top of page

Sejarah Indonesia

Advertisement

Piala Afrika yang Dipandang Sebelah Mata

Hampir saban Piala Afrika menimbulkan polemik antara timnas dan klub-klub Eropa. Hajatannya acap digelar di jadwal padat liga-liga Eropa.

Oleh :
Historia
23 Des 2025

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Upacara pembukaan Afcon 2025 di Prince Moulay Abdellah Stadium di Rabat (cafonline.com)

JIKA di belantika sepakbola Eropa ada momen “Boxing Day” sepanjang musim liburan Natal dan Tahun Baru (Nataru), di “benua hitam” Afrika juga ada hajatan dua tahunan African Cup of Nations (Afcon) atau Piala Afrika. Pada edisi ke-35 kali ini, Maroko jadi tuan rumah turnamennya yang dihelat kurun 21 Desember 2025-18 Januari 2026.


Saat ini ke-24 tim sudah berkumpul di masing-masing base camp di Maroko di enam kota penyelenggara: Rabat, Casablanca, Marrakech, Agadir, Tangier, dan Fez. Namun, tak sedikit pelatih yang jengkel. Sejak awal Desember 2025, FIFA memberi keputusan yang memberatkan mereka, utamanya terkait kewajiban klub-klub Eropa melepas para legiun Afrika mereka.


FIFA memberi keputusan bahwa klub-klub Eropa diwajibkan melepas para pemain Afrika yang dipanggil masing-masing tim nasional paling lambat 15 Desember 2025. Padahal, pada edisi-edisi sebelumnya para pemain Afrika itu wajib diizinkan meninggalkan klub untuk bergabung ke pemusatan latihan masing-masing tim nasional dua pekan sebelum hari-H turnamen.


“(Klub Eropa) melepaskan pemain pada tanggal 15 untuk Afcon yang dimulai pada tanggal 21...itu omong kosong. Anda tak bisa mempersiapkan tim dengan serius hanya dengan dua atau tiga sesi (latihan),” kata pelatih timnas Angola berpaspor Prancis, Patrice Beaumelle, dikutip The Guardian, Jumat (19/12/2025).


Hal serupa juga diutarakan pembesut timnas Benin asal Jerman, Gernot Rohr. Apalagi sudah sejak lama federasi Benin komplain soal itu kepada Confédération Africaine de Football (CAF) atau Konfederasi Sepakbola Afrika.


“Ada kurangnya rasa hormat yang ditunjukkan kepada Afcon. Dalam sebuah rapat staf teknis dari semua tim peserta dengan CAF, kami mendesak para pemain kami, yang kebanyakan di klub-klub Eropa, untuk dilepaskan, demi kami bisa memulai persiapan. CAF tidak bisa memberikan kami jawaban yang jelas,” kata Rohr.


FIFA sendiri tak bisa menyangkal bahwa memang selama ini penyelenggaraan Afcon selalu berbenturan dengan jadwal padat kompetisi Eropa di musim dingin. Sudah bukan lagi rahasia bahwa selama ini Piala Afrika selalu dianggap underrated alias dipandang sebelah mata.


Pada Desember 2021 atau menjelang Piala Afrika 2022, Presiden FIFA Gianni Infantino menegaskan kembali soal keberatannya akan Piala Afrika yang diselenggarakan setiap dua tahun, bukan empat tahun sebagaimana Piala Eropa, Piala Asia, atau Piala Dunia. Atau setidak-tidaknya perhelatannya dimundurkan ke musim gugur agar tidak clash dengan kalender padat liga-liga Eropa serta Champions League dan Europa League.


“Jika kita bisa menyelaraskan kalendernya dan memastikan Piala Afrika bisa dimainkan sebagai bagian dari jeda internasional yang lebih panjang pada musim gugur, maka saya pikir kita bisa mencapai sesuatu yang cukup penting,” ujar Infantino.


Namun CAF bergeming. Pun dengan prinsip mereka yang selama ini mereka pegang sejak inagurasi Piala Afrika 1957. Penyelenggaraan setiap dua tahun sekali diperlukan untuk terus mengejar ketertinggalan mereka dari sepakbola Eropa dan Amerika Selatan.


Laga pembuka antara tuan rumah Maroko kontra Comoros (X@CAF_Online)
Laga pembuka antara tuan rumah Maroko kontra Comoros (X@CAF_Online)

Mulanya Piala Afrika

Sudan, negeri di timur laut Benua Afrika ini kerap diterpa peperangan yang mengarah kepada genosida. Termasuk Perang Saudara Sudan yang berlangsung sejak 15 April 2023 hingga sekarang antara pasukan pemerintah Sudan, pemberontak SLM al-Nur, dan pasukan paramiliter Rapid Support Forces (RSF) yang diduga dibekingi Uni Emirat Arab. Padahal, di negeri itulah Piala Afrika pertamakali dihelat 68 tahun lampau.


