- Martin Sitompul

- 31 Okt
- 4 menit membaca
ISTANA Negara era kepresidenan Sukarno kerap kali menggelar pertunjukan hiburan. Biasanya acara ramah tamah seperti ini berlangsung setelah Presiden Sukarno menyampaikan pidato. Bung Karno ikut larut, bernyanyi bersama dan menari lenso, tanpa jarak dengan semua hadirin.
Sekali waktu ada kejutan. Njoto yang menjadi menteri negara berdiri dari kursi dan bergabung dengan tim musik. Setelah menyingsingkan lengan kemejanya, alat musik selo yang dimainkan Njoto mengiringi penyanyi Titiek Puspa atau Lilis Suryani melagukan tembang kesukaan Sukarno. Suasana pun semakin gebyar. Seorang wartawan muda dari Harian Rakjat meliput kejadian tersebut sekira pertengahan 1965.
“Bung Karno sangat senang melihat suasana seperti itu. Jadi [bila] ada Menteri yang punya kepekaan musik, dia senang. Dan itu mengasyikan,” kata sastrawan Martin Aleida, wartawan muda itu, dalam dialog sejarah Historia.ID pada 2020 silam.
Di antara para pemimpin Partai Komunis Indonesia (PKI), Njoto paling menonjol dalam musik dan kesenian. Lukman, Wakil Sekjen I CC PKI sekaligus paling tua, terlalu serius dan organisatoris. D.N. Aidit yang menjabat Sekjen CC PKI bahkan ditolak puisinya oleh redaktur kebudayaan Harian Rakjat untuk dimuat di koran corong partai tersebut. Sementara Njoto, Wakil Sekjen II CC PKI, ahli di berbagai bidang kesenian, dari musik, sastra, hingga dansa.
Njoto mahir memainkan berbagai alat musik. Sebagai penikmat musik klasik, Njoto terampil menggesek biola hingga meniup saksofon. Kegandrungan Njoto terbilang tak lazim di kalangan orang komunis, karena musik itu merepresentasikan budaya Barat. Sebagai publisis yang mengasuh Harian Rakjat, Njoto kerap menuangkan pemikirannya tentang seni dan budaya. Dalam salah satu edisinya, Njoto pernah menulis tentang komponis termasyhur Ludwig van Beethoven.
“Banyak hal yang menyebabkan rakyat Indonesia sedikit sekali mengenal komponis-komponis besar yang nama dan ciptaan-ciptaanya dikenal di seluruh dunia. Kemelaratan umum memisahkan rakyat dari musik, kecuali sebagian kecil yang umumnya terdiri dari kaum terpelajar,” tulis Njoto dalam artikelnya “125 Tahun yang lalu Beethoven Meninggal”, dimuat Harian Rakjat, 22 Maret 1952.
Salah satu putri Njoto, Svetlana Dayani mengenang, ayahnya biasanya memainkan alat-alat musik yang ada di ruang kerjanya bila tak sibuk membaca. Di tempat itulah Njoto menyimpan semua buku dan alat musiknya. Ia bisa memainkan beragam alat musik seperti akordeon, piano, saksofon, dan klarinet. Inilah ruang favorit Njoto. Ia kerap menghabiskan waktu dengan membaca atau bermain musik.
“Bapak membuang bosannya di sana,” tutur Svetlana dalam Njoto: Peniup Saksofon di Tengah Prahara yang disusun redaksi Tempo.
Menurut Svetlana, teman-teman ayahnya yang hobi musik, antara lain Jack Lesmana, salah satu musisi terkenal di Republik ini. Kedekatan Njoto dengan Jack Lesmana diakui oleh Joesoef Isak, pemimpin redaksi harian Merdeka, koran nasionalis yang populer pada dekade 1960-an. Dengan kedudukannya sebagai pemred, memungkinkan Joesoef mengenal pribadi para pimpinan PKI maupun partai-partai lainnya dari jarak dekat.
“Dengan Aidit, saya bisa ngobrol enak, tapi dia orang yang sibuk. Njoto itu seorang genius dalam banyak sisi. Dia menguasai beberapa bahasa asing. Ketika mempelajari bahasa Rusia, dalam tiga bulan dia sudah bisa membaca koran,” terang Joesoef Isak dalam Tempo, 27 Juli 2008.
