top of page

Sejarah Indonesia

Mamdani Di Persimpangan Kiri

Mamdani di Persimpangan Kiri Jalan

Zohran Mamdani dilabeli Donald Trump sebagai komunis. Dulu, ayahnya justru diperkenalkan dengan Karl Marx oleh FBI.

21 November 2025

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Walikota terpilih New York Zohran Kwame Mamdani yang mengaku seorang sosialis demokrat (X@ZohranKMamdani)

WALIKOTA terpilih New York, Zohran Mamdani, bakal menyambangi Presiden Amerika Serikat Donald Trump di Gedung Putih, Washington DC. Pertemuan keduanya dijadwalkan hari ini, Jumat (21/11/2025) waktu setempat. Agendanya dikonfirmasi langsung oleh Presiden Trump.


“Walikota komunis New York, Zohran ‘Kwame’ Mamdani, sudah meminta sebuah pertemuan. Kami telah menyetujui pertemuannya akan berlangsung di Oval Office (kantor kepresidenan) pada Jumat, 21 November. Detail lebih jauh akan disampaikan selanjutnya!,” ungkapnya di laman media sosial Truth-nya, @realDonaldTrump, Kamis (20/11/2025).


Itu bukan kali pertama Trump melabeli Mamdani sebagai komunis. Pada 5 November 2025 atau sehari pasca-pemilihan walikota New York 2025 yang dimenangi Mamdani yang disokong Partai Demokrat, Trump menyatakan kota Miami di Florida akan jadi tempat pelarian orang-orang komunis di kota New York.


Meski sebelumnya diserbu propaganda berbau Islamofobia oleh lawan-lawan politiknya dan kini dicap komunis, Mamdani tetap jadi harapan baru bagi mayoritas warga kota berjuluk “Big Apple” tersebut. Bahkan pada pidato kemenangannya pada hari yang sama, 5 November 2025, Mamdani dengan berani dan lantang menantang Trump.


“Ini bukan semata soal bagaimana kita menghentikan Trump; ini soal bagaimana kita menghentikan (Trump) berikutnya. Jadi, Donald Trump, karena saya tahu Anda menyaksikan, saya punya empat kata untuk Anda: Naikkan volume suaranya...kami akan mengakhiri budaya korupsi yang membolehkan miliuner seperti Trump menghindari pajak dan mengeksploitasi pengurangan pajak. Kami akan berdiri bersama serikat-serikat dan memperluas perlindungan para pekerja. Jadi dengarlah, Presiden Trump, ketika saya mengatakan ini: untuk bisa menghadapi salah satu dari kami, Anda harus menghadapi kami semua,” seru Mamdani.


Sejatinya, sosok kelahiran Kampala, Uganda, 18 Oktober 1991 itu menolak disebut komunis. Meski sama-sama di “kiri jalan”, Mamdani lebih mendeskripsikan dirinya sebagai sosialis demokrat. Oleh karenanya ia punya segudang kritik terhadap oligarki dan kapitalisme.


“Pada akhirnya, mengapa saya menyebut diri saya seorang sosialis demokrat adalah karena kata-kata Dr. King (aktivis HAM Martin Luther King Jr., red.) beberapa dekade lalu. Ia mengatakan, sebutlah demokrasi atau sebutlah sosialisme demokratis. Masih ada pemerataan kemakmuran yang lebih baik bagi semua anak-anak Tuhan di negeri ini,” kata Mamdani ketika diwawancara penyiar CNN, Erin Burnett, 26 Juni 2025 lalu.


Meski begitu, Zohran Mamdani tidak fanatik buta pada pandangan-pandangan kiri. Ia tetap berusaha merelevansikan filosofi-filosofinya untuk menjaring banyak keresahan warga New York, utamanya mereka yang berasal dari golongan kelas pekerja. Ayahnya yang guru besar antropologi, Prof. Mahmood Mamdani, pun demikian meski di masa mudanya pada 1960-an Mahmood pernah ikut-ikutan protes anti-diskriminasi bersama para aktivis Student Nonviolent Coordinating Comittee (SNCC). Mahmood jelas mempelajari sosok Karl Marx, si “Bapak Komunisme Modern”, berkat biro investigasi federal Amerika FBI.


Prof. Mahmood Mamdani, ayah dari Zohran Kwame Mamdani (unisa.ac.za)
Prof. Mahmood Mamdani, ayah dari Zohran Kwame Mamdani (unisa.ac.za)

Mahmood Membaca Karl Marx

Suatu hari di Pittsburgh medio 1965, Mahmood muda bersama seorang rekan mahasiswa begitu terkesan ketika tak sengaja mendengar pidato dan membaca pamflet yang disebarkan serikat pelajar dan SNCC dekat kampusnya, University of Pittsburgh. Kebetulan hari itu rombongan aktivis SNCC hendak berangkat dengan bus ke Montgomery, Alabama dalam rangka perjuangan solidaritas anti-segregasi dan anti-diskriminasi.