Ben Jackson dalam The African Cup of Nations: The History of an Underappreciated Tournament menulis, semua berawal dari Kongres FIFA ke-29 di Bern, Swiss, Juni 1954. Saat itu Afrika mulai diakui sebagai zona sepakbola tersendiri untuk kualifikasi Piala Dunia berikutnya.


Mesir diundang ke kongres tersebut dengan diwakili Presiden Federasi Sepakbola Mesir (EFA) Abdel Aziz Abdallah Salem, mewakili zona Afrika. Pasalnya dari empat negara Afrika yang statusnya merdeka kala itu –Afrika Selatan, Sudan, dan Ethiopia– Mesirlah yang sudah punya banyak pengalaman dalam sepakbola internasional: di Olimpiade Antwerp 1920 maupun di Piala Dunia 1934.


“Kemudian pada (jelang) Kongres FIFA ke-10 di Portugal (9-10 Juni 1956), gagasan menggelar turnamen kontinental mulai dibentuk. Pada 1956 itu, Sudan bergabung dengan Mesir, Ethiopia, dan Afrika Selatan, membicarakan masa depan sepakbola Afrika dan gairahnya untuk menciptakan turnamen bagi benua mereka,” tulis Jackson.


Maka bertemulah para perwakilan asosiasi sepakbola tiga negara itu pada 8 Juni 1956 di Hotel Avenida, Lisbon. Mereka adalah Abdel Aziz Abdallam Salem dan Mohamed Latif mewakili Mesir, Bawady Mohaed dan Abdelhalim Mohamed dari Sudan, dan Fred Fell (beberapa sumber menyebut Fred Will) mewakili Afrika Selatan. Mereka pun sepakat untuk menggulirkan hajatan sepakbola Afrika setiap dua tahun sekali. Tak hanya soal turnamen. Konfederasinya juga sudah mulai jadi pembahasan.


“Mesir sebagai negara yang paling berpengalaman dalam sepakbola jadi unggulan sebagai tuan rumah. Akan tetapi ketika pasukan Israel menginvasi Mesir pada 29 Oktober 1956 (Krisis Suez 29 Oktober-7 November 1956, red.), prospek itu lenyap seketika. Krisis Suez berarti Mesir dianggap tidak cocok sebagai negara tuan rumah. Sudan pun menawarkan (ibukota) Khartoum sebagai tuan rumah,” lanjutnya.


Pertemuan empat asosiasi negara itu berlanjut lagi di Grand Hotel, Khartoum, 8 Februari 1957. Di tempat itu pula disepakati pembentukan CAF dengan empat negara pendirinya: Mesir, Ethiopia, Sudan, dan Afrika Selatan.


“Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) dan aturan bye untuk turnamennya disepakati dan diputuskan turnamen pertamanya di Khartoum digelar selama pekan pertama Februari itu juga. Akan tetapi SAFA (federasi sepakbola Afrika Selatan) menghubungi federasi Sudan dengan pertimbangan Krisis Suez, menyarankan kompetisinya dibatalkan atau setidaknya ditunda. Federasi Sudan menjawab bahwa turnamennya akan tetap digelar,” ungkap Chris Bolsmann dalam artikel “White Football in South Africa: Empire, Apartheid and Change, 1892-1977” yang termaktub di buku South Africa and the Global Game: Football, Apartheid and Beyond.


Meski begitu, mengingat masih sedikitnya negara yang sudah merdeka menyulitkan CAF untuk menyebar undangan kepada sejumlah negara non-pendiri. Koloni Gold Coast (kini Ghana) sempat diundang, akan tetapi sampai H-1 turnamen tidak memberikan jawaban. Afrika Selatan juga pada akhirnya mundur gegara halangan kebijakan dan politik apartheid.


“Sebenarnya kami menerima dia (Fell) dan menerima Afrika Selatan dan tim mereka bersedia untuk datang ke Khartoum. Tetapi kemudian kami membicarakan hal sensitif. Dia (Fell) bilang bahwa pemerintahnya menyatakan yang akan dikirim antara tim nasional berisi pemain kulit putih atau kulit hitam. Kami bilang, tidak. Kami ingin tim (Afrika Selatan) berisi pemain kulit hitam dan kulit putih,” kenang Abdel Halim Mohammed dari federasi Sudan, dikutip Ian Hawkey dalam Feet of the Chameleon: The Story of African Football.


