top of page

Sejarah Indonesia

Peraih Hadiah Gajah Mada

Peraih Hadiah Gajah Mada

Soepomo, orang Indonesia pertama yang meraih hadiah Gajah Mada di Belanda.

17 Juni 2017

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Mahasiswa hukum Indonesia di Belanda. Inset: Soepomo. (Repro Harry Poeze, Di Negeri Penjajah: Orang Indonesia di Negeri Belanda 1600-1950).

SETELAH menamatkan Sekolah Tinggi Hukum (Rechtshogeschool) di Jakarta, pada Agustus 1924 Soepomo mendapatkan beasiswa (studieopdracht) untuk melanjutkan pendidikan hukum ke Universitas Leiden Belanda. Dengan kecerdasan dan ketekunan, pemuda kelahiran Sukoharjo, Jawa Tengah, 22 Januari 1903 itu, berhasil menyelesaikan pendidikan master dan doktornya dalam waktu bersamaan.


Soepomo memperoleh gelar Master in de Rechten (Mr) pada 14 Juni 1927 dengan predikat suma cumlaude. Dan pada 8 Juli 1927, dia mempertahankan disertasinya yang berjudul De reorganisatie van het agrarisch stelsel in het gewest Surakarta (Reorganisasi Sistem Agraria di Daerah Surakarta).


“Dia juga meraih hadiah ‘Gadjah Mada’, hadiah tertinggi dalam bidangnya pada saat itu. Hal ini merupakan suatu prestasi yang luar biasa dan berarti bahwa dalam satu tahun sekaligus beliau menggondol dua gelar kesarjanaan. Gelar doktor beliau capai dalam usia yang sangat muda, yaitu 24 tahun,” tulis A.T. Soegito dalam biografi Prof. Mr. Dr. Supomo.


Menurut sejarawan Harry A. Poeze, Universitas Leiden memberikan dua hadiah uang dari Leidsch Universiteits-Fonds (Dana Universitas Leiden) yang dibagikan setiap tahun kepada mahasiswa yang lulus ujian doktoral dengan nilai terbaik. Para pemenang memperoleh uang yang sangat besar, yaitu f750 dan f500.


“Hadiah Kanaka dibagikan setiap tahun, sedangkan hadiah Gadjah Mada baru diberikan untuk pertama kali kepada Soepomo,” tulis Poeze dalam Di Negeri Penjajah: Orang Indonesia di Negeri Belanda 1600-1950.


Setelah kembali ke Indonesia, Soepomo menjabat Ketua Pengadilan Negeri di Yogyakarta, Purworejo, dan Purwokerto. Dia kemudian bekerja sebagai pegawai tinggi Departemen Justisi di Jakarta untuk mengadakan penelitian hukum adat di Jawa Barat. Setelah itu, dia menjadi dosen hukum adat kemudian guru besar di Rechthogeschool.


“Selama masa ini Soepomo tidak aktif pada bidang politik maupun pemerintahan. Dia lebih mencurahkan perhatiannya pada bidang hukum sesuai dengan pendidikan yang diperolehnya,” tulis A.B. Lapian dalam Terminologi Sejarah 1945-1950 & 1950-1959.


Pada masa pendudukan Jepang, Soepomo menduduki posisi Kepala kantor Perundang-undangan Departemen Justisi, anggota Mahkamah Agung, anggota Panitia Hukum Adat dan Tatanegara, dan Kepala Departemen Kehakiman.


Pada waktu menjelang Proklamasi, Soepomo menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Dia menjadi salah satu anggota Panitia Kecil UUD 1945 yang berjumlah tujuh orang. Dalam pidatonya pada 31 Mei 1945, dia mengajukan konsep negara integralistik atau negara kekeluargaan.


Setelah proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, Soepomo diangkat menjadi Menteri Kehakiman dalam Kabinet Republik Indonesia pertama, yaitu Kabinet Sukarno-Hatta. Dia juga menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat.


Soepomo terlibat dalam berbagai perundingan dengan Belanda, seperti Renville, Roem-Royen, dan Konferensi Meja Bundar. Ketika Indonesia bebentuk Republik Indonesia Serikat (RIS), dia diangkat sebagai Menteri Kehakiman Kabinet RIS yang dibentuk pada awal tahun 1950.


“Dalam kaitannya dengan pembentukan RIS ini, Soepomo memegang peranan penting dalam merencanakan UUD RIS. RIS berakhir pada Agustus 1950 menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia, kabinet RIS pun dibubarkan. Dengan demikian berakhir pula jabatan Soepomo sebagai Menteri Kehakiman Kabinet RIS,” tulis Lapian.


Soepomo menjadi guru besar di Universitas Gajah Mada, Akademi Polisi (Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian), Akademi Ilmu Politik, dan presiden (rektor) Universitas Indonesia, pimpinan Lembaga Pembinaan Hukum Nasional dan anggota Panitia Negara Urusan Konstitusi.


Pada April 1954, Soepomo diangkat sebagai duta besar untuk Inggris. Empat tahun kemudian, pakar hukum adat dan tatanegara ini meninggal dunia pada 12 September 1958. Dia ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional pada 1965.*

Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian
Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Film “The Voice of Hind Rajab” jadi antidot amnesia kisah bocah Gaza yang dibantai Israel dengan 335 peluru. PBB menyertakan tragedinya sebagai bagian dari genosida.
S.K. Trimurti Murid Politik Bung Karno

S.K. Trimurti Murid Politik Bung Karno

Sebagai murid, S.K. Trimurti tak selalu sejalan dengan guru politiknya. Dia menentang Sukarno kawin lagi dan menolak tawaran menteri. Namun, Sukarno tetap memujinya dan memberinya penghargaan.
Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Dulu, orang Dayak dituduh pembakar hutan yang lebih berbahaya dari industri. Padahal, tidak banyak lahan hutan alam Kalimantan yang mereka gunduli.
Arsip Korupsi Sejak Zaman Kompeni

Arsip Korupsi Sejak Zaman Kompeni

Korupsi sejak masa VOC hingga kolonial Belanda terekam dalam arsip. Korupsi akan terus ada karena berkaitan dengan kekuasaan, kewenangan, dan keserakahan manusia.
Ziarah Sejarah ke Petamburan (1)

Ziarah Sejarah ke Petamburan (1)

Dari pelatih sepakbola Timnas Indonesia Toni Pogacnik hingga pembalap Hengky Iriawan. Sejumlah pahlawan olahraga yang mewarnai sejarah Indonesia dimakamkan di TPU Petamburan.
bottom of page