top of page

Sejarah Indonesia

Merayakan Kolaborasi Seni Dan Budaya Di Festival Seni

Merayakan Kolaborasi Seni dan Budaya di Festival Seni Multatuli

Ajang pertemuan pelaku kebudayaan lokal Lebak dan nasional. Tujuannya menciptakan kebudayaan baru yang bisa diterima publik lebih luas.

20 September 2025

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Peresmian pembukaan Festival Seni Multatuli 2025 (Randy Wirayudha/Historia.ID)

FESTIVAL Seni Multatuli hadir lagi di Alun-Alun Timur, tak jauh dari Museum Multatuli, Rangkasbitung, Lebak, Banten. Dengan mengedepankan tema “Orang-Orang Baru dari Banten”, hajatan terbuka untuk umum yang dihelat pada 19-21 September 2025 itu kembali menyuguhkan memori akan Multatuli lewat kolaborasi seni-budaya lokal dan nasional. 

 

Multatuli adalah nama pena dari Eduard Douwes Dekker. Ia pernah bekerja sebagai ambtenaar hingga asisten residen kolonial Hindia Belanda di Sumatera, Purwarkarta, dan Lebak pada pertengahan abad ke-19. 

 

Multatuli kondang lewat karyanya, Max Havelaar (1860). Novel satire yang lantas mengguncang kolonialis Belanda itu karena secara gamblang menguak penindasan oleh kolonialis di tanah Hindia. Max Havelaar membangkitkan pemikiran-pemikiran anti-kolonialisme lantaran juga dibaca banyak tokoh dunia. 

 

Namun, generasi muda belum familiar dengan nama Multatuli. Oleh karenanya, Museum Multatuli didirikan di Rangkasbitung, Lebak pada 2018. Upaya kreatif itu tujuannya membuat Kabupaten Lebak lebih dikenal secara nasional dan global selain dari pada usaha-usaha pembangunan yang ekstraktif. 

 

“Kita punya Multatuli. Orang sedikit tahu, tapi sekarang sudah mulai banyak yang tahu. Bukan untuk mengkultuskan individu Multatuli. Yang ingin kita kedepankan adalah nilai, semangat kemerdekaan, semangat pembebasan, semangat anti-penindasan, semangat memperjuangkan kehidupan rakyat kecil untuk mengangkat derajat mereka yang lebih tinggi,” ujar Bonnie Triyana dalam pembukaan Festival Seni Multatuli 2025 di panggung utama Jalan Alun-Alun Timur Rangkasbitung, Jumat (19/9/2025) malam. 

 

Dalam acara yang sama, Bupati Lebak Mochamad Hasbi Asyidiki Jayabaya juga menyampaikan hal senada. Roman Max Havelaar kemudian jadi pemantik pergerakan nasional untuk membebaskan diri dari penjajahan. 

 

“Artinya apa? Artinya, kita mau merdeka saja harus diingatkan oleh warga bangsa asing. Padahal baheula kalau enggak ada Eduard Douwes Dekker yang memantik semangat kemerdekaan, mungkin kita belum merdeka. Kita di Lebak harus mau tahu sama sejarah kita agar bisa menghargai perjuangan dulu nenek moyang kita,” timpal Hasbi. 

 

Dengan mengenal sejarah dan menghargai perjuangan nenek moyang, lanjutnya, maka itu jadi suatu usaha untuk kembali menguatkan semangat gotong-royong yang menurutnya sudah mulai terkikis. Apalagi kalau bukan karena imbas peradaban Barat. 

 

“Saya masih merasakan, masih banyak orang yang (bilang) untuk apa merayakan HUT Kemerdekaan 17 Agustus? Itu pikiran yang dangkal. Kalau kita sadar betapa beratnya perjuangan nenek moyang kita melepaskan kita dari penjajah, mungkin kita akan menghargai (HUT) kemerdekaan itu,” sambungnya. 

  

Hasbi mengakui, masih banyak cita-cita kemerdekaan yang belum benar-benar terwujud. Namun, itu bukan berarti generasi muda Indonesia berhenti berikhtiar dan menyingkirkan rasa pesimisme itu. 

 

“Karena yang bisa mengalahkan takdir itu hanyalah ikhitar dan doa. Semoga dengan ikhtiar kita bersama, kita bisa sama-sama mewujudkan ‘Indonesia Emas’. Ikhtiarnya dimulai dari sekarang. Kuncinya saling bergotong-royong walau dengan adanya western civilization, jiwa gotong royong ini mulai terkikis.” 


