- Randy Wirayudha
- 3 Jun
- 5 menit membaca
BULUTANGKIS Indonesia tengah dinaungi kabut duka. Tan Joe Hok alias Hendra Kartanegara, bintang bulutangkis legendaris, wafat di usia 87 tahun. Sebagaimana yang dikabarkan PBSI, Tan Joe Hok tutup usia di Rumahsakit Medistra, Jakarta pada Senin (2/6/2025) pagi.
“Persatuan Bulutangkis Seluruh Indonesia menyampaikan dukacita yang mendalam dan doa terbaik untuk almarhum dan keluarga. Selamat jalan Tan Joe Hok. Warisanmu untuk bulutangkis (a)kan abadi,” tulis pernyataan PBSI di laman X-nya, @INABadminton, Senin (2/6/2025).
Tan Joe Hok bukan sekadar legendaris, ia juga pionir kejayaan bulutangkis Indonesia. Pada dekade awal 1950-an, bulutangkis Indonesia masih dianggap “anak bawang” di panggung dunia. Namun bersama sejumlah bintang pelopor seperti Njoo Kiem Bie, Eddy Yusuf, hingga Ferry Sonneville, Tan Joe Hok membuat Indonesia mulai disegani di pentas internasional.
Mengutip buku Setengah Abad PB Djarum: Dari Kudus Menuju Prestasi Dunia, Tan Joe Hok yang lahir di Bandung pada 11 Agustus 1937 mengenal olahraga tepok bulu dari ibunya, Khoe Hong Nio, yang hobi main bulutangkis di kampung. Sebab, ayahnya, Tan Tay Ping, pedagang tekstil yang sering keluar kota. Pada usia 12 tahun, Tan Joe Hok yang pernah ikut mengungsi saat Bandung Lautan Api (24 Maret 1946) pecah, mulai serius menekuni bulutangkis di klub Blue White dibimbing Lie Tjoe Kong, tokoh bulutangkis Tionghoa.
“Mungkin itu satu anugerah. Saya dibesarkan di Bandung, lahir di Babakan. Orang tua saya, dari pihak ibu asli orang Rancaekek, dari Ujungberung. Dari pihak nenek saya itu asli orang Cilacap. Dan, saya juga mengecap masa remaja saya di Bandung. Pada usia remaja, baru saya melanglang buana ke luar negeri dan akhirnya merantau sampai di Texas,” kenangnya kepada Wimar Witoelar dalam program “Perspektif Baru” yang dikutip Abdul Baqir Zein dalam Etnis Cina dalam Potret Pembauran di Indonesia.
Prestasi bulutangksinya yang menonjol itulah modal Tan Joe Hok melanglang buana hingga ke pentas internasional. Gelar juara di Kejuaraan Nasional 1956 pun mampu ia rengkuh hingga membawa dirinya setara dengan para jago bulutangkis macam Sonneville, Njoo Kiem Bie, Olich Solihin, ataupun Eddy Jusuf. Nama terakhir ini turut mengusulkan agar PBSI turut serta dalam turnamen bergengsi Piala Thomas 1958 yang dihelat di Singapura.
“Saran Eddy Jusuf tidak langsung diterima PBSI. PBSI bertanya siapa yang mau mengongkosi. Selain itu, Indonesia juga dianggap masih kurang mampu bersaing di dunia,” ujar Tan Joe Hok, dikutip Putra Permata Tegar Idaman dan Nafielah Mahmudah dalam Thomas Cup: Sejarah tentang Kehebatan Indonesia.
Masalah dana itu akhirnya diatasi dengan lobi-lobi dan penggalangan dana dengan persetujuan PBSI. Majalah Star Weekly turut mendukung penggalangan dananya hingga terkumpul uang mencapai Rp40.545,80.
Dana sejumlah itu harus diirit-irit lantaran Indonesia sebagai debutan mesti mengikuti babak intra-zone terlebih dulu dengan bertandang melawan Selandia Baru dan Australia meski putaran finalnya di Singapura. Tim Indonesia sendiri berisi Sonneville, Tan Joe Hok, Njoo Kiem Bie, Tan King Gwan, Lie Po Djian, dan Olich Solihin.
Kendati konsumsi pas-pasan dan tak bisa latihan selama di Selandia Baru dan Australia karena kekurangan dana untuk sewa lapangan, spirit Tan Joe Hok cs. tetap menyala. Selandia Baru dan Australia masing-masing ditaklukkan dengan skor yang sama, 9-0.
“Kami buta kekuatan lawan, namun karena kami jago-jago semua, mereka kami sikat habis. Kami sama sekali tidak merasa gugup. Kami menunjukkan bahwa kami bukan jago kandang, tetapi benar-benar jago,” lanjut Tan Joe Hok.
Di babak pertama dan kedua, tim Indonesia menunjukkan tajinya bahwa mereka bukan lagi “anak bawang” di pentas dunia. Setelah membekap Denmark 6-3 dan menyikat Thailand 8-1, Indonesia lolos ke babak challenge round alias final kontra Malaya (kini Malaysia). Di babak inilah media massa di Indonesia mulai bergairah memberitakan prestasi Tan Joe Hok dkk.
Dalam dua hari gelaran challenge round, tim Indonesia menang telak 6-3. Mereka yang ketika berangkat senyap, tetiba pulang mendapat sambutan meriah dari masyarakat sesampainya di Bandara Kemayoran. Itu kali pertama tim Indonesia merengkuh juara turnamen bergengsi dunia Thomas Cup.
“Begitu pintu pesawat dibuka, disambut publik begitu meriah. Di Kemayoran, seperti lautan manusia. Saya tidak menyangka sambutan bisa begitu meriah. Kami semua terharu sampai mengeluarkan air mata,” kenangnya.
