top of page

Sejarah Indonesia

Penjajahan Inggris Tak Selalu Manis

Mau dijajah Inggris, Belanda, maupun kolonialis manapun, kolonialisme tetaplah kolonialisme. Ia berdiri atas dasar penghisapan dan eksploitasi dari negeri induk atas negeri jajahan.

10 Juni 2025
bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Sir Thomas Stamford Raffles, gubernur jenderal Inggris yang menguasai Hindia Belanda 1811-1816. (Ilustrasi: M.A. Yusuf/Historia.ID).

Diperbarui: 23 jam yang lalu

PUBLIK awam Indonesia kerap membandingkan Indonesia dengan negara-negara bekas jajahan Inggris yang lebih maju, seperti Singapura, Australia, atau bahkan jiran serumpun Malaysia. Tak dapat dimungkiri, negara tersebut jauh lebih unggul ketimbang Indonesia. Dari segi indeks kesejahteraan warga negara, modernisasi, maupun pendidikan, Indonesia masih tertinggal. Ketiga negara tadi juga menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar. Sementara kebanyakan masyarakat Indonesia tidak cukup fasih berbahasa Belanda.


Dari perbandingan itu lahirlah kesimpulan bahwa negara eks jajahan Inggris lebih maju daripada jajahan Belanda. Atau dengan kata lain, Inggris lebih memperhatikan negara koloninya dibandingkan Belanda. Saat ini, di media sosial banyak netizen maupun kreator konten sejarah yang jadi berandai-andai menyoal sejarah koloniaisme di Indonesia. Banyak komentar berseliweran yang mendambakan kalau saja Indonesia dijajah Inggris alih-alih Belanda. Konsep pengandaian seperti itu tentu tidak berlaku dalam studi ilmu sejarah. Meski demikian, asumsi itu perlu dibuktikan konteks kesejarahannya.


Periode penjajahan Inggris di Indonesia terbilang singkat, hanya selama lima tahun (1811—1816). Bermula dari penyerbuan Inggis ke Jawa sebagai bagian dari Perang Napoleon antara Inggris dengan Prancis. Belanda sendiri saat itu berada dalam pendudukan Prancis. Berdasarkan Perjanjian Tuntang, negeri jajahan Belanda, termasuk Hindia Belanda, jatuh ke tangan Inggris. Kolonisasi Inggris atas Hindia Belanda kemudian berlangsung di bawah pemerintahan Letnan Gubernur Jenderal Sir Thomas Stamford Raffles.


Selama menguasai Hindia Belanda, Raffles menghasilkan sejumlah warisan. Salah satunya buku The History of Java, terbit pada 1817, karya monumental Raffles yang merekam kehidupan masyarakat Jawa hingga abad ke-19. Selain itu, penemuan Candi Borobudur di Jawa Tengah pada 1814 dan bunga Rafflesia arnoldi di Bengkulu pada 1818 juga terjadi atas prakarsa Raffles. Borobudur diakui sebagai candi Buddha terbesar sekaligus monumen Buddha terbesar di dunia. Sementara itu, Rafflesia arnoldi merupakan spesies bunga langka yang menjadi salah satu puspa nasional Indonesia. Begitu pula bangunan Benteng Marlborough di Bengkulu yang menjadi bukti sisa peninggalan penjajahan Inggris di Indonesia.


“Saya rasa pengandaian dan pendapat masyarakat (bahwa penjajahan Inggris lebih baik daripada Belanda -red) itu salah kaprah dan tidak punya basis sejarah yang kuat,” kata Christopher Reinhart kepada Historia.ID.


Reinhart, sejarawan muda yang menggeluti periode kolonial, berpendapat setidaknya ada tiga faktor yang membentuk opini positif kolonialisme Inggris atas Indonesia. Pertama, durasi penjajahan Inggris yang begitu singkat dibandingkan dengan Belanda. Ini menyebabkan masyarakat awam sejarah tidak mengenali secara mendalam bagaimana sebenarnya praktik kolonialisme Inggris. Kedua, orang Indonesia begitu familiar dengan bekas jajahan Inggris terdekat seperti Malaysia dan Singapura. Keunggulan kedua negera eks koloni Inggris tersebut membuat masyarakat Indonesia kerap membanding-bandingkan siapa negara koloni mereka di masa silam. Dan ketiga, suksesnya Thomas Stamford Raffles membangun citra dirinya. Citra Raffles yang dikesankan gemilang itu lagi-lagi menggiring orang untuk percaya bahwa Inggris adalah tuan kolonial yang baik, setidaknya dibanding Belanda.


