatihan teknis dan industri serta pelajar atau cendekiawan asing ke Amerika dari Eropa dan negara-negara di Asia, Timur Tengah, Amerika Latin, hingga Afrika. Para ahli dan profesor Amerika juga dikirim ke luar negeri untuk membantu dan meneruskan keahlian mereka kepada orang-orang di negara-negara yang dibantu. Para mahasiswa asing didorong untuk belajar tentang nilai-nilai Amerika dan cita-cita demokrasi, sementara warga Amerika di luar negeri didorong untuk menyebarkan konsep dan cara hidup Amerika.
“Departemen dan lembaga pemerintah, seperti Departemen Luar Negeri, Kehakiman, Tenaga Kerja, Pertahanan, Kesehatan, Pendidikan dan Kesejahteraan, Perdagangan, hingga Dalam Negeri, semuanya terlibat dalam program pertukaran pendidikan ini. Sedangkan lembaga swasta seperti universitas, yayasan filantropi, organisasi keagamaan, perusahaan, dan kelompok masyarakat juga dimobilisasi dan digunakan untuk tujuan tersebut,” tulis Liping Bu.
Begitu pentingnya peran mahasiswa asing sebagai alat propaganda Amerika di masa Perang Dingin terlihat dari aktifnya lembaga profesional yang bertugas sebagai penasihat mahasiswa asing dalam memperkenalkan nilai-nilai Amerika kepada para pelajar internasional. Berawal dari konferensi tahun 1942 di Cleveland yang diselenggarakan oleh Institute for International Education (IIE) bekerjasama dengan Departemen Luar Negeri, Kantor Koordinator Urusan Antar-Amerika, dan Kantor Pendidikan Amerika, para penasihat mahasiswa asing membentuk organisasi National Association of Foreign Student Advisors (NAFSA).
Surat kabar The New York Times, 27 Agustus 1949, melaporkan, peran para penasihat mahasiswa asing begitu penting dalam membentuk pandangan pelajar internasional terhadap Amerika. Dijuluki sebagai “Duta Besar tidak resmi”, para sukarelawan yang ambil bagian dalam kegiatan ini akan menyambut kedatangan para mahasiswa internasional dari kapal maupun pesawat. Selain itu, melalui para penasihat mahasiswa asing tersebut pelajar internasional dapat meminta bantuan untuk mendapatkan pekerjaan selama musim panas atau mengunjungi keluarga-keluarga yang tinggal di New York. Para mahasiswa asing mulai membangun kesan mereka tentang Amerika melalui perjalanan berpemandu ke pabrik-pabrik mobil, Bursa Efek, toko serba ada, serta kantor surat kabar. Mereka melihat dan mendengar tentang budaya Amerika di museum dan konser dan tak jarang diajak naik perahu di bawah sinar bulan, menonton pertandingan bisbol, bersepeda, dan piknik.
“Kesan para mahasiswa asing terhadap Amerika akan dibawa kembali ke universitas dan toko-toko di tanah air mereka, untuk disebarkan, jika baik, seperti propaganda yang melimpah; jika buruk, seperti virus yang bernanah,” tulis The New York Times.
Upaya menanamkan gagasan-gagasan Amerika kepada mahasiswa asing untuk meredam penyebaran komunisme merupakan wujud dari re-edukasi. Program yang tidak hanya melibatkan mahasiswa, tetapi juga para sarjana, pendidik, dan ahli itu adalah Program Fulbright, yang dipromosikan oleh The New York Times pada Oktober 1947 sebagai “program pertukaran pendidikan paling komprehensif yang pernah dilakukan oleh negara manapun”. Program paling terkenal dalam pertukaran pendidikan internasional ini disponsori oleh Senator J. William Fulbright dari Arkansas.
Menurut Sejarawan Paul A. Kramer dalam “International Students and U.S. Global Power in the Long 20th Century”, termuat di Asia Pacific Journal: Japan Focus, Volume 8, Issue 3, Januari 2010, Program Fulbright yang diresmikan pada September 1945 memungkinkan penggunaan kredit yang diperoleh dari penjualan surplus properti di luar negeri untuk memajukan niat baik internasional melalui pertukaran pelajar di bidang pendidikan, budaya, dan ilmu pengetahuan. Kebijakan ini memberi wewenang kepada Kongres untuk membuat perjanjian dengan pemerintah asing untuk menjual “rongsokan perang” terbengkalai, yang kreditnya dikelola oleh komisi dua negara, digunakan untuk mendanai perjalanan pendidikan dari dan ke Amerika.
