- Martin Sitompul
- 2 Jun
- 4 menit membaca
Penulisan sejarah (historiografi) nasional yang diselenggarakan Kementerian Kebudayaan jadi topik hangat yang terus disorot belakangan hari ini. Gagasan tentang historiografi nasional menjadi penting karena menyangkut identitas dan perjalanan masa lalu berbangsa dan bernegara. Namun, para sejarawan maupun pemerhati sejarah menyoal penggunaan terminologi sejarah resmi (official history) dalam proyek tersebut.
“Kalau ada disebut official history atau sejarah resmi, itu mungkin hanya ucapan saja. Tetapi tidak mungkin ditulis: ini adalah sejarah resmi, tidak ada itu. Ini adalah sejarah nasional Indonesia yang merupakan bagian dari penulisan-penulisan dari para sejarawan,” terang Menteri Kebudayaan Fadli Zon dalam rapat dengar pendapat umum bersama Komisi X DPR RI kemarin (26/5).
Jauh sebelum polemik terjadi seperti sekarang, wacana penulisan sejarah nasional telah berlangsung sejak Seminar Sejarah Nasional dihelat untuk kali pertama pada 1957. Seminar Sejarah Nasional I yang bertempat di Yogyakarta diselenggarakan oleh panitia gabungan dari UI dan UGM. Dalam seminar itu, para ahli sejarah Indonesia bertemu untuk merumuskan gagasan sejarah Indonesia sebagai sejarah nasional.
Tidak hanya sejarawan, seminar itu juga melibatkan para cendekia dan akademisi dari berbagai unsur masyarakat. Pesertanya meliputi dari kalangan tokoh politik dan perwira militer yang punya minat terhadap sejarah, disamping tentunya para sejarawan. Seminar ini dipimpin oleh Sultan Yogyakarta, Sri Sultan Hamengkubuwono IX serta menampilkan berbagai pembicara dan tamu terkenal, termasuk Sekretaris Jenderal PKI D.N. Aidit.
“Sedianya seminar ini akan dihadiri oleh utusan-utusan dari daerah-daerah seperti: Inspeksi Pendidikan Masyarakat Kab. Batanghari, Jambi, Panitia Persiapan Kongres Kebudayaan Aceh di Kutaraja, Perwakilan Kebudayaan Provinsi Kalimantan Selatan Banjarmasin. Juga dari Medan sedianya akan diutus beberapa hali-ahli sejarah, tapi berkenaan dengan kesulitan pengangkutan laut, meskipun tidak terhalang sama sekali, terpaksa hanya dikirimkan peninjau-peninjau saja,” lansir mingguan Istimewa, 22 Desember 1957.
Seminar Sejarah Nasional I berlangsung antara 14—18 Desember 1957. Rektor UGM Prof. dr. Sardjito bertindak sebagai ketua panitia teknis ilmiah yang turut meresmikan seminar. Sementara itu, acara seminar meliputi enam pokok bahasan, yaitu: konsepsi filsafat sejarah Indonesia, periodesasi sejarah Indonesia, syarat-syarat mengarang kitab sejarah, pelajaran sejarah di sekolah-sekolah, pendidikan ahli ahli sejarah, dan pemeliharaan bahan-bahan sejarah.
Beberapa sejarawan terkemuka tampil sebagai pembicara dalam seminar. Sebut saja seperti Profesor Dr. Mr. Sukanto yang mengkaji tentang periodesasi sejarah Indonesia. Soebantardjo dan Mohammad Ali yang mengupas syarat-syarat mengarang kitab sejarah. Notomihardjo dan M.D. Mansoer dengan bahasan tentang pendidikan ahli sejarah.
Namun, seminar pada hari pertama telah berlangsung “panas”. Agenda pembuka hari itu membahas tentang konsepsi filsafat sejarah Indonesia yang mempertemukan Mr. Mohammad Yamin dan Soedjatmoko. Meski seorang ahli hukum, Yamin yang sebelumnya pernah menjabat sebagai menteri pendidikan dan kebudayaan (1953—1955), diakui reputasinya sebagai sejarawan lewat karya historiografinya seperti 6000 Tahun Merah Putih (1951) dan (1952). Buku 6000 Tahun Merah Putih bahkan diberi kata pengantar oleh Presiden Sukarno. Yamin juga dikenal sebagai sastrawan ulung. Sementara itu, Soedjatmoko adalah tokoh intelektual dari Partai Sosialis Indonesia (PSI) yang juga seorang diplomat. Soedjatmoko tampil sebagai pembicara menggantikan Mohammad Hatta yang berhalangan hadir karena sakit.
