top of page

Sejarah Indonesia

Pak Djarot Rebut

Pak Djarot Rebut Surabaya

Ada komandan TNI yang ingin rebut Surabaya pada 1949, kala gencatan senjata sudah disepakati. Media Belanda memainkannya untuk menyudutkan Indonesia.

9 Juni 2025

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

...

DARI Pasukan Dalam (yang berisi beragam etnis, termasuk seorang Tionghoa) yang berada di dalam kota Surabaya yang diduduki Belanda, pasukan Republik Indonesia yang bergerilya di luar kota berhasil mendapatkan seragam tentara Koninklijk Nederlandsch Indisch Leger (KNIL). Dengan seragam itulah pasukan Republik di bawah pimpinan Mayor Djarot Subiantoro lalu bergerak. Mayor Djarot adalah perwira yang kala itu menjadi komandan sebuah batalyon di Surabaya.

 

“Pasukan tersebut menyamar sebagai tentara KNIL masuk ke Surabaya. Sepanjang jalan iring-iringan truk berjalan lancar sampai masuk Kampung Patemon, Kedungdoro dan sekitarnya. Pasukan-pasukan dipencar tiap-tiap kampung di seluruh kota Surabaya,” catat Prayoga Kartomihardjo dkk. dalam Monumen Perjuangan Jawa Timur.

 

“Pada waktu itu berlaku gencatan senjata, sentral 5 km TNI harus keluar dari markas Belanda. Adanya pasukan Djarot di dalam kota Surabaya telah dicium oleh pihak Belanda. Setelah 3 hari 3 malam pasukan Djarot ditangkapi oleh Belanda beserta senjatanya dirampas.”

 

Pasukan Djarot menyusup sejak Rabu (10 Agustus 1949) malam ke Surabaya. Koran De Locomotief tanggal 13 Agustus 1949 menyebut, pasukan itu masuk kota dengan memakai truk-truk milik perusahaan minyak, Bataafsch Petroleum Maatschappij (BPM), yang mereka ambil dari Wonokromo. Mereka sudah bersiap masuk kota sekitar pukul 08.00 malam, sebelum jam malam diberlakukan. Koran-koran Belanda menyebut Mayor Djarot sebagai Pak Djarot.

 

Setelah masuk ke dalam kota, Mayor Djarot mendatangi para pengamat militer asing dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk urusan sengketa Indonesia-Belanda dalam United Nations Commission for Indonesia (UNCI). Kepada pengamat asing yang semestinya netral itu, Mayor Djarot melaporkan bahwa kota Surabaya berada dalam “kekuasaannya.”

 

Sejak 3 Agustus 1949, sebenarnya Panglima Besar TNI Letnan Jenderal Soedirman sudah memberi perintah untuk melaksanakan gencatan senjata pada 11 Agustus 1949 untuk daerah Jawa serta 15 Agustus 1949. Namun keterbatasan sarana komunikasi membuat perintah panglima besar itu tak bisa langsung sampai kepada para komandan pasukan yang tersebar di daerah-daerah yang tidak bisa dengan cepat dijangkau oleh para kurir. Keterlambatan informasi umum terjadi.

 

Apa yang dilakukan pasukan Djarot itu tentu membuat kondisi riil Indonesia diketahui oleh pihak luar yang tidak tahu duduk perkara sengketa Indonesia-Belanda, terutama pihak Belanda. Belanda kerap memanfaatkan keterbatasan di lapangan untuk menyudutkan posisi Indonesia secara politik. Salah satu koran di Negeri Belanda, Ons Noorden edisi 17 Agustus 1949, bahkan sampai menyebutnya “Pelanggaran Gencatan Senjata.” Pemberitaan macam itu tentu merugikan pihak Indonesia. Koran-koran Belanda tadi, termasuk Het Vrije Volk edisi 16 Agustus 1949,  memberitakan bahwa ada dokumen yang ditemukan pihak Belanda berisi informasi bahwa pada 7 Juli 1949 sudah ada perintah dari petinggi tentara RI untuk diadakan serangan terhadap kota-kota yang diduduki Belanda.

 

Adanya pemberitaan Belanda itu membuat militer Indonesia jadi terlihat ketinggalan informasi.  Terkait serangan atas kota Surabaya seperti disebut dalam dokumen yang ditemukan Belanda, Mayor Djarot selaku orang yang memimpin pendudukan kota Surabaya akan dijadikan komandan militer kota Surabaya sekaligus Mojokerto dan Solo.

 

Namun meski isu serangan-serangan atas Surabaya, Solo dan Mojokerto itu dimainkan koran-koran Belanda untuk menunjukkan seolah-olah pihak Indonesia tak taat pada perjanjian dan diplomasi, perundingan antara Indonesia dan Belanda terus berlanjut. Bahkan, Belanda kian terpojok dalam diplomasti. Konferensi Meja Bundar (KMB) akhirnya memutuskan tentara Belanda harus angkat kaki dari Indonesia dan kedaulatan Indonesia dipulihkan meski ada banyak utang Belanda yang harus ditanggung pemerintah Indonesia.*

Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian
Pesta Panen dengan Ulos Sadum dan Tumtuman

Pesta Panen dengan Ulos Sadum dan Tumtuman

Kedua jenis ulos ini biasa digunakan dalam pesta sukacita orang Batak. Sadum untuk perempuan dan Tumtuman bagi laki-laki.
Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Film “The Voice of Hind Rajab” jadi antidot amnesia kisah bocah Gaza yang dibantai Israel dengan 335 peluru. PBB menyertakan tragedinya sebagai bagian dari genosida.
S.K. Trimurti Murid Politik Bung Karno

S.K. Trimurti Murid Politik Bung Karno

Sebagai murid, S.K. Trimurti tak selalu sejalan dengan guru politiknya. Dia menentang Sukarno kawin lagi dan menolak tawaran menteri. Namun, Sukarno tetap memujinya dan memberinya penghargaan.
Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Dulu, orang Dayak dituduh pembakar hutan yang lebih berbahaya dari industri. Padahal, tidak banyak lahan hutan alam Kalimantan yang mereka gunduli.
Arsip Korupsi Sejak Zaman Kompeni

Arsip Korupsi Sejak Zaman Kompeni

Korupsi sejak masa VOC hingga kolonial Belanda terekam dalam arsip. Korupsi akan terus ada karena berkaitan dengan kekuasaan, kewenangan, dan keserakahan manusia.
bottom of page