top of page

Sejarah Indonesia

Mohammad Arief Anak Santri

Mohammad Arief, Anak Santri Pencipta Lagu “Genjer-genjer”

Pencipta lagu “Genjer-genjer” lahir dari keluarga santri. Ditegur ayahnya ketika bikin lagu jam tiga pagi.

22 Oktober 2022

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Potret Mohammad Arief. (Minggu Pagi, 3 Oktober 1965).

Diperbarui: 13 Agu

LAGU “Genjer-genjer” sering kali dikaitkan dengan peristiwa G30S. Seperti digambarkan dalam film propaganda Pengkhianatan G30S/PKI, lagu rakyat Banyuwangi ini dinyanyikan oleh Gerwani dan Pemuda Rakyat ketika para jendral disiksa. Padahal, lagu itu merepresentasikan penderitaan rakyat pada masa pendudukan Jepang. Mohammad Arief penciptanya, juga merupakan anak santri.


“Bung, sebenarnya ayah saya ini seorang santri tulen,” katanya kepada wartawan Minggu Pagi, 3 Oktober 1965.


Mohammad Arief bercerita, suatu hari ketika ia hendak menggubah sebuah lagu, ayahnya yang sedang sembahyang merasa terganggu.


“Ketika saya menggali lagu-lagu dengan nada rengeng-rengeng (bergumam-gumam) di waktu malam buta sampai jam 3–4 pagi, pernah ayah itu menegur saya, karena saya dianggap mengganggu dia yang sedang sembahyang itu,” terangnya.


Lahir dari lingkungan relijius, Mohammad Arief justru berminat pada musik rakyat yang revolusioner. Ia berkisah bagaimana menggubah lagu “Genjer-genjer”. Katanya, dulu tidak ada orang yang peduli pada tumbuhan genjer yang dianggap gulma. Pada masa pendudukan Jepang, ketika orang-orang kelaparan, genjer mulai diolah sebagai makanan.


“Dimasak, nasinya jagung, dengan sambal yang agak pedas, sudahlah nikmat betul bagi mereka. Terlebih-lebih makannya di tengah sawah pada saat-saat mereka mengaso bekerja,” tulis Minggu Pagi.


Mohammad Arief terinspirasi dari penderitaan dan perjuangan rakyat Banyuwangi bertahan hidup. Pada 1953, ia mulai menciptakan lagu “Genjer-genjer”. Lagu ini dengan cepat populer di Banyuwangi.


Rumah Mohammad Arief kemudian menjadi sanggar seni. Ia mendirikan organisasi seniman Srimuda (Seni Rakyat Indonesia Muda). Angklung Banyuwangi, menjadi alat musik wajib bagi Srimuda. Mohammad Arief juga merupakan seniman pembuat angklung.


“Sebab untuk mendapatkan nafkah hidup sehari-harinya, Moh. Arief membuat angklung. Baik untuk memenuhi pesanan umum, maupun tidak. Angklung ini adalah alat mutlak bagi seni di daerah Banyuwangi, sebab semua lagu-lagu di daerah itu dinyanyikan dengan iringan angklung,” tulis Minggu Pagi.


Sekira tahun 1963, lagu “Genjer-genjer” populerdi seluruh Indonesia. Bahkan, lagu ini dinyanyikan oleh dua penyanyi kawakan, Lilis Suryani dan Bing Slamet. Kepopuleran lagu ini tak lepas dari peran Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) di mana Mohammad Arief juga bergabung.


Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M. Dahlan dalam Lekra Tak Membakar Buku, menyebut di kalangan “keluarga Komunis” lagu “Genjer-genjer” menjadi hit dan kebanggaan mereka.


“Jika ada yang menjustifikasi musik dan lagu, termasuk ‘Genjer-genjer’, sebagai simbol/morse tentang peristiwa pagi buta 1 Oktober 1965, menjadi sangat wajar. Sebab Lekra-lah yang mengerek tinggi-tinggi lagu yang berasal dari daerah udik Jawaitu menjadi lagu nasional,” tulis Rhoma dan Muhidin.


“Genjer-genjer” tak hanya populer sebagai lagu. Lagu-lagu lain yang dibawakan Srimuda, seringkali juga dikenal sebagai “Genjer-genjer”. Bahkan, Srimuda sendiri juga mendapat julukan “Genjer-genjer”. Mohammad Arief bersama Srimuda setidaknya telah menggubah sekira 40 lagu daerah khas Banyuwangi dengan sentuhan kerakyatan dan revolusioner. Ia juga mendirikan sanggar-sanggar angklung di berbagai desa di Banyuwangi.


Mohammad Arief menjadi anggota DPR-GR Tk II Banyuwangi mewakili golongan karya seniman sejak 1955. Di Lekra, ia merupakan anggota Pleno Pusat Lembaga Musik Indonesia. Pasca G30S, ia ditangkap dan dipenjara di Kalibaru dan Lowokwaru, Banyuwangi. Namun, sejak Desember 1965, tak ada lagi kabar bagaimana nasib Mohammad Arief.*

Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian
Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Film “The Voice of Hind Rajab” jadi antidot amnesia kisah bocah Gaza yang dibantai Israel dengan 335 peluru. PBB menyertakan tragedinya sebagai bagian dari genosida.
Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Dulu, orang Dayak dituduh pembakar hutan yang lebih berbahaya dari industri. Padahal, tidak banyak lahan hutan alam Kalimantan yang mereka gunduli.
Foto "Gadis Napalm" yang Kontroversial

Foto "Gadis Napalm" yang Kontroversial

Cerita di balik potret bocah-bocah yang menangis histeris saat terjadi serangan napalm di Perang Vietnam. Kini atribusi fotonya jadi polemik.
Anak Tawanan Itu Bernyanyi “Nina Bobo”

Anak Tawanan Itu Bernyanyi “Nina Bobo”

Sukses sebagai penyanyi di Belanda, Anneke Gronloh tak melupakan Indonesia sebagai tempatnya dilahirkan.
Pangku yang Memotret Kehidupan Kaum Pinggiran

Pangku yang Memotret Kehidupan Kaum Pinggiran

Film perdana Reza Rahadian, “Pangku”, tak sekadar merekam kehidupan remang-remang lewat fenomena kopi pangku. Sarat pesan humanis di dalamnya.
bottom of page