- M.F. Mukhti
- 7 Jun
- 3 menit membaca
SETELAH konflik yang menyebabkan beberapa jet tempur India ditembak jatuh beberapa waktu lalu, konflik India-Pakistan memasuki babak baru. Kedua negara bertetangga yang sama-sama memiliki nuklir itu kini terlibat pertempuran udara menggunakan pesawat nirawak (drone).
“Insiden atau perang drone terjadi pada 8 Mei 2025, sekitar pukul 20.00 waktu setempat. Suar merah terlihat melesat di langit malam di atas Kota Jammu, India utara, ketika sistem pertahanan udara India menembakkan rudal untuk mencegat drone yang dikirim dari wilayah Pakistan. Selama empat hari bentrokan, India dan Pakistan yang selama ini mengandalkan jet tempur, rudal konvensional, dan artileri, mulai menguji kekuatan armada drone mereka,” demikian kompas.com, 27 Mei 2025, memberitakan.
Pertempuran udara menggunakan drone itu seakan memutakhirkan konflik kedua negara yang telah muncul sejak keduanya merdeka hampir 80 tahun silam. Setidaknya empat kali (1947-49, 1965, 1971, 1999) kedua negara bertetangga itu terlibat perang sejak merdeka pada 1947.
Sejak pemerdekaan British India pasca-Perang Dunia II yang menghasilkan India dan Pakistan, kedua negara baru merdeka itu saling memperebutkan wilayah Kashmir dan Jammu yang berpenduduk mayoritas muslim namun dipimpin oleh Hindu. Kendati garis pemisah (Line of Control) telah ditetapkan Dewan Keamanan PBB di Kashmir pada 1948, saling curiga membuat masing-masing pihak menyokong pihak yang sepaham di Kashmir untuk menyingkirkan rivalnya.
“Tahap pertama pertikaian Kashmir mencakup periode dari kemerdekaan hingga 1953-54, ketika masih ada harapan akan penyelesaian, dan ketika saat-saat bahagia tidak pernah jauh dari periode kesedihan atau kemarahan. Tahun 1953 menyaksikan perkembangan yang sangat membahagiakan, ketika kesepakatan penuh hampir tercapai. Namun, tiba-tiba hal ini digantikan oleh Pakistan yang beralih ke Barat, membuat India cukup marah hingga meragukan apakah penyelesaian damai akan mungkin dilakukan melalui pembicaraan bilateral. Upaya mediasi sudah tidak dipercaya. India khawatir Pakistan akan mempersenjatai kembali, yang terjadi, dan Pakistan melihat reaksi India sebagai konfirmasi atas ketidakpercayaan sebelumnya terhadap niat India,” tulis Lars Blinkengerg dalam India-Pakistan: The History of Unsolved Conflicts: Volume I.
Tak hanya perang fisik, diplomasi politik juga jadi ajang pertikaian keduanya. Bahkan, untuk urusan remeh-temeh sekalipun kedua negara seakan tak mau kalah. Seperti yang terjadi sehari menjelang penyelenggaraan Konferensi Asia-Afrika (KAA) yang 70 tahunnya jatuh pada April lalu.
Pada 17 April 1955, sehari sebelum KAA dibuka diadakan rapat informal antara para ketua delegasi yang akan menghadiri KAA guna menetapkan aturan teknis konferensi tersebut. Rapat berlangsung di kediaman Perdana Menteri (PM) Indonesia Ali Sastroamidjojo dari pukul 3-5 sore. Semua ketua delegasi hadir kecuali delegasi Pakistan dan Turki yang belum tiba di Bandung.
“Rapat informil para ketua delegasi itu segera dapat menyetujui beberapa ketentuan tentang prosedur Konperensi Asia-Afrika. Usul Perdana Menteri (India, red.) Nehru untuk tidak diadakan pidato-pidato sambutan oleh para ketua delegasi disetujui pula. Hanya dengan kekecualian bagi pidato pembukaan Konperensi oleh Presiden Sukarno dan untuk pidato penerimaan oleh Ketua Konperensi yang terpilih. Alasan Nehru ialah supaya dengan demikian kami bisa menghemat waktu,” kenang Ali Sastroamidjojo dalam otobiografinya, Tonggak-Tonggak di Perjalananku.
Namun, hasil keputusan rapat tersebut diprotes PM Pakistan Mohammad Ali Bogra yang bersama rombongannya tiba di Bandung setelah rapat itu selesai. PM Pakistan yang langsung menemui PM Indonesia dengan nada agak marah minta agar rapat diulang. Ia tak setuju dengan keputusan tentang ditiadakannya pidato-sambutan oleh para ketua delegasi yang menurutnya pasti gagasan PM India PJ Nehru.
Tak menuruti dan juga tak menolak permintaan PM Pakistan, PM Indonesia mempersilakan PM Pakistan hadir dalam rapat para ketua delegasi kedua yang telah ditetapkan pukul 9 malam itu juga di tempat yang sama. PM Pakistan pun memenuhinya.
Di dalam rapat kedua, PM Pakistan, yang pandangannya didukung Wakil PM Turki Fatin Rustu Zorlu, langsung “tancap gas” begitu diberi kesempatan berbicara. Ia bersikukuh meminta adanya pidato dari tiap ketua delegasi. Hal itu tentu ditentang PM India yang menggagas ditiadakannya apa yang dituntut PM Pakistan. Perdebatan pun memanas meski akhirnya bisa diakhiri.
“Sebetulnya soal pidato itu adalah perkara kecil, tetapi menyebabkan perdebatan yang agak seru juga, terutama antara Nehru dan Moh. Ali, sehingga banyak di antara peserta merasa bahwa latar belakang persengketaan antara India dan Pakistanlah yang menyebabkan perdebatan itu menjadi begitu hangat. Akhirnya kesukaran itu bisa diatasi dengan suatu keputusan kompromis. Pidato sambutan dibolehkan, tetapi tiap-tiap ketua delegasi hanya diberi waktu 5 menit. Perdana menteri Nehru rupanya tidak begitu senang dengan kompromis itu dan menyatakan bahwa ia tetap tidak akan mengadakan pidato sambutan,” kenang Ali Sastroamidjojo.*
Comentarios