top of page

Sejarah Indonesia

Presiden Sukarno Megawati Sukarnaputri Bukan

Presiden Sukarno: “Megawati Sukarnaputri bukan Soekarnoputri”

Presiden Sukarno menegur wartawan yang selalu salah tulis nama anaknya.

12 Juni 2015

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Presiden Sukarno dan Megawati Soekarnoputri.

KERIBUTAN soal tempat lahir Sukarno tampaknya sudah mereda. Tim komunikasi Presiden Joko Widodo telah bertanggung jawab dan meminta maaf atas kesalahan menyebut tempat lahir Sukarno di Blitar, padahal di Surabaya. Namun, bagaimana jika ternyata nama keluarga yang digunakan anak-anak Sukarno tidak sesuai dengan apa yang diberikan dan diinginkan Sukarno.


Dalam amanatnya pada Musyawarah Nasional Teknik di Istora Olahraga Senayan Jakarta, 30 September 1965, Sukarno menegaskan: “Saudara-saudara, saya mendidik kepada Guntur, kepada Megawati: He Guntur, engkau harus membantu kepada pembangunan sosialisme. Megawati, engkau harus membantu kepada pembangunan sosialisme. Ayo, tentukan sendiri, engkau mengambil jurusan apa di dalam studimu? Guntur milih teknik! Megawati milih teknik,” kata Sukarno dalam Revolusi Belum Selesai: Kumpulan Pidato Presiden Soekarno 30 September 1965-Pelengkap Nawaksara.


Sukarno menegaskan nama keluarga yang diberikannya kepada anak-anaknya: “Guntur Sukarnaputra. He wartawan, kenapa wartawan itu selalu salah tulis. Guntur Soekarnoputra, salah! Sukarnaputra. Begitu pula Megawati Sukarnaputri. Bukan Soekarnoputri, meskipun namaku adalah Sukarno.”


Beberapa buku menulis nama keluarga itu Sukarnaputra atau Sukarnaputri. Misalnya, buku Republik Indonesia Volume 5: Djakarta Raya, terbitan resmi Kementerian Penerangan tahun 1957, menyebut Megawati Sukarnaputri. “Di tengah-tengah suatu taman diadakan pelajaran untuk kanak-kanak keluarga Istana dimana tidak ada perbedaan bagi Megawati Sukarnaputri dengan anak si tukang kebun, mereka sama-sama mendapat didikan di suatu tempat yang disediakan.” Menariknya, buku-buku asing terbitan tahun 2000-an juga menulis Megawati Sukarnaputri.


Begitu pula dengan Guntur. Buku Pedoman Pokok Pelaksanaan Deklarasi Marhaenis yang diterbitakan DPP Partai Nasional Indonesia tahun 1965, menyebutkan “kemudian pembacaan ikrar oleh Bung Guntur Sukarnaputra. Disusul dengan penyerahan jenis ‘padi Marhaen’ hasil karya saudara Martief Djemain anggota Petani Djawa-Timur kepada Bapak Marhaenisme Bung Karno.”


Mengapa Sukarno memilih nama Karna? Karna merupakan pengganti Kusno, nama lahir Sukarno. Sakit-sakitan menjadi alasan bapaknya, Raden Sukemi Sosrodiharjo, mengganti nama Kusno menjadi Karna, anak Batara Surya atau Dewa Matahari dengan Dewi Kunti, yang lahir melalui telinga. Karenanya Karna juga berarti telinga.


Karna, kata Raden Sukemi yang mengagumi kisah Mahabarata, adalah pahlawan terbesar dalam Mahabarata, setia pada kawan-kawannya, memiliki keyakinan tanpa mempedulikan akibatnya, dikenal karena keberanian dan kesetiaannya, seorang panglima perang dan pembela negara. “Aku selalu berdoa agar anaku menjadi seorang patriot dan pahlawan besar dari rakyatnya,” kata Raden Sukemi seraya berharap “semoga engkau menjadi Karna yang kedua.”


“Nama Karna dan Karno sama saja. Dalam bahasa Jawa huruf A dibaca O. Awalan Su pada kebanyakan nama kami berarti baik, paling baik. Jadi Sukarno berarti pahlawan yang terbaik,” kata Sukarno dalam otobiografinya, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia karya Cindy Adams.


Sejak masa sekolah tandatangannya dieja Soekarno, namun setelah Indonesia merdeka Sukarno memerintahkan semua OE ditulis menjadi U. “Nama Soekarno sekarang ditulis menjadi Sukarno,” kata Sukarno. “Tidak mudah bagi seseorang untuk mengubah tandatangan seteah berumur 50 tahun, jadi dalam hal tandatangan aku masih menulis S-O-E.”


Sukarno tidak menyebut alasan mengapa dia memberikan nama keluarga Sukarnaputra atau Sukarnaputri. Barangkali, dengan memberikan nama itu, Sukarno seperti halnya bapaknya, Raden Sukemi, mengharapkan anak-anaknya menjadi seorang Karna.*

Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian
Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Film “The Voice of Hind Rajab” jadi antidot amnesia kisah bocah Gaza yang dibantai Israel dengan 335 peluru. PBB menyertakan tragedinya sebagai bagian dari genosida.
Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Dulu, orang Dayak dituduh pembakar hutan yang lebih berbahaya dari industri. Padahal, tidak banyak lahan hutan alam Kalimantan yang mereka gunduli.
Foto "Gadis Napalm" yang Kontroversial

Foto "Gadis Napalm" yang Kontroversial

Cerita di balik potret bocah-bocah yang menangis histeris saat terjadi serangan napalm di Perang Vietnam. Kini atribusi fotonya jadi polemik.
Anak Tawanan Itu Bernyanyi “Nina Bobo”

Anak Tawanan Itu Bernyanyi “Nina Bobo”

Sukses sebagai penyanyi di Belanda, Anneke Gronloh tak melupakan Indonesia sebagai tempatnya dilahirkan.
Pangku yang Memotret Kehidupan Kaum Pinggiran

Pangku yang Memotret Kehidupan Kaum Pinggiran

Film perdana Reza Rahadian, “Pangku”, tak sekadar merekam kehidupan remang-remang lewat fenomena kopi pangku. Sarat pesan humanis di dalamnya.
bottom of page