“Dibingkai dalam bahasa saling pengertian. Program Fulbright sejak awal merupakan praktik untuk menunjukkan pengaruh Amerika... Baik melalui perjalanan yang disponsori oleh orang Amerika ke luar negeri, maupun kunjungan orang asing ke Amerika, tujuan program ini adalah menciptakan dunia yang aman bagi kepemimpinan Amerika melalui penyebaran dan legitimasi nilai-nilai dan lembaga-lembaga ‘Amerika’,” jelas Kramer.
Menariknya, berbagai upaya memperkenalkan budaya Amerika kepada mahasiswa asing tak sepenuhnya membuat para pelajar internasional itu memiliki keterkaitan yang erat, baik dari sisi budaya maupun gagasan internasionalisme yang diusung Amerika. Sejarawan Margaret O’Mara mencatat dalam “The Uses of the Foreign Student”, termuat di Social Science History, Vol. 36, No. 4, 2012, sebuah laporan tahun 1965 menemukan bahwa opini positif mahasiswa terhadap Amerika tetap sama, baik yang telah tinggal di negara itu selama satu tahun maupun yang sudah lebih dari tiga tahun, dan pada keyataannya, opini negatif terhadap Amerika justru meningkat seiring dengan bertambahnya waktu tinggal.
Pada pertengahan 1960-an, referensi eksplisit terhadap mahasiswa asing sebagai agen potensial propaganda positif Amerika sebagian besar telah menghilang dari catatan publik, digantikan oleh retorika bernuansa halus yang menggemakan internasionalisme 20 tahun sebelumnya. Presiden Lyndon B. Johnson, yang menyambut mahasiswa asing dari wilayah Washington di Gedung Putih, menyebut ketidaksempurnaan sistem Amerika. Menyinggung ketidaksesuaian antara deklarasi kesetaraan manusia di Amerika dan realitas bangsa yang masih terpisah-pisah yang secara pribadi akan mempengaruhi banyak pendengarnya, Johnson mengakui bahwa Amerika Serikat, “seperti negara Anda sendiri, adalah masyarakat yang belum selesai.” Dia melanjutkan, “Tidak ada orang atau bangsa yang cukup bijaksana untuk menentukan satu sistem ekonomi atau satu rangkaian institusi politik untuk memenuhi kebutuhan lebih dari seratus negara, masing-masing dengan sejarahnya sendiri, sumber dayanya sendiri, budayanya sendiri, dan tradisi spiritual yang membanggakan.”
“Seperti propaganda yang lebih luas dan kegiatan pembangunan luar negeri pada masa itu, dorongan dan dukungan langsung dari mahasiswa asing dan staf pengajar di universitas-universitas Amerika beroperasi dengan anggapan bahwa paparan budaya Amerika akan menciptakan sekutu seumur hidup dan memacu upaya-upaya untuk meniru demokrasi kapitalis gaya Amerika di dunia pascakolonial Perang Dingin. Dan seperti program pemerintah untuk penelitian dan pengajaran ilmiah yang memperluas dan menata ulang pendidikan tinggi dengan cara yang mendalam dan bertahan lama, program mahasiswa asing mengakui perguruan tinggi di Amerika Serikat sebagai instrumen politik yang penting dalam perjuangan antara demokrasi dan totalitarianisme,” jelas O’Mara.
“Namun, seperti halnya program-program Perang Dingin lainnya, harapan para pembuat kebijakan bahwa program-program ini akan menjadi pengekspor demokrasi yang kuat ke Dunia Ketiga dikompromikan dan dikontradiksikan oleh diskriminasi yang dihadapi kelompok mahasiswa yang semakin meningkat, yang warna kulitnya membuat mereka menjadi kelompok minoritas pada 1950-an dan 1960-an di Amerika,” tambahnya.*













Komentar