- Amanda Rachmadita
- 21 Agu
- 2 menit membaca
DI masa lalu, ketika lampu penerangan belum ditemukan, beraktivitas di malam hari berisiko tinggi. Selain jarak pandang terbatas, kondisi jalan yang gelap dimanfaatkan para perampok. Oleh sebab itu, mereka yang beraktivitas di malam hari biasanya membawa obor sebagai alat penerangan.
Selain membawa obor, menurut Dukut Imam Widodo dalam Hikajat Soerabaia Tempo Doeloe, ada pula yang membawa tali upet, yaitu alat penerangan yang terbuat dari serabut kelapa dipilin-pilin dan panjangnya sekitar 1 hingga 2 depa.
“Membawanya dengan cara digulung dan disampirkan di bahu, lantas ujungnya dinyalakan. Pada saat orang tersebut berjalan pada malam hari, maka upet yang sudah dinyalakan itu diputar-putar sambil terus berjalan. Karena diputar-putar, maka upet itu menimbulkan percikan api kecil-kecil,” tulis Dukut.
Orang yang memiliki banyak uang menggunakan pelayan sebagai pembawa obor. Sedikitnya dua pelayan membawa obor ketika mendampingi tuannya beraktivitas di malam hari. Sambil membawa obor, para pelayan berlari agar tidak tertinggal jauh kereta kuda sembari berteriak memberi tahu bahwa kendaraan akan melintasi jalanan gelap. Tak jarang para pelayan berjalan di depan kereta kuda untuk membantu kusir melihat jalanan.
“Jadi, kalau sampai terjadi tabrakan, yang ditabrak duluan adalah pelayan pembawa obor,” tulis Dukut.
Pembawa Obor di London
Kondisi jalan yang gelap memunculkan pekerjaan unik di kota London, Inggris, yaitu pembawa obor. Pekerjaan itu dilakukan oleh anak-anak laki-laki yang disebut link-boy. Para pembawa obor mendapat upah sebesar 1 farthing untuk sekali pekerjaan. Mereka mengantarkan seseorang kembali ke rumah, penginapan, atau tempat kereta kuda.
Amelia Soth mencatat dalam “Walking Streetlamps for Hire in Seventeenth-Century London”, JSTOR, 27 Oktober 2022, selama era Victoria, para pembawa obor berkerumun di sekitar tempat hiburan malam populer di London seperti teater, bar, dan tempat judi, untuk mencari pelanggan. Obor yang dibawa anak-anak laki-laki ini berasal dari kayu yang dibakar dan tali tambang.
Pekerjaan ini mencapai popularitasnya pada abad ke-18. Seiring berjalannya waktu, memiliki seorang link-boy merupakan ukuran keamanan pribadi dan penanda status sosial.
Walaupun pembawa obor diperlukan, tak sedikit orang yang mencurigainya. Link-boy sering kali memiliki hubungan dengan geng-geng kriminal. Mereka akan membawa para pengguna jasanya ke tempat penyergapan pencuri.
Menurut Soth, kekhawatiran ini karena kebanyakan anak-anak link-boy berasal dari lingkungan keluarga sangat miskin. Akibatnya, ada kecemasan para link-boy bersekongkol dengan bandit, yang akan memadamkan obor, meninggalkan pengguna jasanya yang banyak di antaranya penduduk London kaya, untuk berhadapan dengan pencuri.
Sentimen negatif kepada link-boy juga berkaitan dengan norma kesopanan. Menurut Vic Gatrell dalam The First Bohemians: Life and Art in London's Golden Age, bocah-bocah pembawa obor tak jarang dibayar untuk membawa orang ke tempat-tempat prostitusi atau menjadi mangsa para pedofil. Salah satu link-boy terkenal adalah Laurence Casey, yang dikenal sebagai Little Cazey, pada pertengahan abad ke-18. Ia merupakan link-boy dari wanita penghibur paling terkenal di London, yaitu Betty Careless. Memiliki reputasi sebagai pengacau dan sulit diatur, Casey akhirnya dipindahkan ke Amerika pada 1750.
Setelah pemasangan lampu gas, lalu lampu jalan listrik yang lebih terang di berbagai wilayah London pada abad 19, link-boy mulai jarang terlihat di pusat-pusat keramaian. Cerita tentang pekerjaan ini terekam dalam karya-karya pengarang termahsyur Inggris seperti William Thackeray dan Charles Dickens.
“Seperti kebanyakan tokoh kelas pekerja, mereka tidak pernah mendapat banyak perhatian dari para sastrawan, namun mereka tetap ada di sana, melayang-layang di latar belakang. Para penyair membandingkan link-boy dengan kunang-kunang; pelukis menggambarkan mereka sebagai dewa asmara, yang memungkinkan penugasan rahasia,” tulis Soth.*













Komentar