- Randy Wirayudha

- 7 Nov
- 6 menit membaca
INDRAMAYU menjelang tengah malam. Sartika Puspita (diperankan Claresta Taufan) mengayunkan langkah dengan hati-hati untuk menjaga janin dalam kandungannya kala memasuki sebuah perkampungan. Semakin dalam ia menyusuri jalannya, alunan karaoke dangdut koplo di deretan kafe kian terdengar riuh menandai kehidupan malam.
Sartika sesekali menyeka peluh tapi ia tak pernah mengeluh meski sebelumnya diturunkan paksa di tengah dari truk yang ditumpanginya. Keadaannya yang tengah hamil tua membuatnya cepat lelah hingga memutuskan mengaso di sebuah warung kopi sepi pengunjung milik Ibu Maya (Christine Hakim).
Paham akan beratnya hidup yang “dipangku” perempuan asing di warungnya, Maya membuka tangan lebar-lebar untuk menolongnya. Sartika diajaknya hidup bareng di rumahnya yang sempit dengan aneka sampah daur ulang yang dikumpulkan Jaya (Jose Rizal Manua), suami Maya. Sartika “membayarnya” dengan membantu Maya di warung setelah ia melahirkan putranya, Bayu (Shakeel Fauzi). Menyeduh kopi, bahkan hingga memijit pengunjung yang memangkunya.
Begitulah Reza Rahadian membuka film perdananya sebagai sutradara bertajuk Pangku. Premisnya kehidupan Sartika, perempuan yang di saat pagi menjadi buruh tani bersama Pak Jaya dan saat malam jadi pelayan warung kopi pangku di warung milik Maya. Hanya itu yang bisa Sartika lakukan lantaran mencari pekerjaan lain amat sulit di tengah pergulatan ekonomi pasca-Reformasi 1998.
Berangsur-angsur, warung Maya mulai ramai. Sartika melayani pelanggan yang tidak hanya melepas penat, namun juga haus belaian perempuan. Sementara, Bayu anaknya yang terus bertumbuh dirawat Maya.
Seiring waktu, ada satu pelanggan yang mencuri perhatian Sartika. Hadi (Fedi Nuril) namanya, sopir pick up yang beberapa kali datang membawakan ikan sisaan setiap selesai mengantarkan ikan dari pelelangan.
Ikan yang digoreng jadi kemewahan tersendiri buat mereka, terutama Bayu, yang sangat menikmati “piknik” dengan makan ikan di tepi laut dekat perahu-perahu nelayan bersandar. Ikan-ikan sisaan yang dibawa Hadi bak pernyataan cinta si sopir kesepian itu kepada Sartika.
Sartika yang juga haus perhatian pun terjatuh ke pelukan Hadi. Muncul harapan di benaknya. Terlebih, Bayu juga kesulitan untuk bisa masuk sekolah hanya karena terbentur syarat administratif: nama ayah. Saat itu, ijazah yang akan diterbitkan hanya akan menyertakan nama ayah dan Bayu tak pernah mengenal siapa ayah biologisnya.
“Aku mau punya anak. Kamu mau punya suami,” kata Hadi saat tengah berduaan dengan Sartika menikmati terpaan angin laut di pantai. Kata-kata itu bagaikan “mantra” untuk menggaet jiwa, raga, dan cinta Sartika.
Apakah Sartika akan menerima Hadi sebagai solusi hidupnya dan mengentaskan hatinya yang telah lama kemarau? Saksikan sendiri film Pangku yang sudah tayang di bioskop-bioskop tanah air mulai Kamis (6/11/2025).

Pendekatan Humanis Merekam Keremangan Kehidupan
Reza Rahadian memang sudah lama “menyimpan” lokasi di kabupaten yang jadi salah satu daerah penghasil ikan laut tertinggi di Provinsi Jawa Barat itu. Keremangan kehidupan begitu terasa karena secara sinematik, Reza dan tim produksi Gambar Gerak juga menggunakan warung kopi, rumah sederhana, hingga kafe-kafe dangdut asli sebagai set-nya.
