- Martin Sitompul

- 17 Sep
- 3 menit membaca
PENYAKIT cacar hitam yang melanda Tanah Batak memakan banyak korban. Dalam bahasa Batak, penyakit ini disebut Ngenge na birong, karena menyebabkan ruam-ruam berwarna hitam di badan. Hampir setiap hari, sekira 20-30 anak-anak meninggal akibat cacar di kampung-kampung sekitar Lembah Silindung. Wabah epidemi ini merebak sekitar paruh kedua 1860.
Ludwig Ingwer Nommensen, pendeta Kristen asal Jerman, bersama istri yang baru dinikahinya, Karoline Gubrod, terlibat dalam pelayanan kesehatan menyembuhkan orang-orang terjangkit cacar. Di kampung Huta Dame, basis penginjilan yang didirikan Nommensen di Lembah Silindung sejak 1863, tiada seorang pun yang meninggal. Aktivitas pelayanan kesehatan Nommensen ini terdengar sampai ke Bakkara, wilayah kekuasaan Dinasti Sisingamangaraja. Saat itu yang menjadi raja-imam di Bakkara adalah Sisingamangaraja XI.
Sisingamangaraja XI bernama asli Raja Ompu Sohauaon Sinambela. Menurut Augustin Sibarani, Sisingamangaraja XI telah lama mengamati perkembangan penginjilan di Lembah Silindung. Namun, pertemuan perdana antara Sisingamangaraja XI dengan Nommensen baru terjadi tak lama setelah kedatangan istri Nommensen di Huta Dame pada 1866. Pertemuan mereka berlangsung di rumah kediaman Nommensen.
“Dengan mengendarai kudanya, Sisingamangaraja XI, raja dari Bakkara, melintasi pegunungan-pegunungan dan bukit-bukit berbatu yang mengitari lembah Bakkara, menuju Silindung, terus sampai Huta Dame. Dia, Raja Ompu Sohahuaon, putra dari Raja Lompo Tuan Nabolon Sinambela, ingin menemui Pendeta Nommensen, tokoh perkasa yang telah menyebarkan agamanya tanpa kekerasan namun, dengan cinta dan kasih sayang,” tutur Augustin Sibarani dalam Perjuangan Pahlawan Nasional Sisingamangaraja XII.
Teolog yang juga sejarawan Walter Bonar Sijabat menuturkan, antara Nommensen dan Sisingamangaraja XI terlibat suatu kelakar historis. Saat keduanya bersua, Nommensen terpikat dengan kuda putih (sihapaspili) milik Sisingamaraja XI. Ia pun tak sungkan melontarkan permintaan atas kuda tersebut.
“Apakah paduka Raja mau memberikan kuda Anda padaku?” tanya Nommensen dalam bahasa Batak yang fasih.
“Aku bersedia memberikannya tetapi selaku pertukaran dengan Nyonya Nommensen,” balas Sisingamangaraja XI.
Menurut Sijabat, fragmen kisah tersebut diperolehnya dari tokoh pergerakan Mangihut Mangaraja Hezekiel Manulang yang masih hidup sezaman dengan Sisingamangaraja XII. Keluarga Tuan Manulang dikenal sebagai pengikut setia Sisingamangaraja. Penolakan Sisingamangaraja terhadap permintaan Nommensen yang diungkapkan secara kelakar itu karena ia sangat menyayangi kuda putihnya. Kuda putih biasanya sangat susah dicari sehingga hampir tak dapat ditukar dengan kuda jenis apapun.
Versi lain yang diulas Paul B. Pedersen dalam Darah Batak dan Jiwa Protestan: Perkembangan Gereja-Gereja Batak di Sumatra Utara, menyebutkan bahwa Sisingamangaraja XI bersedia memberikan kuda putihnya untuk Nommensen asalkan ditukar dengan seorang perempuan Eropa kulit putih. Sementara itu, menurut Thompson Hs, perkenalan antara Sisingamangaraja XI dan Nommensen pada intinya mempercakapkan tentang agama.
“Sisingamangaraja mengakui agamanya di atas semua agama dan kudanya ibarat istri yang tidak bisa dilepas jika Nommensen ingin memilikinya,” ungkap Thomson dalam Sisingamangaraja Pemersatu Batak di Toba.
Atas relasi yang terjalin antara Sisingamangaraja XI dan Nommensen itu, Sijabat menyimpulkannya sebagai bukti betapa karib hubungan keduanya. Kelakar seperti itu hanya dapat terjadi karena adanya hubungan karib pada Nommen dan Sisingamangaraja XI.
“Hubungan kemanusiaan yang baik sudah tumbuh dan terbina dengan baik antara mereka berdua,” imbuh Sijabat dalam Ahu Sisingamangaraja.
Namun, menurut Sibarani, hubungan antara Sisingamangaraja XI dan Nommensen terbilang aneh dan unik. Pada 1868, tanpa alasan jelas, Sisingamangaraja XI pernah mengancam untuk menyerang Huta Dame meski kemudian diurungkannya. Setahun berselang, setelah Nommensen pulang ke Huta Dame dari Sipirok untuk menjalani pengobatan selama delapan bulan, Sisingamangaraja kembali mengunjungi pendeta yang baru sembuh itu. Pertemuan berlangsung dalam suasana ramah tamah.
“Karena banyak terjadi kemajuan di daerah Silindung, sekolah-sekolah berdiri, orang-orang yang berpenyakitan berkurang dan perdamaian yang rukun terpelihara antara huta dengan huta. Nommensen mendapat restu sepenuhnya dari raja perkasa dari Bakkara ini,” catat Sibarani.
Permusuhan dengan Nommensen baru benar-benar terjadi setelah Sisingamangaraja XII, penerus Sisingamangaraja XI, menyatakan perang terhadap “si bottar mata” (si mata putih), sebutan bagi bangsa kulit putih Eropa. Dalam penelitiannya berjudul Utusan Damai di Kemelut Perang: Peran Zending dalam Perang Toba, filolog kebangsaan Jerman Ulrich Kozok mengungkapkan bahwa Nommensenlah yang mendesak pemerintah kolonial untuk mengerahkan pasukan dan menganeksasi Tanah Batak. Keterlibatan tentara kolonial inilah yang kemudian mengobarkan Perang Batak atau Perang Toba.
Perang Batak usai dengan gugurnya Sisingamangaraja XII pada 1907. Ia sekaligus mengakhiri Dinasti Sisingamangaraja. Berakhirnya perang memungkinkan penetrasi kolonialisme dan misi zending untuk Batakmissions berjalan beriringan di Tanah Batak. Sampai saat ini, baik Nommensen maupun Sisingamangaraja XII –meskipun pada posisi historis yang berlawanan– dijunjung dengan sama hormat oleh masyarakat Batak.












Komentar