top of page

Sejarah Indonesia

Riyawat Anak Anak Menyambut

Riyawat Anak-anak Menyambut Pejabat

Pengerahan anak-anak sekolah untuk menyambut pejabat pernah dilarang karena termasuk dalam gaya hidup berlebihan dan bertentangan dengan pola hidup sederhana yang dicanangkan Presiden Soeharto.

Oleh :
23 November 2025

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

...

Diperbarui: 24 Nov

KETIKA Presiden Prabowo meresmikan proyek Jembatan Kabanaran di Bantul, Yogyakarta, anak-anak sekolah setempat turut menyambut. Acara berlangsung pada siang hari sehingga panas terik matahari terasa menyengat. Prabowo cukup peka merasakan anak-anak yang kepanasan demi menyambut kedatangannya.


“Terima kasih, saya disambut oleh rakyat dan banyak anak-anak sekolah. Saya terkesan, tapi saya kasihan juga mereka berdiri lama di [terik] panas,” kata Prabowo dalam sambutanya, mengutip dari laman resmi Sekretariat Negara, setneg.go.id, 20 November 2025.


Untuk itu, Prabowo menginstruksikan Sekretaris Kabinet Letkol Teddy Indrawijaya agar kepala daerah tak perlu mengerahkan anak-anak ketika menyambut kedatangannya. Biarkan anak-anak bersekolah meskipun presiden berkunjung ke daerah. Bilamana diperlukan, cukup presiden saja yang masuk ke ruang kelas untuk melihat anak-anak generasi penerus bangsa.


Pengerahan anak-anak sekolah dalam menyambut kedatangan pejabat dan petinggi negara, khususnya di daerah seolah menjadi lumrah dewasa ini. Di Indonesia, kebiasaan ini setidaknya sudah terjejaki sejak mula Republik berdiri. Tujuannya untuk menyambut tamu kehormatan yang datang berkunjung.


Ketika Presiden Sukarno pertama kali ke Aceh, seluruh rakyat menanti dan mengelu-elukan kedatangannya. Bung Karno tiba di Banda Aceh pada 15 Juni 1948. Ini adalah kunjungan resmi pertama Sukarno ke bumi Serambi Makkah sejak proklamasi kemerdekaan.


Letnan Raja Sjahnan, salah satu komandan kompi TNI, turut menyaksikan peristiwa akbar tersebut. Dalam amatannya, rakyat berdesak-desakan ke muka, ingin melihat wajah presiden. Sewaktu Sukarno tiba, beliau disambut dengan adat kebesaran dan baru diadakan acara-acara singkat di Pendopo Karesidenan.


“Setelah acara-acara singkat itu selesai, ada istirahat dan kemudian pada pukul 15.00 diadakan aubade (nyanyian penghormatan) anak-anak sekolah menyambut Presiden,” tutur Raja Sjahnan dalam memoarnya, Dari Medan Area ke Pedalaman dan Kembali ke Kota Medan. Raja Sjahnan kelak menjabat wakil gubernur Sumatra Utara (1960–1965) dan ketua DPRD Sumatra Utara (1982–1992) dengan pangkat terakhir mayor jenderal.


Cerita yang sama diungkapkan Fadel Muhammad, belakangan politisi Golkar dan sempat menjadi menteri kelautan dan perikanan era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Fadel yang tumbuh di Ternate, Maluku Utara, dari tuturan orang tua, merekam ingatan ketika Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta berkunjung ke Ternate pada 1950-an. Seperti di Aceh, rakyat Ternate menyambut kedua pemimpin bangsa itu dengan penuh kehormatan. Mulai dari orang tua hingga anak-anak lebur bersama.


“Anak-anak SD hingga SMA (dan sekolah-sekolah kejuruan) membangun barisan penyambutan dan ikut upacara di lapangan Istana Sultan Ternate. Mereka ada yang menyambut dengan membawa poster dengan tulisan besar dengan kata-kata untuk memupuk persatuan bangsa. Poster-poster itu menjadi bahan literasi awal bagi anak-anak dan masyarakat,” terang Fadel dalam otobiografinya Building a Legacy: Menimba Ilmu, Mengajar, Mengepakkan Bisnid dan Berbakti pada Bangsa.


Di Palembang, begitu gencatan senjata setelah Agresi Militer Belanda kedua, pimpinan Republik kembali untuk menyusun pemerintahan. Gubernur Sumatra Selatan Mohamad Isa yang sebelumnya bergerilya di pedalaman turut dalam rombongan dengan menumpang kereta api dari Lubuk Linggau. Di setiap stasiun yang dilewati banyak rakyat berkumpul, dengan gegap gempita mereka menerikkan yel-yel, “Merdeka”, “Hidup Pak Isa.” Ketika kereta api yang membawa rombongan tiba di stasiun Kertapati, rakyat yang sudah lama menunggu lagi-lagi meneriakkan yel-yel serupa.


“’Merdeka’, ‘Merdeka’, ‘Hidup Pak Isa’, ‘Hidup Pak Isa’. Begitu teriak anak sekolah yang mengibarkan bendera merah putih berukuran kecil saat rombongan Mohammad Isa lewat,” tulis Feris Yuarsa dalam biografi Mohamad Isa: Pejuang Kemerdekaan yang Visioner.


