top of page

Sejarah Indonesia

Pemerintahan Berada Di Tangan Orang Orang Tidak

Pemerintahan Berada di Tangan Orang-orang Tidak Kompeten

Kakistokrasi menggambarkan pemerintahan yang dikendalikan oleh orang-orang tidak kompeten. Contohnya memberikan jabatan kepada sukarelawan dan pekerja kampanye.

4 September 2025

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Salah satu bagian dari lukisan berjudul The Allegory of Good and Bad Government karya Ambrogio Lorenzetti. (Wikimedia Commons).

AKSI unjuk rasa di berbagai wilayah menjadi gambaran dari akumulasi kekecewaan masyarakat terhadap inkompetensi para pemangku kebijakan. Kritik tidak hanya diarahkan kepada kinerja mereka, tetapi juga pada respons dan pernyataan para pejabat yang nirempati sehingga memicu kemarahan publik.


Respons masyarakat terhadap kinerja pemerintah yang menyengsarakan rakyat mengingatkan pada sebuah istilah tua yang muncul pertama kali pada abad ke-17, yakni kakistokrasi. Berasal dari kata Yunani, kakistoraksi secara harfiah dapat diartikan sebagai pemerintahan oleh orang-orang yang terburuk.


Menurut ilmuwan politik Amerika Serikat, Norman J. Ornstein dalam “Political Disruption: Is America Headed Toward Uncontrollable Extremism or Partisan Goodwill?” termuat di Public Service and Good Governance for the Twenty-First Century, secara lebih luas, istilah kakistokrasi dapat berarti jenis pemerintahan yang paling tidak kompeten dan mengerikan.


Ronel Rensburg dalam State Capture and the Demise of Bell Pottinger: Misusing Public Relations to Shape Future Kakistocracies? mencatat, penggunaan istilah kakistokrasi paling awal berasal dari tahun 1600-an, dalam sebuah ceramah yang dikhotbahkan pada Publique Fast yaitu hari kesembilan bulan Agustus di St. Maries. Pengarang Inggris, Thomas Love Peacock, kemudian menggunakan istilah ini dalam novelnya pada 1829 berjudul The Misfortunes of Elphin, di mana dia menggambarkan bahwa kakistokrasi merupakan kebalikan dari aristokrasi.


Para pengguna awal istilah ini mempertentangkan kakistokrasi dengan aristokrasi. Menurut mereka, aristokrasi adalah pemerintahan yang dikendalikan oleh orang-orang yang paling unggul dalam hal keterampilan, pengetahuan, dan kebajikan. Sementara kakistokrasi adalah pemerintahan oleh orang-orang yang tidak terampil, tidak berpengetahuan, dan tidak berbudi luhur.


André Spicer dalam artikel “Donald Trump’s ‘Kakistocracy’ Is Not the First, But It’s Revived an Old Word”, di surat kabar The Guardian, 18 April 2018, menyebut istilah kakistokrasi sering digunakan untuk mencemooh kekuatan yang kurang baik yang dilepaskan oleh kebangkitan demokrasi, dan kakistokrasi kerap digunakan untuk menggambarkan kecemasan akan kekacauan yang tercipta ketika “yang terburuk” mengambil alih. “Di balik itu ada gagasan konservatif lama bahwa revolusi demokratis tidak selalu menghasilkan yang terbaik dari sifat manusia, tetapi juga dapat menghasilkan yang terburuk,” tulis Spicer.


Istilah kakistokrasi juga digunakan penyair Amerika, James Russel Lowell, pada 1876. Di salah satu tulisannya, Lowell membahas tentang kecemasannya terhadap kemerosotan moral dan dampak pemerintahan yang dikendalikan oleh orang-orang yang hanya mementingkan diri sendiri.


“Yang membuat saya ragu dan cemas adalah kemorosotan moral. Apakah ini hasil dari demokrasi atau bukan? Apakah kita adalah ‘pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat,’ atau lebih tepatnya kakistokrasi, untuk kepentingan para elite dengan mengorbankan orang-orang bodoh?” kutip Rensburg.


Istilah kakistokrasi tidak hanya di Amerika Serikat. Dalam catatan perjalanan ke Australia, penulis Inggris John Martineau, menggambarkan kualitas pemerintahan di sana sangat buruk. Selain itu, dalam buku Letters from Australia (1869), dia mendokumentasikan buruknya kualitas layanan sipil, politisi hanya mementingkan diri sendiri, dan perdebatan politik yang sangat kasar. Kondisi ini membuat pemerintahan di sana kemungkinan besar menjadi kakistokrasi.


Menurut Spicer, istilah kakistokrasi muncul kembali pada abad ke-20 dengan makna berbeda. Alih-alih untuk menggambarkan kekacauan, istilah ini digunakan untuk menandakan korupsi.


