top of page

Sejarah Indonesia

Pegawai Negeri Bukan Priyayi

Pegawai Negeri Bukan Priyayi

Pegawai negeri harus melayani dan mengabdi, bukan jadi priyayi.

1 Desember 2014

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Korps Pegawai Republik Indonesia (Korpri). (Repro Rekaman Peristiwa 1995 Suara Pembaruan).

Diperbarui: 29 Jul

Presiden Joko Widodo dalam sambutan di hari jadi Korps Pegawai Republik Indonesia (Korpri) ke-43 pada 1 Desember 2014, meminta para pegawai negeri sipil agar meninggalkan mental priyayi atau penguasa. “Jadilah birokrat yang melayani dan mengabdi dengan sepenuh hati untuk kejayaan dan kesejahteraan rakyat Indonesia,” kata Jokowi.


Sosiolog Harsya W. Bachtiar menyebutkan, golongan yang dahulu dinamakan priyayi sekarang muncul dalam bentuk korps pegawai negeri sipil. Persamaannya, cara bekerjanya tidak diarahkan pada prestasi profesional tetapi untuk naik pangkat.


“Meskipun gajinya yang resmi relatif kecil, para warga yang tingkat tinggi di dalam korps ini berusaha dengan segala cara untuk memiliki dan memamerkan simbol-simbol status sosial mereka. Orang Jawa mengatakan seperti priyayi dahulu garing nanging garang (biar kering tetapi bergengsi),” tulis Harsya dalam Menuju Indonesia yang Demokratis, Adil & Pluralis.


Menurut sejarawan Ong Hok Ham dalam Dari Soal Priayi sampai Nyi Blorong, gaya hidup mewah kaum priyayi membuat pemerintah kolonial harus mengontrol mereka. Soalnya, “setiap pemerintah khawatir bila pejabatnya hidup mewah di luar kemampuan mereka dan tidak loyal.”


Priyayi berasal dari kata para yayi (para adik), maksudnya adik raja dalam arti abstrak. “Kata ini diterangkan oleh masyarakat Jawa melalui jarwa dhosok, etimologi yang timbul di masyarakat luas. Faktual atau tidaknya keterangan etimologi itu sukar dibuktikan, sebab kata priyayi tidak didapati pada teks-teks yang lebih tua dari abad 19,” tulis Sartono Kartodirjo, dkk., dalam Perkembangan Peradaban Priyayi.


Betapapun memiliki kekuasaan absolut, seorang raja tidak dapat memerintah sendiri dan bergantung pada kaum priyayi. Karena itu, Ong mengartikan priyayi sebagai sekelompok kecil orang yang diberi jabatan atau mendapat mandat dari raja untuk membantu memerintah rakyat. Kelompok kecil ini diangkat karena jasanya dalam perebutan kekuasaan, hubungan darah, favoritisme, atau keturunan. Kendati demikian, seorang keturunan priyayi bila tidak memiliki jabatan bukanlah priyayi. Sebaliknya, anak petani atau lurah yang mendapat jabatan kecil, tergolong priyayi.


“Priyayi, pendek kata,” tulis Ong, “adalah alat raja dan bukan anggota birokrasi dalam pengertian sekarang. Tugas mereka kebanyakan hanyalah mengumpulkan pajak, tenaga kerja, dan lain-lain demi kepentingan kerajaan. Fungsi priyayi dalam masyarakat tidak ada sehingga priyayi lebih tepat disebut elite penguasa daripada birokrasi.”


Adalah Herman Willem Daendels, gubernur jenderal Hindia Belanda (1808-1811), yang melahirkan konsep negara modern pertama di Indonesia dengan birokrasi yang rasional. Daendels dikenal sebagai “Marsekal Guntur” karena sikapnya yang tegas dan radikal terhadap penyelewengan. Aparatur pemerintah Hindia Belanda, yang kelak disebut Binnenlandsche Bestuur (BB), sering disebut sebagai contoh klasik dari birokrasi modern. Korps pegawai kolonial ini sebagian besar adalah orang-orang Belanda yang berpendidikan tinggi.


Selain BB, pemerintah Hindia Belanda menerapkan dual system dengan mempertahankan kaum priyayi atau pangreh praja (mereka yang memerintah negara) atau Inlansche Bestuur (penguasa bumiputera). Sehingga, sering disebut pemerintahan kolonial tidak langsung. Kaum priyayi dibutuhkan pemerintah kolonial demi menggenjot hasil agraria ekspor seperti gula, kopi, dan teh.


Kaum priyayi tidak terganggu kedudukannya di masa pendudukan Jepang, malahan digunakan. Ketika Indonesia merdeka, mereka juga menjadi unsur penting dalam negara baru. Sebab, selain berpendidikan modern atau Barat, mereka mempunyai pengalaman memerintah sejak lama.


“Pegawai negeri Indonesia kini, yang terkenal dengan Korpri, biarpun dari sudut kebangsaan berasal dari pangreh praja atau Inlandsche Bestuur, namun sebagai lembaga dari BB,” tulis Ong.


Yang mengherankan, lanjut Ong, BB ini berasal dari aparatur VOC yang korup tetapi dapat ditransformasi menjadi sesuatu yang modern dan tidak korup. Selain itu BB dikenal cukup efisien dan jujur. Hal ini karena beberapa hal yang mendukungnya, seperti perbaikan gaji, pendidikan, pembagian tugas yang jelas, tanggungjawab, dan juga l’esprit de corps (semangat sejabatan).

Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian
Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Film “The Voice of Hind Rajab” jadi antidot amnesia kisah bocah Gaza yang dibantai Israel dengan 335 peluru. PBB menyertakan tragedinya sebagai bagian dari genosida.
S.K. Trimurti Murid Politik Bung Karno

S.K. Trimurti Murid Politik Bung Karno

Sebagai murid, S.K. Trimurti tak selalu sejalan dengan guru politiknya. Dia menentang Sukarno kawin lagi dan menolak tawaran menteri. Namun, Sukarno tetap memujinya dan memberinya penghargaan.
Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Dulu, orang Dayak dituduh pembakar hutan yang lebih berbahaya dari industri. Padahal, tidak banyak lahan hutan alam Kalimantan yang mereka gunduli.
Arsip Korupsi Sejak Zaman Kompeni

Arsip Korupsi Sejak Zaman Kompeni

Korupsi sejak masa VOC hingga kolonial Belanda terekam dalam arsip. Korupsi akan terus ada karena berkaitan dengan kekuasaan, kewenangan, dan keserakahan manusia.
Ziarah Sejarah ke Petamburan (1)

Ziarah Sejarah ke Petamburan (1)

Dari pelatih sepakbola Timnas Indonesia Toni Pogacnik hingga pembalap Hengky Iriawan. Sejumlah pahlawan olahraga yang mewarnai sejarah Indonesia dimakamkan di TPU Petamburan.
bottom of page