- Petrik Matanasi
- 16 Jun
- 3 menit membaca
MUSIM haji 1926 baru saja berakhir dan haji dari Hindia Belanda mulai pulang ke tanah air. Salah satunya adalah Haji Muhamad Sudjak (1885-1962) dari Yogyakarta. Selain terkenal dalam dunia perdagangan dan industri di Yogyakarta, ia juga terkenal intelek. Faktor terakhir inilah yang kemudian ikut membuat pengalamannya berhaji dikorek. Pasalnya, kekritisannya di masa karantina membuat pemerintah kolonial Hindia Belanda selaku penyelenggara haji “kebakaran jenggot”.
Di masa itu, para haji dikarantinakan di Pulau We (Sabang) di Aceh dan Pulau Onrust di Teluk Jakarta sebelum mencapai daerah masing-masing. Pelayanan administrasi, makanan dan lain-lainnya selama di karantina itu dianggap buruk oleh Haji Soedjak. Baik di Sabang maupun di Onrust.
“Para haji diperlakukan seperti tawanan yang pantas dihukum,” terang Haji Sudjak, dikutip De Locomotief tanggal 26 Juli 1926 dan De Indische Courant tanggal 28 Juli 1926.
Dalam hal layanan kesehatan dan makan bergizinya pun jauh dari kata memuaskan. Kontraktor Tionghoa yang seharusnya menyediakan makanan untuk para jamaah haji Hindia Belanda di Sabang, tidak maksimal. Akibatnya malah membuat para haji membeli makanan di warung yang dibukanya.
Di kapal SS Ajax pun, menurut Sudjak, perawatan kesehatan sangatlah buruk. Apa yang didapat para haji Hindia itu masih jauh dari ketentuan Ordonansi Hadji. Selama di kapal berminggu-minggu itu para haji itu tak disediakan juru masak yang mengurus makanan layak untuk para haji tersebut. Saking parahnya, sambung Haji Sudjak, sampai ada penumpang perempuan mengenakan pakaian laki-laki dan harus mandi di laut di hadapan jamaah laki-laki.
Haji Sudjak adalah orang Muhammadiyah, organisasi yang didirikan Haji Ahmad Dahlan 14 tahun sebelumnya. Sejak awal berdirinya, Muhamadiyah sudah peduli pada masalah haji Hindia Belanda.
“Bagian Panita Penolong Haji, yang bertujuan membantu jemaah haji, didirikan pada tahun 1912 dengan Haji Sudjak sebagai ketua yang pertama,” catat 1 Abad Muhammadiyah.
Selama bertahun-bertahun mengurus perkara jamaah haji di lembaga yang pada 1930-an itu disebut Badan Penolong Hadji itu, Haji Sudjak tidak sekadar mengkritik pemerintah kolonial saja. Sebagai orang yang berpikiran maju, Haji Sudjak juga ingin para jamaah haji Hindia Belanda naik kapal khusus haji. Pandangan itu tak hanya konsisten disuarakannya namun juga diupayakan.
“Haji Sudjak dan Mulyadi Djoyomartono, pada tahun 1921 mengadakan gerakan membeli kapal haji sendiri,” catat Imron Mustofa dalam K.H. Ahmad Dahlan Si Penyantun.
Ini dianggap solusi dari ketidakpuasan atas perjalanan haji kolonial dengan kapal milik orang Eropa. Usaha pembelian kapal itu terus disuarakan Sudjak hinga tahun-tahun terakhir kekuasaan Hindia Belanda.
Gagasan itu ternyata berbuah pahit bagi Haji Sudjak dan lembaga yang dipimpinnya. Pada 1931, Badan Penolong Hadji dituntut untuk menyetor uang kepada pemerintah. Koran Het Nieuws van den dag voor Nederlandsh Indie tanggal 23 November 1931 memberitakan, Badan Penolong Hadji dituntut untuk menyetorkan uang sebanyak 90.000 gulden terkait propaganda pemberangkatan haji. Pemerintah kolonial juga menolak memberi izin kepada Moehamadyah untuk melakukan propaganda sebelum uang 90.000 gulden tuntutan itu dibayarkan.
Muhammadiyah jelas tak sepakat dengan keputusan pemerintah kolonial. Usaha untuk membeli kapal sendiri untuk jamaah haji terus berjalan. Pada 1939, Haji Sudjak membicarakan rencana pembelian kapal itu dalam Konferensi Muhamadiyah ke-13 yang berlangsung di Padangpanjang, Sumatra Barat. De Avond Post tanggal 4 Juni 1939 menyebut Haji Sudjak datang dari Yogyakarta untuk melakukan propaganda pembelian kapal itu.
Haji Sudjak menjelaskan bahwa lebih menguntungkan memiliki kapal sendiri daripada menyewa. Oleh karenanya, sejalan dengan rencana pembelian kapal itu maka akan didirikanlah sebuah perseroan terbatas bernama NV Scheepvaart en Handel Indonesia dengan 2.000 pemegang saham yang menanamkan modal sebesar 250 gulden.
Usaha pendirian perusahaan itu terus dilakukan dan mendapat dukungan. Sementara, Imron Mustofa menyebut, usaha itu terus digagalkan pemerintah kolonial.*
Comments