“Semua yang kita butuhkan di script secara geografis sudah komplet. Saya enggak ingin ngakal-ngakalin, colongan part ini di Jakarta, atau di Yogya. Jadi semua ada dalam satu universe yang sama. Jadi memang secara geografis and it’s easier for us to shoot. Ada pinggir pantainya persis sawah,” ujar Reza kepada Historia.ID usai pemutaran khusus dan diskusi filmnya di Kemang, Jakarta Selatan, 16 Oktober 2025.
Meski premis hingga konflik dalam filmnya mengambil latar kehidupan masyarakat kelas bawah dengan gegap gempita kehidupan malam kafe dangdut dan warung kopi pangku, film Pangku tak melulu meramaikannya dengan lagu-lagu dangdut koplo yang –booming sejak 1990-an hingga awal 2000-an– memang acap didendangkan di warung-warung kopi pangku.
“Masyarakat banyak mengenal dangdut koplo karena persoalan goyang pinggul yang terlalu berani. Kesenian inilah yang berperan besar sebagai media masyarakat dalam merayakan sebuah fase atau siklus hidup di daerah Pantura dan sekitarnya. Kopi pangku kerap menggunakan dangdut dalam praktiknya sehari-hari dan kiranya masih banyak lainnya praktik penggunaan dangdut koplo untuk hal-hal yang negatif,” tulis Michael H.B. Raditya dalam Merangkai Ingatan Mencita Peristiwa: Sejumlah Tulisan Seni Pertunjukan.
Music scoring sendu hingga lagu-lagu “Rayuan Perempuan Gila” yang dipopulerkan Nadin Amizah atau “Ibu” oleh Iwan Fals ikut memberi nuansa. Sebab, Reza tak “menjahit” ceritanya tentang pelayan kopi pangku per se, apalagi menonjolkan sisi gelap transaksi seksual para pelayan kopi pangku.
“The reason why we don’t want to highlight (the sex work) because it’s portrayed already. Dan waktu saya ngobrol sama mereka, gila, mereka enggak punya waktu buat mengeluh. Kayak mereka ini sadar enggak ya mereka ada dalam community seperti apa dan pekerjaan yang quite heavy gitu? The way they carries themselves as persons, itu buat saya kayak, ‘kok bisa gini ya?’ Kayak, ‘Hey, Mas,’ ngobrol sama yang lain dan biasa aja. Enggak ada momen di mana kayak, ‘ya namanya kita orang susah mas,’ itu enggak ada kalimat itu. Mereka di situ kerja, yang penting bisa makan. Mereka punya anak dan anak harus makan. Kebetulan, suami nelayan, pulang sebulan sekali. Jadi kalau bisa kerja, kenapa enggak?” terang Reza.
Reza justru lebih mengedepankan peran perempuan dan para ibu yang senantiasa melalui getirnya hidup di lingkungan itu. Tokoh Sartika dan Ibu Maya cuma dua personifikasi mereka yang dihadirkan apa adanya dengan perspektif yang realistis dan humanis.
“Saya bersyukurnya judulnya bukan Kopi Pangku tapi Pangku. Dari bayi, kita tuh udah dipangku (oleh ibu), kan? Rasanya gimana coba? Ada rasa nyaman, aman. Dan setiap manusia sebetulnya mencari rasa itu. Begitu juga Sartika. Jadi tanpa disengaja ini metaphore-nya, menjadi lebih dalam. Bahwa kehidupan Sartika dan banyak perempuan, termasuk Bayu, memang ya metaphore-nya seperti itu,” timpal Christine.
Reza mengamini. Ia juga mengaku sedikit-banyak terinspirasi dari perjuangan ibunya sendiri, Pratiwi Widiantini Matulessy, yang membesarkannya sebagai orangtua tunggal. Reza pun mengaku ibunya sempat mendapat kesulitan yang sama seperti halnya tokoh Bayu ketika ingin bersekolah namun tersandung persoalan administratif.
