top of page

Sejarah Indonesia

Radikalisme Indische Partij

Inilah kisah partai politik pertama yang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Dibentuk oleh tiga serangkai bapak bangsa: Cipto, Dekker, dan Suwardi.

Oleh :
19 Mei 2025
bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Tiga serangkai pendiri Indische Partij: Cipto Mangunkusumo, EFE Douwes Dekker, dan Suwardi Suryaningrat. (KITLV).

HARI kelahiran organisasi pergerakan Boedi Otomo (selanjutnya disebut Budi Utomo) acap dianggap sebagai tonggak lahirnya nasionalisme Indonesia. Budi Utomo berdiri pada 20 Mei 1908. Dalam Budi Utomo, para priayi Jawa berserikat untuk memajukan kaum bumiputra Hindia Belanda. Sampai saat ini, hari berdirinya Budi Utomo diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional.


Pakar sejarah Asia Tenggara Akira Nagazumi dalam The Dawn of Indonesia Nationalisme: The Early Years of The Budi Utomo 1908—1918 menyebut Budi Utomo sebagai fajar nasionalisme Indonesia atau protonasionalisme. Kelahirannya diilhami oleh semangat zaman, yaitu sikap liberal, humanis, sekuler, dan progresif. Nagazumi berkesimpulan bahwa Budi Utomo merupakan organisasi nasional pertama di Indonesia dan relatif bebas dari sekat-sekat keagamaan dan tradisi, serta berhasrat memajukan kecerdasan bangsa.


Alih-alih kebangkitan nasional, menurut sejarawan Eko Septian Putra, Budi Utomo lebih cenderung sebagai kebangkitan kaum intelektual bumiputra. Dengan demikian, imbuhnya, tanggal 20 Mei perlu ditinjau ulang sebagai Hari Kebangkitan Nasional.


“Tanggal peringatan Kebangkitan Nasional selayaknya disematkan pada hari lahir Indische Partij, organisasi sekaligus partai politik pertama yang didirikan pada 25 Desember 1912,” kata Eko, kurator sejarah Museum Nasional, kepada Historia.ID.


Tiga Serangkai

Indische Partij digagas oleh tiga serangkai: Cipto Mangkunsumo, Ernest Francois Eugene Douwes Dekker, dan Suwardi Suryaningrat alias Ki Hadjar Dewantara. Pendiriannya dilatarbelakangi oleh kekecewaan terhadap organisasi-organisasi sebelumnya yang dianggap masih elitis dan terbatas pada kepentingan golongan tertentu. Sedari awal, para pendiri Indische Partij punya rekam jejak dalam menentang praktik-praktik kolonialisme maupun kultur feodalisme lokal.


Cipto Mangunkusumo, misalnya, merupakan seorang dokter-cendekia bumiputra yang semula aktif di Budi Utomo. Namun, Cipto segera kecewa lantaran organisasi itu hanya memperjuangkan kepentingan kaum elite Jawa. Lagipula Budi Utomo dalam gerakannya enggan menjangkau rakyat luas serta menolak bersikap tegas terhadap kekuasaan kolonial. Gagasan Cipto menjadikan Budi Utomo sebagai organisasi yang bersifat nasional ditolak mentah-mentah oleh para petinggi konservatif. Cipto lantas memilih keluar dari Budi Utomo.


Begitu pula Suwardi Suryaningrat, bangsawan dari lingkungan Pakualaman yang juga terlibat dalam Budi Utomo, merasakan kekecewaan serupa. Saat itu, Suwardi masih siswa sekolah kedokteran (Stovia) di Batavia. Suwardi menyaksikan bagaimana Budi Utomo lebih sibuk memelihara kebudayaan dan kehormatan elite priayi ketimbang menghadirkan perlawanan nyata terhadap kolonialisme. Selepas dari Budi Utomo, Suwardi coba bergabung dengan Sarikat Islam (SI) yang didirikan Haji Oemar Said Tjokroaminoto. Suwardi bahkan sempat menjadi pimpinan SI cabang Bandung bersama Abdul Muis dan Sutan Muhamad Zain. Kendati demikian, aktivitas pergerakan SI lebih fokus pada bidang ekonomi dan solidaritas antar-pedagang pribumi. Bagi Suwardi, belum ada organisasi yang secara terang-terangan menyuarakan kemerdekaan sebagai tujuan politik.


Kekecewaan dan pencarian yang sama itulah yang akhirnya mempertemukan Suwardi dan Cipto dengan Douwes Dekker. Dari ketiganya, nama terakhir merupakan yang paling senior. Douwes Dekker, seorang Indo-Belanda kelahiran 8 Oktober 1879, merupakan veteran Perang Boer di Afrika Selatan. Sepulangnya ke Hindia Belanda, Dekker bekerja sebagai koresponden suratkabar De Locomotief. Saat menjabat redaktur Bataviaasch Nieuwsblaad, Dekker merekrut Cipto sebagai salah satu awak medianya. Hubungan keduanya bermula ketika Dekker sering mengadakan hubungan dengan murid-murid dari Stovia di mana Cipto berada di dalamnya. Cipto sendiri mempunyai gaya bahasa menulis yang sangat menarik. Tulisannya dapat meyakinkan para pembaca karena ia menggunakan kalimat-kalimat pendek, ringkas dan kata-katanya tepat.