“Raffles membangun citra dirinya dengan sangat baik meskipun tanpa moral. Dalam kasus The History of Java, ia sama sekali tidak memberikan kredit kepada orang-orang dan informan lokal yang membantunya dalam penyusunan buku. Ia sendiri tidak mungkin dapat menyelesaikan buku itu karena ia tidak memiliki pengetahuan dan akses terhadap manuskrip dan sumber-sumber tulisannya. Ini juga terjadi dalam kasus penemuan Borobudur dan penemuan Rafflesia arnoldi,” beber Reinhard.


Dibandingkan Belanda, menurut Reinhart, praktik kolonialisme Inggris terhadap jajahannya berlangsung lebih invasif. Inggris memerintah secara langsung dan menganggap birokrasi tradisional, terutama di Jawa, merupakan birokrasi yang terbelakang dan harus di-bypass atau dilangkahi. Raffles, misalnya, sama sekali ingin mengubah tatanan protokoler di keraton-keraton Jawa.  


“Raffles ingin agar perwakilan Inggris duduk sama tinggi dengan sultan Yogyakarta. Hal ini kemudian menimbulkan konflik bersenjata antara Raffles beserta pasukan Sipahi Inggris dan Yogyakarta pada Juni 1812 yang dikenal sebagai Geger Sepehi atau Geger Sepoy,” terang Reinhart.


Dalam Geger Sepoy, sejarawan Inggris Peter Carey dalam bukunya Inggris di Jawa 1811-1816, menguak peristiwa penjarahan besar-besaran keraton Yogyakarta oleh tentara Inggris. Peti berisi harta benda keraton hilir-mudik diangkut dengan gerobak melalui alun-alun sampai empat hari lamanya. Barang jarahan itu diangkut ke kepatihan. Lalu semua yang berharga seperti manuskrip dikumpulkan ke Rustenburg (kantor karesidenan). Hasil jarahan dibagikan untuk para perwira. Nilai harta jarahan itu ditaksir bernilai lebih dari 120 juta dolar AS dalam kurs saat ini. Peter Carey bahkan menyebut Inggis sebagai pencuri aset Indonesia nomor wahid.


Reinhart menambahkan, harta keraton berupa naskah-naskah kuno juga ikut digondol Inggris. Naskah-naskah itu dibawa ke London dan dijual kepada British Library. Hanya ada sedikit naskah yang tertinggal dan itu merupakan naskah yang berkaitan dengan Islam.


“Raffles pada waktu itu menganggap bahwa Islam adalah kebudayaan yang lebih rendah daripada Hindu-Buddha. Ia hanya tertarik dengan naskah-naskah Jawa yang memiliki elemen Hindu-Buddhis,” terangnya.


Tidak hanya menjarah keraton, pasukan Inggris juga melakukan pembantaian brutal terhadap beberapa anggota keluarga keraton. Tragedi berdarah ini tercatat dalam babad Bedhah in Ngayogyakarta karya Pangeran Panular, putra Sultan Hamengkubuwono I dari istri selir. Babad itu menuturkan Pangeran Sumodiningrat, keturunan sultan pertama dan panglima pasukan Yogyakarta, dibunuh pasukan yang dipimpin oleh John Deans, sekretaris Karesidnan Yogyakarta. Pakaian Sumodiningrat dilucuti dan badannya dimutilasi.


Selain Geger Sapehi di Yogyakarta, Inggris juga menyalakan perlawanan Sultan Mahmud Badaruddin II dari Palembang terkait sengketa Pulau Bangka. Setelah Indonesia merdeka, peristiwa berdarah menyoal Inggris juga terjadi dalam Pertempuran Surabaya pada November 1945. Keadaan yang tak jauh mengenaskan juga terjadi pada negara koloni Inggris yang lain seperti India dan Myanmar.


“Jika ingin membandingkan nasib dari negara-negara eks koloni Inggris dan Indonesia, kita harus menegok pada negara-negara yang punya keadaan mirip, dalam hal keberagaman budaya dan populasi. Kita bisa menegok kepada India atau Myanmar dan kemudian menanyakan pertanyaan yang sama, 'apakah negara-negara itu lebih baik setelah dijajah Inggris?” imbuh Reinhart.


