top of page

Sejarah Indonesia

Guntur Sukarnoputra Menikah Tanpa Ayah

Guntur Soekarnoputra Menikah Tanpa Ayah

Ketika Sukarno dilarang menghadiri pernikahan anaknya, Guntur Soekarnoputra.

Oleh :
9 November 2017

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Sukarno diapit Guntur Soekarnoputra dan istrinya, Henny Emilia Hendayani, di rumah Jalan Sriwijaya, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. (Repro Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia).

PRESIDEN Joko Widodo tengah berbahagia. Putrinya, Kahiyang Ayu, telah melangsungkan pernikahan dengan Muhammad Affif Bobby Nasution pada Rabu, 8 Novemer 2017. Kebahagiaan itu bertambah lantaran dalam pernikahan di Gedung Graha Saba Buana, Solo, itu Jokowi sendiri menjadi wali nikah Kahiyang, tak mewakilkan.


Kebahagiaan bisa menikahkan dan menyaksikan pernikahan anak seperti itu tak dialami Sukarno sewaktu anak sulungnya, Guntur Soekarnoputra, menikah. Ketika Guntur hendak menikah, Sukarno tidak bisa menghadiri pernikahan tersebut. Selain sedang sakit, Sukarno dilarang oleh rezim Soeharto.


Menurut sineas yang menggemari sejarah Iman Brotoseno, pelarangan terhadap Sukarno disebabkan oleh ketakutan rezim Soeharto. Bila Sukarno bertemu banyak orang, dikhawatirkan bisa membangkitkan kembali memori tentang masa-masa Sukarno. Pasalnya, ketika pernikahan Rachmawati dilaksanakan, Sukarno sempat datang dan bertemu banyak orang. Penguasa lalu membatasi dia agar tak terlalu berbaur dengan tamu.


“Lebih-lebih bulan Februari 1970 adalah masa-masa yang semakin keras dengan interogasi dan penjagaan,” kata Iman kepada Historia.


Kondisi itu membuat Guntur akhirnya memilih mantan Wakil Presiden Mohammad Hatta, yang tak terdampak oleh transisi kekuasaan, untuk menjadi wali nikahnya. Pemilihan itu berangkat dari saran Sukarno. Sebelum menikah, Guntur menemui Sukarno untuk meminta restu.


“Waktu itu sudah ada rekonsialiasi Guntur dengan Sukarno. Sebelumnya, Guntur ngambek karena Sukarno nikah dengan Hartini. Guntur membela ibunya dan tidak mau menemui ayahnya. Akhirnya rekonsiliasi dan Guntur mau datang lagi,” kata Iman.


Menurut Puti Guntur Sukarno, memang ngambek dan membela ibunya tapi bukan tidak mau bertemu dengan Bung Karno. "Papa dan eyang masih sama-sama di Istana sampai mereka diultimatum harus keluar Istana dan mereka berdua punya gentleman agreement. Kalau papa jarang di Istana karena saat itu sudah kuliah di ITB," kata Puti kepada Historia.


Ditemani ibunya, Fatmawati, Guntur datang menemui Hatta. Dia mengutarakan niat dan kondisi riil yang ada. “Ya, saya bersedia,” kata Hatta menjawab permintaan putra sulung sahabatnya itu sebagaimana dikenang Guntur dalam Bung Karno, Bapakku, Guruku, Sahabatku, Pemimpinku. Guntur tak menyangka Hatta menyanggupi permintaannya mengingat pertikaian politik antara Sukarno dan Hatta.


Calon istri Guntur merupakan ratu kebaya Bandung, Henny Emilia Hendayani. Guntur mengenalnya ketika kuliah di ITB dan Henny kuliah di Jurusan Pertanian Universitas Padjadjaran. Masa pacaran mereka sangat sederhana. Saat kencan pertama, misalnya, Henny sempat gugup saat Guntur hendak menjemput. Henny berdandan rapi karena mengira Guntur akan menjemputnya dengan mobil dan mengajak makan di restoran mewah. Kenyataan jauh panggang dari api, Guntur menjemput Henny dengan skuter butut dan mengajaknya makan di warung pinggir Jalan Cikawao.


Pernikahan mereka pun akhirnya berlangsung di Bandung pada Februari 1970, empat bulan sebelum Sukarno mangkat. “Pernikahan Guntur sederhana, waktu itu situasinya tidak memungkinakan teman-teman Bung Karno untuk datang lagi karena mereka agak menjauh. Setahu saya yang waktu itu datang adalah Ali Sadikin,” kata Iman.


Menurut sejarawan Saleh As’ad Djamhari dalam “De-Sukarnoisasi dan Akhir Demokrasi Terpimpin”, termuat dalam Malam Bencana 1965, Hatta datang ke pernikahan Guntur dengan perasaan haru. Hatta menyadari kepedihan hati Sukarno yang tidak bisa menyaksikan putra sulungnya menikah.*

Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian
Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Film “The Voice of Hind Rajab” jadi antidot amnesia kisah bocah Gaza yang dibantai Israel dengan 335 peluru. PBB menyertakan tragedinya sebagai bagian dari genosida.
Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Dulu, orang Dayak dituduh pembakar hutan yang lebih berbahaya dari industri. Padahal, tidak banyak lahan hutan alam Kalimantan yang mereka gunduli.
Foto "Gadis Napalm" yang Kontroversial

Foto "Gadis Napalm" yang Kontroversial

Cerita di balik potret bocah-bocah yang menangis histeris saat terjadi serangan napalm di Perang Vietnam. Kini atribusi fotonya jadi polemik.
Anak Tawanan Itu Bernyanyi “Nina Bobo”

Anak Tawanan Itu Bernyanyi “Nina Bobo”

Sukses sebagai penyanyi di Belanda, Anneke Gronloh tak melupakan Indonesia sebagai tempatnya dilahirkan.
Pangku yang Memotret Kehidupan Kaum Pinggiran

Pangku yang Memotret Kehidupan Kaum Pinggiran

Film perdana Reza Rahadian, “Pangku”, tak sekadar merekam kehidupan remang-remang lewat fenomena kopi pangku. Sarat pesan humanis di dalamnya.
bottom of page