“Pada Douwes Dekker, Cipto melihat seorang kawan seperjuangan. Kerjasama dengan Douwes Dekker memberikannya kesempatan untuk melaksanakan cita-citanya, ialah sebuah gerakan politik yang menentang kolonialisme dan bertujuan untuk kemerdekaan Hindia Belanda,” ulas Soegeng Reksodihardjo dalam dr. Cipto Mangunkusumo.


Setelah dipecat dari Bataviaasch Nieuwsblaad karena sikap politik yang anti-kolonial dan tercermin dalam tulisan-tulisannya, Dekker mendirikan majalah Het Tijdschrift dan De Express, surat kabar berhaluan revolusioner nasionalistis. Di dalamnya, Cipto tergabung sebagai anggota sidang pengarang dan Suwardi sebagai redaktur. Suwardi sendiri sudah tertarik dengan gerakan Dekker semenjak dirinya aktif di SI Bandung.


Menurut Darsiti Soeratman dalam biografi Ki Hajar Dewantara, bergabungnya Suwardi ke dalam kelompok Dekker menambah kekuatan untuk dapat mencapai cita-citanya. Deker merasa mendapat keuntungan besar. Suwardi dikenal berotak tajam, teguh pendirian dan keyakinannya.


“Dalam gelanggang perjuangan, tiga pemimpin itu D. Dekker, Suwardi S, dan Cipto Mangunkusumo bekerja bahu-membahu. Ketiga pemimpin tersebut disebut pula Janget Kinatelon ata Tiga Serangkai,” catat Darsiti.


Trio Dekker-Cipto-Suwardi kemudian membentuk Indische Partij (IP). Organisasi ini tak lagi berbicara dari dalam batas etnik, keagamaan, atau status sosial. IP mengusung semangat persamaaan nasib dan hak sebagai anak bangsa. Dengan semboyan “Hindia untuk Hindia”, para pendirinya memperjuangkan visi tentang bangsa yang terbentuk atas dasar solidaritas melawan kolonialisme. Atau dengan kata lain, kemerdekaan negeri jajahan Hindia dari penjajahnya Belanda.


“Indische Partij adalah organisasi pertama yang secara terbuka mengusung gagasan kemerdekaan dan nasionalisme politik,” terang Eko. “Gagasan mereka melampaui batas-batas identitas kultural dan menghadirkan konsepsi Hindia –kelak Indonesia– sebagai komunitas politik modern.”


Berumur Pendek

Eksistensi IP secara formal diresmikan pada sebuah vergadering atau rapat akbar yang diadakan di Bandung, 25 Desember 1912. Dalam IP, Dekker duduk sebagai ketua sementara Cipto menjadi wakilnya. Tidak hanya menarik minat bagi kaum bumiputra, keanggotaan IP juga banyak berasal dari kalangan Indo.


Sejarawan Takashi Shirashi dalam Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912—1926 mencatat, dari seluruh anggota IP yang berjumlah tujuh ribu-an pada 1913, justru unsur bumiputranya hanya 1500 orang. Kendati demikian, karakter IP yang dominan pada Indo tidak serta merta membuat pengaruhnya kecil di kalangan bumiputra. Cipto sejak lama telah menampilkan diri sebagai pemimpin bumiputra. Sementara itu, gagasan Hindia untuk orang Hindia adalah sesuatu yang baru pada masa itu. Vergadering-vergadering besar yang diselenggarakan IP juga menjadi kesenangan baru di Hindia.


Menurut Eko, perjuangan tokoh-tokoh IP dapat dikatakan sebagai tonggak radikal pertama dalam sejarah pergerakan kebangsaan Indonesia. Dalam situasi ketika organisasi-organisasi pergerakan seperti Budi Utomo masih berhati-hati menjaga hubungan dengan pemerintah kolonial dan belum menyuarakan kemerdekaan secara terbuka, IP justru tampil menantang, lantang, dan berani. Tiga serangkai Deker-Cipto-Suwardi tak hanya berbicara tentang pembaruan sosial atau pendidikan, melainkan secara terang-terangan menyerukan kemerdekaan Hindia Belanda dari penjajahan.


Dalam vergadering di Bandung, misalnya, Dekker berseru bahwa berdirinya IP adalah pernyataan perang terhadap kolonialisme. Dekker menggambarkan IP laksana sinar terang yang melawan kegelapan, kebaikan melawan kejahatan, peradaban melawan tirani, budak pembayar pajak kolonial melawan Belanda sang negara pemungut pajak. Pernyataan itu, seperti disebut Takashi, adalah serangan terhadap politik etis yang dipromosikan pemerintah kolonial, yakni ketika kemajuan dilihat sebagai cahaya peradaban Barat untuk rakyat jajahan yang hidup dalam kegelapan.