Spicer menulis, pada 1944, majalah Time memaparkan rezim korup yang dijalankan bos Partai Demokrat New Jersey, Frank Hague. Majalah ini berharap pengenalan mesin pemungutan suara “memberikan pukulan telak pada bagian paling vital dari kakistokrasi” yang dijalankan oleh Hague. Istilah ini muncul kembali selama tahun-tahun Ronald Reagan, dan kemudian digunakan oleh komentator sayap kanan seperti Glenn Beck untuk menyerang pemerintahan Obama.


“Istilah ini juga digunakan untuk menggambarkan campuran beracun dari kejahatan terorganisir, oligarki yang mementingkan diri sendiri, dan negara yang tidak berfungsi di Rusia selama era Yeltsin,” tulis Spicer.


Kakistokrasi semakin marak diperbincangkan seiring kemenangan Donald Trump dalam pemilihan presiden Amerika Serikat pada 2016. Enam bulan setelah Trump menjabat sebagai presiden, Ornstein mendokumentasikan bagaimana gelombang skandal terus menerus terjadi di sekitar Gedung Putih yang membuatnya menyimpulkan bahwa “kakistokrasi telah kembali”. Menurut ilmuwan politik Amerika itu kakistokrasi menjadi istilah yang paling tepat untuk menggambarkan manajemen dan tata kelola publik di masa pemerintahan Trump.


Ornstein mencontohkan, pada Mei 2016, Taylor Weyeneth, pemuda berusia 23 tahun yang menempuh pendidikan hukum dan anggota persaudaraan yang mengorganisir turnamen golf dan acara-acara lain untuk mengumpulkan dana bagi para veteran dan keluarganya, ditunjuk sebagai pejabat politik dan menjadi bintang yang sedang naik daun di Kantor Kebijakan Pengendalian Narkoba Nasional. Kantor Gedung Putih ini bertanggung jawab untuk mengoordinasikan inisiatif antinarkoba bernilai miliaran dolar dari pemerintah federal dan mendukung upaya Presiden Trump untuk mengekang epidemi opioid. Weyeneth akan segera menjadi wakil kepala staf kantor tersebut.


“Biografi singkatnya hanya memberikan sedikit petunjuk bahwa dia akan dengan cepat mengambil peran utama di kantor kebijakan narkoba, sebuah pekerjaan yang ditempati oleh seorang pengacara dan pejabat pemerintah veteran. Satu-satunya pengalaman profesional Weyeneth setelah lulus kuliah dan sebelum diangkat menjadi pejabat adalah bekerja pada kampanye kepresidenan Trump,” tulis Onstein.


Penunjukan Weyeneth menggambarkan bahwa bukan hal aneh jika pemerintahan mengisi beberapa jabatan politik dengan sukarelawan dan pekerja kampanye. Namun, kasus Weyeneth menjadi sorotan karena dia ditunjuk untuk menduduki posisi kebijakan tingkat tinggi yang penting di usia yang terbilang muda dan tanpa pengalaman substansif yang mumpuni. Saat ini kakistokrasi dilakukan oleh berbagai spektrum politik. Sehingga, kekacauan dapat terjadi karena keahlian dan penilaian etis disingkirkan secara agresif dan sistematis.*

Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian
Arsip Korupsi Sejak Zaman Kompeni

Arsip Korupsi Sejak Zaman Kompeni

Korupsi sejak masa VOC hingga kolonial Belanda terekam dalam arsip. Korupsi akan terus ada karena berkaitan dengan kekuasaan, kewenangan, dan keserakahan manusia.
Tuan Rondahaim Pahlawan Nasional dari Simalungun

Tuan Rondahaim Pahlawan Nasional dari Simalungun

Tuan Rondahaim dikenal dengan julukan Napoleon dari Batak. Menyalakan perlawanan terhadap penjajahan Belanda di tanah Simalungun.
Antara Raja Gowa dengan Portugis

Antara Raja Gowa dengan Portugis

Sebagai musuh Belanda, Gowa bersekutu dengan Portugis menghadapi Belanda.
Mengakui Tan Malaka Sebagai Bapak Republik Indonesia

Mengakui Tan Malaka Sebagai Bapak Republik Indonesia

Tan Malaka pertama kali menggagas konsep negara Indonesia dalam risalah Naar de Republik Indonesia. Sejarawan mengusulkan agar negara memformalkan gelar Bapak Republik Indonesia kepada Tan Malaka.
Dewi Sukarno Setelah G30S

Dewi Sukarno Setelah G30S

Dua pekan pasca-G30S, Dewi Sukarno sempat menjamu istri Jenderal Ahmad Yani. Istri Jepang Sukarno itu kagum pada keteguhan hati janda Pahlawan Revolusi itu.
bottom of page