Tidak hanya penyambutan yang sifatnya selebrasi, pengerahan anak-anak juga terjadi dalam suasana perkabungan tokoh. Ketika Bung Tomo, tokoh pejuang Angkatan 45 dalam Pertempuran Surabaya, wafat pada 7 Oktober 1981 –dan jenazahnya dibawa ke Surabaya pada 3 Februari 1982, segenap rakyat Surabaya turut mengantarkan ke pusaranya di Pemakaman Umum Ngagel. Sulistina Sutomo, istri Bung Tomo, mengenang rakyat berderet sepanjang jalan, tukang-tukang becak berdiri membereskan becaknya dengan teratur di pinggir-pinggir jalan. Begitu pula anak-anak sekolah yang ikut menyongsong.


“Aku terharu sekali. Tukan becak, tukang sayur, penjual bakso bahkan sampai anak-anak sekolah ikut bersama pejabat mengantar Bung Tomo,” kenang Sulistina dalam Bung Tomo Suamiku: Biar Rakyat yang menilai Kepahlawanananmu.


Lama-kelamaan, tradisi penyambutan penggede dengan mengerahkan anak-anak sekolah lebih bersifat seremonial tanpa esensi. Cara penyambutan demikian lebih memperlihatkan prestise pejabat tinggi maupun petinggi negeri yang cenderung ke arah patron-klien atau kawula-gusti dalam budaya masyarakat Jawa. Anak-anak sekolah ditempatkan di garda depan, di pinggir jalan, sembari memegang umbul-umbul menyongsong pejabat ataupun rombongannya melintas. Kadang-kadang, kegiatan sekolah bahkan diliburkan demi hajatan ini. Tak pelak, praktik-praktik penyambutan demikian menuai kritik.


“Acara penyambutan pejabat pusat oleh daerah, janganlah berlebihan. Karpet merah atau pengerahan anak-anak sekolah jangan lagi digunakan,” demikian tajuk rencana Berita Yudha, 25 September 1993.


Pada 1993, Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara T.B. Silalahi menerbitkan Petunjuk Pelaksanaan (Juklak) Pola Hidup Sederhana (PHS) ke setiap lingkungan aparatur dan instansi pemerintah. Salah satu juklak tersebut melarang penyambutan pejabat dengan karpet merah dan pengerahan anak-anak sekolah. Pola hidup sederhana sendiri sudah dicanangkan Presiden Soeharto sejak 1974.


“Juklak pola hidup sederhana yang sudah diedarkan Kantor Menpan antara lain berisi pelarangan menyambut pejabat dengan karpet merah, umbul-umbul serta meliburkan murid sekolah di didaerah,” kata Silalahi dalam Berita Yudha, 24 September 1993.


Menurut Silalahi, pengerahan anak-anak untuk menyambut pejabat termasuk dalam gaya hidup berlebihan yang bertentangan dengan pola hidup sederhana. Untuk itulah pihaknya menerbitkan Juklak PHS untuk menyatukan persepsi dalam melaksanakan pola hidup sederhana dalam kedinasan maupun pergaulan hidup masyarakat. Juklak itu juga membatasi penyelenggaraan hari ulang tahun seluruh instansi pemerintah, peneriman atau pelayanan tamu yang berkunjung ke daerah, larangan penggunaan kendaran dinas mewah dan berlebihan serta menempati lebih dari satu rumah dinas.


“Pola hidup sederhana merupakan sikap, tingkah laku, dan perbuatan aparatur negara, baik dalam kedinasan maupun pergaulan hidup bermasyarakat yang berkelayakan, wajar, tidak boros, dan memperhatikan kondisi lingkungan serta masyarakat Indonesia umumnya,” jelas Silalahi dalam Berita Yudha, 14 Oktober 1993.


Meski demikian, pola hidup sederhana tampaknya tak mengakar ke dalam mentalitas pejabat. Ia rontok dan menjadi slogan yang viral sebentar di masa Orde Baru. Sampai hari ini, eksploitasi anak-anak dengan mengerahkan mereka untuk menyambut kedatangan pejabat, masih kerap terjadi; demi menopang eksistensi sang pejabat.*


Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian
Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Dulu, orang Dayak dituduh pembakar hutan yang lebih berbahaya dari industri. Padahal, tidak banyak lahan hutan alam Kalimantan yang mereka gunduli.
Arsip Korupsi Sejak Zaman Kompeni

Arsip Korupsi Sejak Zaman Kompeni

Korupsi sejak masa VOC hingga kolonial Belanda terekam dalam arsip. Korupsi akan terus ada karena berkaitan dengan kekuasaan, kewenangan, dan keserakahan manusia.
Ziarah Sejarah ke Petamburan (1)

Ziarah Sejarah ke Petamburan (1)

Dari pelatih sepakbola Timnas Indonesia Toni Pogacnik hingga pembalap Hengky Iriawan. Sejumlah pahlawan olahraga yang mewarnai sejarah Indonesia dimakamkan di TPU Petamburan.
Foto "Gadis Napalm" yang Kontroversial

Foto "Gadis Napalm" yang Kontroversial

Cerita di balik potret bocah-bocah yang menangis histeris saat terjadi serangan napalm di Perang Vietnam. Kini atribusi fotonya jadi polemik.
Banjir Aceh dan Tapanuli Tempo Dulu

Banjir Aceh dan Tapanuli Tempo Dulu

Sumatra Utara dan Aceh dulu juga pernah dilanda banjir parah. Penyebabnya sama-sama penebangan hutan.
bottom of page