“Pidato-pidato semacam itu membakar semangat banyak orang, tetapi sekaligus membuat geram penguasa kolonial,” kata Eko.


Namun, pukulan paling telak ke muka pemerintah kolonial datang dari tulisan Suwardi. Dalam tulisannya yang menggemparkan, “Als ik een Nederlander was” (Seandainya Aku Seorang Belanda), yang termuat di suratkabar De Expres edisi 13 Juli 1913, Suwardi mengecam perayaan 100 tahun Belanda yang hendak digelar di negeri koloni Hindia Belanda. Terlebih lagi, rakyat bumiputra Hindia Belanda dikenai pungutan uang derma secara paksa guna membiayai perayaan tersebut. Suwardi menyindir tajam, bagaimana mungkin penjajah merayakan kemerdekaannya di hadapan rakyat yang masih terjajah? Beginilah bunyi kutipan yang menohok itu:


“Andai aku seorang Belanda, pada saat ini juga aku memprotes hajat mengadakan peringatan itu. Aku akan mengingatkan kawan-kawanku di koloni, bahwa berbahayalah di waktu ini mengadakan perayaan-perayaan kemerdekaan itu. Aku akan menasehatkan sekalian orang Belanda supaya janganlah menghina rakyat di Hindia Belanda, yang kini mungkin menunjukkan keberanian dan mungkin akan bertindak pula; sungguh aku akan protes dengan segala kekuatan yang ada padaku. Tetapi, aku bukan seorang Belanda. Aku hanya seorang putera dari negeri ini, seorang pribumi di negeri jajahan Belanda ini karena itu aku tidak akan protes. Sebagai 'inlander' aku wajib ikut merayakan hari kemerdekaan Nederlands, yakni negeri tuan-tuan kita,” demikian Suwardi.


Yang bikin tulisan Suwardi mengguncang adalah keputusannya untuk menerjemahkan ke dalam bahasa Melayu. Tujuannya agar dapat dibaca dan dipahami oleh sebanyak mungkin rakyat bumiputra. Walhasil, sebarannya pun kian masif. Jadi viral kalau istilah zaman sekarang. Tidak hanya menggugah kalangan terpelajar Belanda, tulisan Suwardi juga menyebar luas ke kalangan rakyat yang selama ini tidak tersentuh oleh wacana politik kolonial.


Pemerintah kolonial langsung bereaksi keras. Suwardi bersama Cipto dan Dekker dijatuhi hukuman pembuangan ke negeri Belanda. Namun, pengasingan itu tak cukup ampuh membungkam mereka. Justru dari pengasingan, gagasan-gagasan mereka tentang Indonesia sebagai sebuah bangsa modern semakin mengkristal. Cipto, Dekker, dan Suwardi terus menulis, berdiskusi, dan menyebarkan ide-ide pembebasan yang kelak menginspirasi generasi berikutnya dalam pergerakan nasional. Dengan demikian, IP bukan hanya organisasi politik pertama di Hindia Belanda, melainkan juga simbol perlawanan ideologis yang paling awal dan paling berani.


“Dalam medan sejarah yang penuh kompromi, IP memilih jalan yang tegas – menantang kolonialisme secara langsung dan tanpa tedeng aling-aling. Itulah sebabnya, perjuangan mereka pantas dikenang sebagai titik tolak lahirnya nasionalisme Indonesia yang sejati,” pungkas Eko.*

Comments

Rated 0 out of 5 stars.
No ratings yet

Add a rating
Mayor Udara Soejono Sang Eksekutor Kartosoewirjo

Mayor Udara Soejono Sang Eksekutor Kartosoewirjo

Mayor Soejono disebut sebagai eksekutor imam DI/TII S.M. Kartosoewirjo. Dia kemudian dieksekusi mati karena terlibat G30S.
Bung Karno dan Sepakbola Indonesia

Bung Karno dan Sepakbola Indonesia

Meski punya pengalaman kurang menyenangkan di lapangan sepakbola di masa kolonial, Bung Karno peduli dengan sepakbola nasional. Dia memprakarsai pembangunan stadion utama, mulai dari Lapangan Ikada hingga Gelora Bung Karno.
Juragan Besi Tua Asal Manado

Juragan Besi Tua Asal Manado

Bekas tentara KNIL yang jadi pengusaha kopra dan besi tua ini sempat jadi bupati sebelum ikut gerilya bersama Permesta.
Perdebatan dalam Seminar Sejarah Nasional Pertama

Perdebatan dalam Seminar Sejarah Nasional Pertama

Seminar Sejarah Nasional pertama tidak hanya melibatkan para sejarawan, melainkan turut menggandeng akademisi dan cendekia berbagai disiplin ilmu serta unsur masyarakat. Jadi momentum terbitnya gagasan Indonesiasentris dalam penulisan sejarah nasional Indonesia.
Berlan Kampung Serdadu dan Anak Kolong

Berlan Kampung Serdadu dan Anak Kolong

Sedari dulu, Berlan adalah daerah militer. Di zaman KNIL, Jepang, ataupun Indonesia, tetap sama.
bottom of page