top of page

Sejarah Indonesia

Panji Palu Arit di Puncak Reichstag

Dua kisah pengibaran bendera palu arit di Reichstag oleh Tentara Merah sebagai simbol jatuhnya rezim Hitler. Salah satunya “di-photoshop” secara manual.

29 April 2025
bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Foto ikonik Tentara Merah mengibarkan bendera Soviet di puncak Gedung Reichstag karya Yevgeny Ananyevich Khaldei. (mil.ru).

SEIRING fajar menyingsing sekira pukul 6 pagi 30 April 1945, artileri-artileri Uni Soviet di Berlin menyalak dengan sasaran gedung parlemen Reichstag dan Istana Reichskanzlei yang keduanya hanya berjarak 2 kilometer. Dua divisi Tentara Merah langsung mengikuti menyerang sisa-sisa pasukan Jerman yang bertahan di fase akhir Pertempuran Berlin (16 April-2 Mei 1945) itu. 


“Pada pagi 30 April, Divisi ke-150 dan Divisi Senapan ke-171 bersiap menyerbu Reichstag. Menurut asesmen intelijen (Panglima Front Belarusia ke-1, Marsekal Georgy) Zhukov, Reichstag dipertahankan sisa-sisa unit SS (paramiliter Schutzstaffel) dan batalyon lintas udara yang tidak lebih dari 6.000 prajurit saja dengan didukung sedikit artileri, senapan mesin, dan panser-panser. Meski begitu gedung Reichstag sudah diperkuat tidak hanya lantai-lantai atasnya tapi juga ruang bawah tanahnya,” ungkap Anthony Tucker-Jones dalam The Fall of Berlin: The Final Days of Hitler’s Evil Regime.


Dua divisi yang merupakan bagian dari Tentara Gerak Cepat ke-3 di bawah Front Belarusia ke-1 itu dengan mudah mematahkan perlawanan kubu pertahanan Jerman. Sekira pukul 2 siang, sebuah unit Tentara Merah sudah berupaya merebut lantai puncak dan atap Reichstag. Sedangkan sekitar 2 kilometer sebelah selatan di Fuhrerbunker yang terletak di taman belakang Reichskanzlei, pemimpin Nazi Adolf Hitler dan istrinya yang baru dinikahi, Eva Braun, memilih bunuh diri siang itu. 


Sebelum penyerbuan, Marsekal Zhukov sudah menginstruksikan pengibaran panji kemenangan saat Reichstag sudah dikuasai. Benderanya disiapkan beberapa unit khusus pembawa bendera. Kendati begitu, terdapat beberapa catatan upaya pengibarannya meski pertempuran di kompleks gedung parlemen itu masih berlangsung. Upaya pertama dilakoni Prajurit Raqymjan Qoshqarbaev dan Grigory Bulatov saat keduanya menyusup sampai ke tangga aula opera di Reichstag, sekira pukul 2.25 siang.


Setelah menerima panjinya dari unit khusus tadi, Qoshqarbaev dan Bulatov memasang panjinya di ruang masuk aulanya. Menurut Jeremy Hicks dalam artikel “A Holy Relic of War: The Soviet Banner as Artefact” di buku Remembering the Second World War, panji kemenangan itu bukan sekadar bendera Soviet seperti biasanya, melainkan bendera berlatar merah darah dengan simbol palu-arit berwarna kelabu dengan tulisan nama unit berwarna putih. Panjinya bertuliskan “Senapan ke-150 Order Kutuzov Kelas 2 Divisi Idritsa Korps Senapan ke-79 AD Gerak Cepat ke-3 Front Belarusia ke-1”. Namun keduanya mesti pergi karena dihujani tembakan pasukan Jerman.


Beberapa jam berselang, panji yang sama kembali coba dikibarkan oleh unit-unit lain. Salah satunya unit dari Divisi ke-150 yang mengibarkannya pukul 6 petang dekat patung Dewi Victoria. Lalu sebuah unit lain mengibarkan panji serupa sekira pukul 10.30 malam dekat patung Germania.


Kabar tentang pengibaran bendera itu sampai di Moskow tepat di perayaan Hari Buruh Internasional. Kendati begitu, bukan aksi pengibaran bendera oleh prajurit Qoshqarbaev dkk. di hari itu yang kemudian kondang di antara publik Soviet dan dunia internasional. Pasalnya, terdapat aksi pengibaran bendera lagi sehari setelahnya dan kali ini jadi lebih ikonik karena tertangkap mata kamera. 


Foto Pengibaran Bendera yang "Di-photoshop"

Teknik photoshop untuk menyunting dan memanipulasi sebuah foto memang sudah dikenalkan Thomas dan John Knoll sejak 1980-an meski baru populer di era 2000-an. Namun jauh sebelum itu, fotografer Yevgeny Khaldei sudah menjajal “photoshop” secara manual untuk memanipulasi karya fotonya yang menggambarkan pengibaran bendera Soviet di puncak Reichstag.


Bermula dari dikuasainya Reichstag oleh Tentara Merah seiring berakhirnya Pertempuran Berlin (16 April-2 Mei 1945). Pada hari itu, Khaldei sebagai fotografer Angkatan Laut (AL) Soviet yang dipekerjakan kantor berita TASS tak ingin ketinggalan mengambil banyak dokumentasi gedung sohor itu.