Yamin yang punya obsesi besar terhadap kejayan kerajaan Nusantara di masa silam menekankan filsafat sejarah Indonesia senapas dengan nasionalisme. Bertentangan dengan Soedjatmoko yang berpendapat bahwa sejarawan harus memulai dari bawah, melakukan penelitian dasar mereka sendiri, dan membangun ke atas menuju teori atau filsafat sejarah. Dengan demikian, sejarah yang ditulis terbuka bagi bermacam kemungkinan tafsir.
Starweekly 28 Desember 1957, menggambarkan perdebatan Yamin dan Soedjatmoko dengan penuh retorika. “Yang satu pacak dan lincah (Yamin -red), yang lain agak kaku bicaranya (Soedjamoko -red). Yang satu bertubuh lebar, sedangkan yang lain jangkung dan langsing. Yang satu orator, yang lain esais. Yang satu pandai mengucapkan kata-kata dan semboyan yang saban-saban memancing tepok tangan yang riuh dari pendengar yang berjumlah ratusan orang. Yang lain senantiasa berbicara dengan tenang; paling banyak reaksi dimuka pendengarnya berupa senyuman.”
Pendirian Yamin dan Soejatmoko, seperti diulas Starweekly, bertentangan begitu diametral. Sesi pembuka Seminar Sejarah Nasional I itu menjadi ajang debat mengenai filsafat sejarah Indonesia. Namun, seperti diungkap David Reeve, panitia penyelenggara mendukung pandangan Yamin. Sementara itu, pendapat dalam komunitas sejarah yang terbatas lebih condong kepada Soedjatmoko.
“Di luar lingkungan akademis, pandangan Yamin menang telak. Tulisan-tulisan sejarah terus dikobarkan dengan semangat nasionalisme,” catat Reeve dalam Tetap Jadi Ongokham: Sejarah Tentang Sejarawan.
Biar bagaimanapun, menurut Hilmar Farid dalam “Pramoedya dan Historiografi Indonesia”, termuat dalam bunga rampai Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia suntingan Henk Schulte Nordholt, baik Yamin dan Soedjatmoko setuju bahwa sejarah nasional harus disusun dengan perspektif yang berpusat pada orang Indonesia, atau dikenal sebagai perspektif Indonesia-sentris. Dalam bukunya Pengantar Ilmu Sejarah, sejarawan Kuntowijoyo menyebut Seminar Sejarah Nasional I menunjukkan perkembangan dalam teori sejarah dengan dicanangkannya nasionalisme dalam penulisan sejarah.
“Sejarah yang menujukkan peran orang Indonesia (Indonesia-centrisme) untuk menggantikan 'sejarah dari atas geladak kapal' yang menunjukkan peran para penjajah Belanda (Neerlando-centrisme),” jelas Kuntowijoyo.
Selain para tokoh dan sejarawan senior, dalam Seminar Sejarah Nasional I itu juga tampil sejarawan muda Sartono Kartodirdjo. Seperti Profesor Soekanto, Sartono menjadi panelis dalam bahasan tentang periodesasi sejarah Indonesia. Menurut Sartono, Seminar Sejarah Nasional I menjadi tonggak penting dalam penulisan kembali sejarah Indonesia yang tersendat-sendat sejak 1951.
“Meskipun hasil seminar tidak memenuhi harapan peserta, tetapi tidak sedikit manfaatnya untuk memperdalam kesadaran akan peranan sejarah nasional sebagai sarana penting untuk pendidikan warga negara Indonesia, terutama untuk menimbulkan kesadaran nasionalnya dengan mengenal identitas bangsanya melalui sejarahnya,” tandas Sartono dalam prakata editor umum, Sejarah Nasional Indonesia edisi 1(1975) .
Sartono kemudian dikenal sebagai begawan sejarah Indonesia dengan pendekatan Indonesiasentris. Sartono juga editor utama buku Sejarah Nasional Indonesia - cikal bakal buku babon sejarah Indonesia - yang edisi pertamanya terbit pada 1975. Nama Sartono diabadikan untuk penghargaan “Sartono Kartodirdjo Award”, yaitu apresiasi bagi guru atau komunitas sejarah yang telah memberi sumbangih dalam mengajarkan dan memasyarakatkan sejarah. Sementara itu, hari pembukaan Seminar Sejarah Nasional I, tanggal 14 Desember, sampai saat ini diperingati sebagai hari sejarah nasional.
Refleksi untuk pemerintah sekarang dalam penyusunan sejarah indonesia....