“Hal-hal kayak gitu tuh ibu saya ngalamin waktu saya SD. Jadi mungkin karena ini secara inspirasinya banyak dapet dari ibu saya ya. So all those kind of difficulties to work. Karena era (1998) itu tuh memori saya sama ibu saya, ibu saya kehilangan, maksudnya PHK besar-besaran di 1998 itu gede banget kan. Itu core memory saya kuat banget. Jadi secara (latar) waktu saya ambil itu, di mana kita punya alasan yang lebih konkret lagi tentang seberapa sulit sih memang era itu? Sulit banget,” sambung Reza.
Terkait pendekatan realis, Reza memang tidak ingin setiap karakternya seperti dibuat-buat dalam berdialog. Sesuai yang ia riset di komunitas yang sama dengan kehidupan Sartika dan Ibu Maya, Reza enggan membuat tokoh Sartika, Ibu Maya, apalagi Hadi untuk menyelipkan kritik-kritik sosial, ekonomi, dan politik di awal masa Reformasi itu lantaran ia mengganggap takkan cocok untuk keluar dari mulut mereka.
“Karena kita enggak lagi bikin film dalam bentuk protes. Kita enggak lagi dalam spirit mau memprotes sesuatu dengan mengajarkan apa yang harusnya terjadi. Padahal fun facts-nya, Indramayu itu salah satu kabupaten/kota dengan kemiskinan tertinggi di Jawa Barat. Dan kaya banget sebenarnya daerahnya. Mereka punya hasil perikanan yang oke, pertanian yang oke, minyak yang oke, jadi kontradiktif banget gitu. Jadi enggak ada kata ‘harus’ dalam film ini. Bahwa let it flow like as it is dan kita enggak boleh lupa, jangan menitipkan sesuatu yang intelektual kepada karakter-karakter yang sebenarnya enggak cocok ada dalam rumpun dialog itu,” tegasnya lagi.
Maka Pangku jadi karya pertama Reza di belakang layar yang tak hanya memanusiakan mereka yang terjebak dalam lingkungan dan fenomena kopi pangku. Setidaknya jika penonton jeli dan menghayati, Pangku menyiratkan pesan tentang ketangguhan kaum perempuan, utamanya para ibu yang jadi orangtua tunggal, serta otokritik agar tidak mengabaikan kesehatan jiwa dan raga anak-anak. Christine mengaku sudah lama concern mengenai para orangtua yang seperti tidak siap punya anak.
“Ada berapa juta anak seperti Bayu di dunia? Yang saya tahu di UNESCO itu ada ketentuan, setiap anak lahir di muka bumi ini berhak mendapatkan pendidikan. Ini orang dewasa yang harus berpikir, jangan bikin anak aja. Anak itu tidak minta dilahirkan tapi dengan kehidupan seperti yang dialami Sartika dan ibu-ibu yang lain, anak-anak ini tidak mendapatkan perlindungan dari orangtuanya, kasih sayang yang utuh, bagaimana psikologisnya? Ini tanggung jawab kita semua untuk menyebarkan dan mencegah kebathilan ini,” tandas Christine lagi.
Deskripsi Film:
Judul: Pangku | Sutradara: Reza Rahadian | Produser: Arya Ibrahim, Gita Fara | Pemain: Claresta Taufan, Fedi Nuril, Christine Hakim, Shakeel Fauzi, Jose Rizal Manua, TJ Ruth, Muhammad Khan, Nazyra C. Noer, Devano Danendra, Nai Djenar Maisa Ayu, Lukman Sardi, Happy Salma, Arswendy Bening Swara | Produksi: Gambar Gerak | Genre: Drama | Durasi: 100 Menit | Rilis: 6 November 2025.













Komentar