Tak hanya “bersenjatakan” kamera Leica III dengan lensa 35 mm plus aperture f/3.5, ia rupanya sudah membawa bendera Soviet dengan sebuah bintang di atasnya. Khaldei sengaja ingin membawa bendera itu ke puncak Reichstag. Selain karena terinspirasi, ia juga ingin menyaingi foto ikonik karya fotografer Associated Press Joe Rosenthal yang mendokumentasikan pengibaran bendera Amerika di Iwo Jima pada 23 Februari 1945.


“Khaldei begitu bersemangat menuju gedung parlemen Reichstag dengan membawa bendera yang dibuat dari taplak meja merah yang dijahit pamannya. Dengan dibantu tiga prajurit Rusia, Khaldei memanjat ke atap dan memposisikan benderanya,” tulis Mary Warner Marien dalam Photography Fifth Edition: A Cultural History.


Meski beberapa kalangan masih memperdebatkan siapa saja prajurit yang membantu Khaldei, sejumlah catatan meyakinkan ketiga prajurit adalah Abdulkhakim Ismailov, Aleksei Kovalev, dan Leonid Gorychev (beberapa sumber menyebut Aleksei Goryachev). Ketiga prajurit itu pula yang juga diminta Khaldei untuk dipotret mengibarkan benderanya. Kovalev yang diinstruksikan berpose mengibarkannya, sementara Ismailov di sisi kiri dan Gorychev di sisi kanan membantu masing-masing memegangi kedua lutut Kovalev agar tidak jatuh dari atap Reichstag. 


Tak tanggung-tanggung, Khaldei menghabiskan film di kameranya. Ia berhasil mengambil 36 potret ketiga prajurit yang mengibarkan bendera itu.


Beberapa hari setelahnya, Khaldei balik kanan ke Moskow. Hasil dokumentasinya itu sudah diminta pemimpin redaksi majalah Ogoniok untuk dimuat. Dari 36 potret, Khaldei mendapati satu potret yang nyaris sempurna meski ia memutuskan harus lebih dulu “di-photoshop”. 


Satu foto yang nyaris sempurna itu sayangnya memperlihatkan Sersan Ismailov yang sedang memegangi lutut kiri Kovalev, di mana tangan kanannya menampakkan ia mengenakan dua buah arloji. Khaldei mesti menghilangkannya karena jika tidak, Ismailov bisa dihukum atas tindakan penjarahan yang ancaman hukuman maksimalnya eksekusi mati.


“Khaldei mesti mengoreksi fotonya dengan menghilangkan arloji kedua yang melekat di pergelangan tangan kanan si prajurit yang menopang pengusung bendera. Otoritas Soviet menekan adanya tindakan-tindakan penjarahan di antara pasukan penakluk Jerman dan arloji lazim jadi barang jarahan yang paling diincar,” ungkap Volker Ullrich dalam Eight Days in May: How Germany’s War Ended.


Khaldei melakukannya secara manual. Ia menghilangkan gambar arloji di tangan Ismailov pada potret tersebut menggunakan jarum dengan begitu cermat. Untuk mendramatisir fotonya, Khaldei juga menaikkan kedalaman kontras latar fotonya dan menambah efek asap yang menaungi langit Berlin dengan memontase komposisi yang diambil dari film negatif foto lain. 


Jadilah foto hasil “photoshop” ala Khaldei itu begitu ikonik. Foto Khaldei itu kemudian dimuat majalah Ogoniok edisi 13 Mei 1945 hingga membuat fotonya tidak kalah sohor dari foto Pendaratan Normandia (6 Juni 1944) karya Robert Capa atau foto pengibaran bendera di Iwo Jima karya Joe Rosenthal.*

Comments

Rated 0 out of 5 stars.
No ratings yet

Add a rating
Bung Karno dan Sepakbola Indonesia

Bung Karno dan Sepakbola Indonesia

Meski punya pengalaman kurang menyenangkan di lapangan sepakbola di masa kolonial, Bung Karno peduli dengan sepakbola nasional. Dia memprakarsai pembangunan stadion utama, mulai dari Lapangan Ikada hingga Gelora Bung Karno.
Juragan Besi Tua Asal Manado

Juragan Besi Tua Asal Manado

Bekas tentara KNIL yang jadi pengusaha kopra dan besi tua ini sempat jadi bupati sebelum ikut gerilya bersama Permesta.
Perdebatan dalam Seminar Sejarah Nasional Pertama

Perdebatan dalam Seminar Sejarah Nasional Pertama

Seminar Sejarah Nasional pertama tidak hanya melibatkan para sejarawan, melainkan turut menggandeng akademisi dan cendekia berbagai disiplin ilmu serta unsur masyarakat. Jadi momentum terbitnya gagasan Indonesiasentris dalam penulisan sejarah nasional Indonesia.
Mayor Udara Soejono Sang Eksekutor Kartosoewirjo

Mayor Udara Soejono Sang Eksekutor Kartosoewirjo

Mayor Soejono disebut sebagai eksekutor imam DI/TII S.M. Kartosoewirjo. Dia kemudian dieksekusi mati karena terlibat G30S.
Sinong Kurir Kahar Muzakkar

Sinong Kurir Kahar Muzakkar

Terlihat seperti bocah, lelaki berusia 28 tahun ini memberi informasi berharga tentang "dalaman" Kahar Muzakkar kepada TNI.
bottom of page