Karena pemerintah Afrika Selatan bersikeras, SAFA pun disanksi CAF. Pada akhirnya, hanya tiga tim yang ikut serta. Beruntung bagi Ethiopia – yang terundi melawan Afrika Selatan – bisa langsung ke final karena Afrika Selatan mundur. Sementara Mesir dan Sudan mesti “saling bunuh” demi bisa melaju ke final untuk bertemu Ethiopia.


“Sudan sempat meminta undiannya diulangi lagi tetapi ditolak Yidnekachwe Tessema, salah satu petinggi CAF. Ia mengutip regulasi FIFA bahwa undian awal harus dihormati,” sambung Jackson.


Mesir yang memenangi Afcon perdana pada 1957 (Wikipedia/Pinterest)
Mesir yang memenangi Afcon perdana pada 1957 (Wikipedia/Pinterest)

Piala Afrika perdana pun digelar 10-16 Februari 1957 dengan venue di Municipal Stadium (kini Khartoum International Stadium) yang berkapasitas 30 ribu penonton. Trofi yang diperebutkan merupakan donasi pribadi dari Abdallah Salem, presiden EFA sekaligus presiden CAF.


Laga pembuka antara Mesir kontra Sudan pun digelar di Municipal Stadium pada 10 Februari 1957. Pada pertandingan yang dipimpin wasit Gebeyehu Doube dari Ethiopia itu, Mesir menang tipis 2-1. Pun di final pada 16 Februari 1957 di stadion yang sama dengan dipimpin wasit Mohammed Youssef dari Sudan, Mesir menang telak 4-0 atas Ethiopia. Mesir jadi juara perdana Piala Afrika pada 1957.


“Bahkan hanya dengan tiga tim, panitia penyelenggara mengaku puas dengan perhelatannya. Laporan mereka ke FIFA memang sempat menimbulkan pertanyaan tentang obyektifitas wasit, akan tetapi FIFA memuji perhelatan yang adil dan imparsial itu,” tambahnya.


Pada perhelatan edisi berikutnya di Piala Afrika 1959 dengan Mesir sebagai tuan rumah kurun 22-29 Mei 1959, juga hanya diikuti tiga negara yang sama. Bedanya kali ini sistemnya diubah menjadi klasemen atau round-robin agar ketiga tim saling bertemu. Lagi-lagi Mesir yang gemilang dengan hasil dua kali menang atas Ethopia (4-0) dan Sudan (1-0).


Mulai edisi ketiga, di mana Ethiopia mendapat jatah tuan rumah Piala Afrika 1961 hingga sekarang, turnamennya berangsur-angsur diikuti lebih banyak peserta. Faktornya sudah lebih banyak negara Afrika yang terlepas dari belenggu kolonialisme dan penjajahan.


Afrika Selatan sendiri baru kembali diterima sebagai peserta di Piala Afrika 1996. Itu enam tahun pasca-apartheid dihapuskan dan Afrika Selatan menggelar pemilu demokratisnya pada 1994.


Pada 2013 sempat diberlakukan penyesuaian bahwa gelaran Piala Afrika dua tahunan seterusnya akan dihelat pada tahun-tahun ganjil. Alasannya untuk menghindari bentrokan jadwal dengan Piala Dunia.



Advertisement

Piala Afrika yang Dipandang Sebelah Mata

Piala Afrika yang Dipandang Sebelah Mata

Hampir saban Piala Afrika menimbulkan polemik antara timnas dan klub-klub Eropa. Hajatannya acap digelar di jadwal padat liga-liga Eropa.
Sjahrir dan Anak-anak Banda Neira

Sjahrir dan Anak-anak Banda Neira

Pada 1934, perjuangan Hatta dan Sjahrir harus terhenti sementara karena keduanya ditangkap oleh pemerintah kolonial dan dibuang ke Boven Digul.
Masa Akhir Sjahrir

Masa Akhir Sjahrir

Agustus 1965, Sutan Sjahrir dirawat di Swiss untuk mengobati penyakit stroke yang menggerogoti tubuhnya, Poppy (Istri Sutan Sjahrir) setia mendampingi Sjahrir hingga akhir hayat.
Petrus Albertus Van der Parra

Petrus Albertus Van der Parra

Bermula sebagai pedagang di Batavia, kelak Van der Parra dikenal sebagai Gubernur Jenderal yang gemar hidup mewah.
Sang Mahaguru Investasi Bodong

Sang Mahaguru Investasi Bodong

Charles Ponzi dikenal sebagai penipu ulung yang mencetuskan Skema Ponzi. Skema ini pernah memakan banyak korban di Amerika Serikat, bahkan berkembang hingga ke Indonesia.
bottom of page