Antara Sekolah dan Tepok Bulu
Tak hanya jadi pahlawan Thomas Cup, setahun berselang Tan Joe Hok jadi pebulutangkis Indonesia pertama yang memetik gelar juara turnamen perorangan bergengsi, All England. Di final, Tan menundukkan sesama jago raket Indonesia, Ferry Sonneville, dengan tiga set: 15-8, 10-15, dan 15-3. Tetapi bukan itu yang jadi titik balik hidupnya.
“Mungkin orang tahu saya orang pertama yang menjuarai All England pada 1959 dan meraih emas Asian Games tiga tahun kemudian. Saya dan enam pemain lain juga merebut Piala Thomas untuk pertama kali pada 1958. Nama saya pun diulas di majalah Sports Illustrated, majalah bergengsi di Amerika ketika saya berusia 22 tahun. Saya disebut pemain tak terkalahkan. Namun di balik sukses itu, saya sebenarnya hanya rumput liar yang mesti hidup di segala keadaan,” tuturnya di buku Tan Joe Hok: Perintis di Pentas Bulu Tangkis.
Meski Tan meraih aneka prestasi, bulutangkis saat itu belum bisa dijadikan jalan hidup yang menjanjikan secara ekonomi. Tan pun menjalani pergulatan batin ketika menerima beasiswa kuliah di Baylor University, Texas atas rekomendasi Ross Kogen. Selama di Amerika Serikat mengenyam studi kimia dan biologi itu, ia jadi jauh dari bulutangkis lantaran selain tak ada lapangan bulutangkis di lingkungan kampusnya, lawan sparring pun tidak ada. Sesekali ia ikut kejuaraan US Open dan selebihnya kuliah seraya mengambil pekerjaan sambilan jadi operator telepon dan tukang bersih-bersih demi kebutuhan hidup selama di Texas.
Namun hatinya yang masih kental dengan pengabdian dan nasionalisme tak bisa bohong. Kuliahnya sempat tersendat karena merasa terpanggil membela tim Indonesia menjelang Thomas Cup 1961. Sebagai juara bertahan, maka Indonesia harus jadi tuan rumah.
“Rasa mengabdi, rasa nasionalisme yang diterapkan oleh Bung Karno yang kemudian menimbulkan pergolakan dalam diri saya. Saya pernah mewakili Indonesia, membawa lambang Garuda. Piala Thomas sudah kita rebut, kenapa kita tidak pertahankan. Sayang, sudah kita rebut bila tidak kita pertahankan. Hal itu terus terngiang-ngiang dari tahun 1960,” kata Tan Joe Hok.
Maka ketika tim dibentuk, Tan pulang. Ia sekalian mengajak Sonnevile yang berada di Belanda untuk ikut pulang dengan ongkos pribadi. Keuntungan juga didapat Indonesia sebagai tuan rumah dan juara bertahan. Lolos dengan status bye di babak pertama dan babak kedua, Tan Joe Hok dkk. langsung bertemu Thailand di challenge round yang mereka sikat 6-3 untuk back-to-back jadi juara Thomas Cup.
Motivasinya begitu kuat untuk melanjutkan kuliah hingga membuatnya lulus pada 1963. Ia terus bermain sampai 1967., Beberapa saat kemudiaan Tan menjajal karier sebagai pelatih di Meksiko dan Hong Kong pada 1970-an. Ia baru kembali ke tanah air untuk ikut mengasuh Liem Swie King dan Rudy Hartono, baik di PB Djarum maupun pelatnas PBSI.
Namun warisan Tan, utamanya untuk kalangan etnis Tionghoa, yang terus diingat adalah upayanya dalam menghapus kebijakan diskriminatif berupa Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI). SKBRI pernah jadi masalah bagi banyak pebulutangkis, dari Ivana Lie pada 1980-an hingga pasangan peraih emas olimpiade Alan Budikusuma-Susi Susanti pada 1990-an.
Sebagai pendiri Komunitas Bulutangkis Indonesia (KBI), Tan bersurat kepada pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri untuk menghapus kebijakan SBKRI untuk kalangan Tionghoa yang dianggap mengganggu integritas nasional sebagai sebuah bangsa. Masalah yang pernah dialami Ivana dll. itu isunya kembali mengemuka pada 2002 ketika menimpa Hendrawan yang ikut tampil di Thomas Cup 2002.
Surat yang mereka kirim merupakan hasil dari berkumplnya lebih dari 40 tokoh bulutangkis di sebuah restoran dekat kawasan Senayan. KBI mengeluarkan petisi yang mereka tandatangani untuk diajukan kepada Presiden Megawati. Isinya merekomendasikan penghapusan SBKRI dalam RUU pengganti RUU Kewarganegaraan No. 62 Tahun 1958.
Pada 12 Agustus 2002, Presiden Megawati menginstruksikan Menteri Kehakiman dan HAM Yusri Ihza Mahendra untuk menghapus persyaratan SBKRI bagi kalangan etnis Tionghoa.
“Selain keinginan untuk bertemu dengan Presiden Megawati, Tan Joe Hok mengatakan bahwa petisi yang dibuat oleh KBI akan dikirim ke Amien Rais (Ketua MPR) dan Akbar Tandjung (ketua DPR). Keinginan KBI disambut hangat dan positif,” tukas Justian Suhandinata dalam WNI Keturunan Tionghoa dalam Stabilitas Politik Ekonomi Indonesia.
Selamat jalan, Tan Joe Hok, pionir kejayaan bulutangkis Indonesia!
Comments