Secara politik, praktik kolonialisme antara Belanda dan Inggris tak ada bedanya. Mereka sama-sama menjajah, mengeksploitasi, dan menguasai negeri jajahan. Perbedaanya barangkali menyangkut soal-soal kultural.


Menurut Reinhart, kolonialisme Inggris bersifat intrusif sedangkan Belanda tidak. Intrusif di sini berarti Inggris cenderung mengubah kultur masyarakat jajahan dengan kultur dan standar Inggris, meliputi bahasa, cara hidup, tradisi, hingga tatanan pemerintahan. Sementara itu, Belanda tidak menerapkan politik kultur seperti itu. Proyek kulkural semacam itu, bagi Belanda terlalu mahal untuk dilakukan dan bakal menyebabkan kesulitan dalam menjalankan pemerintahan kolonial. Maka yang terjadi di Hindia Belanda, Belanda menciptakan dualisme birokrasi – birokrasi kolonial berdampingan dengan birokrasi tradisional.


Itulah sebabnya, ketika Inggris tampil sebagai negara induk kolonial terbesar pada abad ke-19 dan 20, dominasinya atas dunia tidak hanya secara politik dan ekonomi tetapi juga budaya. Bahasa Inggris menjadi bahasa utama internasional menggantikan bahasa Prancis pada abad ke-18 dan awal ke-19. Warisan budaya ini bertahan setelah kolonialisme berakhir pada pertengahan abad ke-20.


“Akibatnya, eks jajajahan Inggris punya privilese untuk memiliki kemampuan berbahasa internasional,” jelas Reinhart. “Ini yang kemudian seakan-akan mempermudah pertumbuhan mereka dan mengesankan jajahan Inggris seolah lebih maju.”


Kendati demikian, kolonialisme tetaplah kolonialme, siapapun pelakunya. Ia berdiri atas dasar penghisapan dan penindasan terhadap rakyat di negeri koloni. Begitu pula dengan Belanda dan Inggris yang sama-sama pernah menjajah Indonesia meski durasinya berbeda jauh.


Penjajahan Inggris, sambung Reinhart, menghapuskan kebudayaan lokal dan menggantinya dengan kebudayaan Inggris yang kebetulan kini menjadi kebudayaan (bahasa) internasional. Namun, harga yang dibayar adalah hilangnya identitas kebangsaan atau identitas kultural. Sementara itu, Belanda tidak menghapus kultur tetapi juga tidak memajukan dan menyiapkan masyarakat negeri jajahannya untuk menghadapi perkembangan global.


“Kolonialisme hidup dari pemikiran paternalistik bahwa sebuah bangsa asing non-Barat merupakan liyan tidak beradab dan perlu diadabkan. Tidak ada kekuatan kolonial yang baik karena setiap bangsa punya hak untuk menentukan nasibnya sendiri,” pungkas Reinhart.*

 

Comments

Rated 0 out of 5 stars.
No ratings yet

Add a rating
Bung Karno dan Sepakbola Indonesia

Bung Karno dan Sepakbola Indonesia

Meski punya pengalaman kurang menyenangkan di lapangan sepakbola di masa kolonial, Bung Karno peduli dengan sepakbola nasional. Dia memprakarsai pembangunan stadion utama, mulai dari Lapangan Ikada hingga Gelora Bung Karno.
Juragan Besi Tua Asal Manado

Juragan Besi Tua Asal Manado

Bekas tentara KNIL yang jadi pengusaha kopra dan besi tua ini sempat jadi bupati sebelum ikut gerilya bersama Permesta.
Sinong Kurir Kahar Muzakkar

Sinong Kurir Kahar Muzakkar

Terlihat seperti bocah, lelaki berusia 28 tahun ini memberi informasi berharga tentang "dalaman" Kahar Muzakkar kepada TNI.
Misteri Sulap

Misteri Sulap

Berusia setua peradaban manusia, sulap pernah bersanding dengan sihir. Sulap modern masuk pada masa kolonial Belanda. Pesulap Indonesia umumnya keturunan Tionghoa.
Spesialis Pencabut Nyawa

Spesialis Pencabut Nyawa

Dibentuk sebagai alat pemukul dan mesin pembunuh, Korps Pasukan Khusus (KST) Belanda melakukan aksi-aksi brutal.
bottom of page