Menurut Joesoef, Njoto memang akrab dengan para seniman. Wawasannya pun luas. Njoto bisa bicara apa saja, mulai dari soal politik hingga sepakbola. Njoto mendalami sastra, filsafat, dan pandai memainkan piano, saksofon, klarinet, gitar, juga main drum. Dengan musisi jazz Jack Lesmana, Njoto berteman karib karena sama-sama berasal dari Jember, Jawa Timur.
“Saya bahkan sempat menduga Jack itu sudah menjadi anggota PKI yang tertutup, hahaha...,” kata Joesoef Isak berkelakar, “kalau sedang tak sibuk, Njoto bermain musik bersama teman-temannya di di rumahnya waktu itu, di Jalan Malang No. 4, Menteng, Jakarta Pusat.”
Sementar itu, menurut jurnalis senior Kompas, Julius Pour, hampir setiap hari kediaman Njoto kedatangan para sahabatnya. Mereka bukan hanya orang-orang komunis, sebab gaya hidup Njoto yang dianggap liberal sudah sering disindir Aidit. Mengutip keterangan fotografer Istana Kepresidenan pada masa itu, “Njoto senang main musik dengan temannya, antara lain Jack Lesmana, teman semasa kecilnya ketika masih tinggal di Jember,” tulis Julius Pour dalam Gerakan 30 September: Pelaku, Pahlawan, dan Petualang.
Njoto boleh jadi sosok politisi intelektual yang komplet. Di parlemen Konstituante, dalam kapasitasnya sebagai politisi PKI, Njoto dikenal sebagai ahli propaganda dan orator ulung. Di luar itu, Njoto menerbitkan ratusan artikel di berbagai kolom Harian Rakjat dengan nama pena yang khas: Iramani. Njoto menulis tentang wacana kebudayaan, ideologi, cerpen, puisi, hingga reportase.
“Njoto juga dikenal pintar bermain musik, penyair, esais tangguh, penulis pidato Presiden, juga penulis soal olahraga, khususnya catur,” catat Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M. Dahlan dalam Lekra Tak Membakar Buku: Suara Senyap Lembar Kebudayaan.
Kelemahan Njoto barangkali menyangkut hubungannya dengan perempuan dalam konteks personal. Njoto disebut-sebut menjalin cinta dengan wanita Rusia bernama Rita saat melawat ke Moskow pada awal 1960-an. Perkara ini menyebabkan Njoto berselisih dengan Aidit dan petinggi partai lain sehingga kedudukannya dalam partai dilemahkan. Menurut Aidit cs., perbuatan Njoto bertentangan dengan haluan partai yang melarang kadernya beristri lebih dari satu.
Aktivitas Njoto terhenti menyusul peristiwa Gerakan 30 September (G30S) 1965. Tak hanya berhenti, jejaknya pun lenyap. Njoto kemungkinan besar dihabisi tentara pada Desember 1965. Di pengujung tahun itu, nama Njoto tak kedengaran lagi. Kematiannya misterius.
Menurut Fadrik Azis Firdausi, penulis Njoto: Biografi Pemikiran 1951–1965, perkembangan pemikiran Njoto pada 1965 manakala meletus G30S yang menyeret PKI dalam kehancuran sekaligus menutup babak hidup dan kekaryaan Njoto. Dia bahkan tidak pernah bisa menyuarakan pembelaannya di hadapan pengadilan yang layak. Sejauh mana dia terlibat atau tidak terlibat tidak pernah bisa dibuktikan secara gamblang.
Akhir hidup Njoto yang misterius, menurut Fadrik turut mengubur kemungkinan elaborasi yang lebih jauh atas pemikiran-pemikirannya. Ini menjadikan bangunan pemikirannya tampak sebagai jalan yang terputus sebelum menemui ujungnya. “Ini yang membuat penilaian atas keberhasilan atau kegagalan tesis-tesisnya, terutama tesisnya tentang Sosialisme Indonesia, sulit untuk diuji,” ungkap Fadrik.*













Menarik