 

Semangat Kolaborasi

Festival Seni Multatuli menjadi kegiatan publik dari Museum Multatuli. Tujuannya menjadi magnet yang menarik partisipasi warga Lebak, bahkan semua pihak dalam skala nasional. Oleh karenanya, kali ini festivalnya bekerjasama dengan Kementerian Kebudayaan dan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). 

 

“Dalam Festival Seni Multatuli ini silakan bagi semua hadir karena ini terbuka untuk umum. Selamat datang di Kabupaten Lebak, kabupaten yang sedang memperbaiki diri. Inilah bentuk sinergitas, bahwa sudah bukan lagi zamannya gengsi-gengsian. Kita bisa sama-sama lebih menghargai perjuangan nenek moyang kita, lebih menghargai budaya yang ada di Indonesia,” tambah sang bupati. 

 

Mengingat kegiatan publiknya mengedepankan seni dan budaya, sambung Bonnie, maka sejak 2018 pun festivalnya sudah berbentuk kolaborasi antara seniman lokal dan nasional. Kala itu ditampilkan Opera Saidjah dan Adinda –dua karakter dalam roman Max Havelaar– oleh para seniman lokal yang berkolaborasi dengan pianis Ananda Sukarlan. 

 

“Maka Festival Seni Multatuli ini menjadi ajang pertemuan bagi seniman, pelaku kebudayaan pada umumnya yang ada di nasional dan yang lokal. Maka kata kunci dari Festival Seni Multatuli ini adalah kolaborasi. Ini kata kunci yang kami pertahankan dari tahun ke tahun supaya lahir karya-karya baru, baik dari seniman lokal dan seniman nasional,” tambah anggota Komisi X DPR tersebut. 

 

Pada hari pertama, Jumat (21/9/2025), festival menghadirkan Ngarengkong atau tradisi prosesi, yang ditampilkan sekitar 350 masyarakat Kasepuhan Banten Kidul serta seni tradisi Calung Renteng Banjarsari, Rajah Bubuka, dan Kacapi Suling. Dilanjutkan dengan pembacaan puisi oleh aktor Irma Maulani dan budayawan Butet Kertaredjasa.


Penyanyi Once Mekel featuring paduan suara 50 pelajar se-Rangkasbitung melanjutkan festival pada Sabtu (20/9/2025). Penampilannya untuk menyelingi dua simposium bertema sastra Hindia Belanda. 

 

Hari Minggu (21/9/2025) akan diramaikan dengan agenda telusur jejak Multatuli di seputar kota Rangkasbitung, workshop daur ulang kertas, dan diskusi tema festival tahun ini, “Orang-Orang Baru dari Banten”. Tema tersebut terpinspirasi dari novel Pramoedya Ananta Toer, Sekali Peristiwa di Banten Selatan (1958). Roman tersebut juga diadaptasi ke dalam pertunjukan teater yang dihadirkan di Pendopo Museum Multatuli. Agenda penutup adalah pemutaran film dokumenter Setelah Multatuli Pergi (2018) karya jurnalis-sineas Belanda Arjan Onderdenwijngaard. 

 

“Jadi Festival Seni Multatuli mengedepankan kolaborasi supaya menciptakan produk kebudayaan yang baru yang kelak bisa diterima publik lebih luas, tidak hanya di Lebak, bahkan Indonesia dan dunia. Itu smeangatnya dengan program semarak budaya. Maka mari rayakan kebudayaan sebagai bagian dari kekayaan kita di Lebak,” tandas Bonnie. 


 


Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian
Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Film “The Voice of Hind Rajab” jadi antidot amnesia kisah bocah Gaza yang dibantai Israel dengan 335 peluru. PBB menyertakan tragedinya sebagai bagian dari genosida.
Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Dulu, orang Dayak dituduh pembakar hutan yang lebih berbahaya dari industri. Padahal, tidak banyak lahan hutan alam Kalimantan yang mereka gunduli.
Arsip Korupsi Sejak Zaman Kompeni

Arsip Korupsi Sejak Zaman Kompeni

Korupsi sejak masa VOC hingga kolonial Belanda terekam dalam arsip. Korupsi akan terus ada karena berkaitan dengan kekuasaan, kewenangan, dan keserakahan manusia.
Ziarah Sejarah ke Petamburan (1)

Ziarah Sejarah ke Petamburan (1)

Dari pelatih sepakbola Timnas Indonesia Toni Pogacnik hingga pembalap Hengky Iriawan. Sejumlah pahlawan olahraga yang mewarnai sejarah Indonesia dimakamkan di TPU Petamburan.
Foto "Gadis Napalm" yang Kontroversial

Foto "Gadis Napalm" yang Kontroversial

Cerita di balik potret bocah-bocah yang menangis histeris saat terjadi serangan napalm di Perang Vietnam. Kini atribusi fotonya jadi polemik.
bottom of page