Tanpa ragu, Mahmood yang belum paham sepenuhnya justru tertarik untuk ikut. Ia baru memperdalam inti-inti perjuangan SNCC dalam perjalanan di dalam bus menuju Montgomery. Ia bahkan sukses sampai ke Montgomery dan sempat mendengarkan pidato Martin Luther King.


Akan tetapi setelahnya ketika mereka hendak long march ke pusat kota, mereka dihadang barisan polisi berkuda dan banyak yang ditangkapi, termasuk Mahmood. Di penjara, para aktivis setidaknya diizinkan sekali melakukan panggilan telefon. Mahmood memilih mengontak Duta Besar Uganda untuk Amerika Serikat, Olcott Hawthorne Deming, mengingat ia masih warga negara Uganda yang tengah kuliah di Amerika.


“Buat apa Anda ikut campur urusan dalam negeri di negara asing?” ketus sang dubes di ujung telefon.


“Ini bukan urusan negeri asing semata. Apa Anda lupa bahwa kita juga baru meraih kemerdekaan beberapa tahun lalu? Ini perjuangan yang sama, demi kebebasan,” jawab Mahmood.


Begitu setidaknya yang diingat Mahmood dan ia tuangkan dalam salah satu bukunya, Slow Poison: Idi Amin, Yoweri Museveni, and the Making of the Ugandan State. Meski sang dubes jengkel, setidaknya malam itu juga Mahmood dibebaskan.


Namun masalah tak berhenti sampai di situ. Dua bulan pasca-dibebaskan dan kembali ke Pittsburgh, dua agen FBI menyatroni kediamannya.


Apa yang sering dilihatnya di film-film terjadi di hadapannya: agen FBI mengenakan mantel menunjukkan lencananya pada Mahmood. Setelah pertanyaan-pertanyaan basa-basi, tetiba saja ditanyakan perihal sosok Karl Marx.


“Bagaimana menurut Anda tentang Marx?” tanya seorang agen FBI.


“Saya belum pernah bertemu dengannya,” jawab Mahmood.


“Dia sudah mati,” lanjut sang agen FBI.


“Saya turut belasungkawa, apa yang menyebabkannya meninggal?” Mahmood bertanya balik.


“Bukan, maksudnya dia sudah lama matinya,” timpal agen FBI.


“Lalu kenapa Anda menanyakannya pada saya?” cetus Mahmood lagi.


“Marx percaya bahwa kekayaan orang-orang kaya harus diambiol dan dibagikan kepada orang-orang miskin,” terang dua agen FBI.


“Kedengarannya itu ide yang bagus,” celetuk Mahmood.


Yang terjadi adalah suasana canggung. Karena meskipun pernah punya catatan dipenjara akibat ikut unjuk rasa bersama SNCC, mahasiwa asing asal Uganda berdarah India itu bukan mahasiswa apalagi aktivis komunis. Mahmood justru pertamakali mengenalnya dari dua agen FBI itu.


“Setelah perbincangan itu, mereka pergi. Itu bukan akhir cerita. Setelahnya saya ke perpustakaan dan mencari (karya-karya) Marx. Kemudian saya jadi terkenang: FBI memperkenalkan saya pada Karl Marx! Itu di tahun 1965. Itu menjadi pintu masuk saya untuk lebih mengenal gerakan HAM,” tandasnya.



Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian
Arsip Korupsi Sejak Zaman Kompeni

Arsip Korupsi Sejak Zaman Kompeni

Korupsi sejak masa VOC hingga kolonial Belanda terekam dalam arsip. Korupsi akan terus ada karena berkaitan dengan kekuasaan, kewenangan, dan keserakahan manusia.
Tuan Rondahaim Pahlawan Nasional dari Simalungun

Tuan Rondahaim Pahlawan Nasional dari Simalungun

Tuan Rondahaim dikenal dengan julukan Napoleon dari Batak. Menyalakan perlawanan terhadap penjajahan Belanda di tanah Simalungun.
Antara Raja Gowa dengan Portugis

Antara Raja Gowa dengan Portugis

Sebagai musuh Belanda, Gowa bersekutu dengan Portugis menghadapi Belanda.
Mengakui Tan Malaka Sebagai Bapak Republik Indonesia

Mengakui Tan Malaka Sebagai Bapak Republik Indonesia

Tan Malaka pertama kali menggagas konsep negara Indonesia dalam risalah Naar de Republik Indonesia. Sejarawan mengusulkan agar negara memformalkan gelar Bapak Republik Indonesia kepada Tan Malaka.
Dewi Sukarno Setelah G30S

Dewi Sukarno Setelah G30S

Dua pekan pasca-G30S, Dewi Sukarno sempat menjamu istri Jenderal Ahmad Yani. Istri Jepang Sukarno itu kagum pada keteguhan hati janda Pahlawan Revolusi itu.
bottom of page