top of page

Sejarah Indonesia

Desakralisasi Pejabat Publik

...

Desakralisasi Pejabat

_

Oleh :
...

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

...

Diperbarui: 7 Sep

SUATU hari saya pernah melihat Walikota Woerden, pejabat nomor satu dari sebuah kota kecil di Provinsi Utrecht, Belanda, sedang mencuci mobil di pekarangan rumahnya yang kecil (dibandingkan dengan kebanyakan ukuran rumah walikota di Indonesia). Di lain hari saya menyaksikan Winnie Sorgdrager, pensiunan menteri hukum Belanda periode 1994-1998 naik angkutan umum di Amsterdam. Winnie adalah cicit kemenakan Eduard Douwes Deker alias Multatuli yang namanya tenar sebagai penulis roman Max Havelaar. Tak ada juru kamera yang mengiringi mereka untuk dimuat media sosial. Tak ada tepuk riuh decak kagum karena semua itu biasa saja.


Di Indonesia juga ada kisah keteladanan para pejabat publik. Johannes Leimena, menteri di era Bung Karno, menggunakan kemeja tambalan saat ikut rapat kabinet. Belum lagi kisah Haji Agus Salim yang hidup sederhana, bahkan Prof. Soenario, menteri luar negeri RI dan kakek buyut artis Dian Sastrowardoyo, bersaksi bahwa Haji Agus Salim hidup dalam kemiskinan. Saat menulis biografi Maulwi Saelan, wakil komandan Tjakrabirawa pengawal Bung Karno, saya mendengar kisah Presiden Sukarno meminjam uang pengawalnya untuk membeli sebungkus rokok. Kisah-kisah ini justru diketahui saat tokoh-tokoh tersebut sudah almarhum, ketika mereka tak bisa lagi mengambil untung pencitraan lewat jalan populisme yang kini marak.


Kisah kesahajaan hidup di atas rupanya memang bukan dibikin-bikin. Di Belanda, sistem transportasi umum dirancang sebaik mungkin, yang dapat menghubungkan warga dari satu titik ke titik lain dalam tujuan perjalanannya. Menumpang angkutan umum adalah cara menempuh perjalanan yang ringkas dan tepat waktu. Selain bersepeda, sebagaimana yang pernah ditunjukkan oleh mantan Perdana Menteri Mark Rutte, menumpang angkutan umum perkara biasa saja untuk semua orang, tak terkecuali pejabatnya.


Lain halnya di Indonesia hari ini. Pejabat naik angkutan umum menimbulkan banyak keheranan. Karena yang biasa terjadi adalah iring-iringan mobil lengkap beserta pengawalnya. Sesekali ada pejabat naik angkutan umum, fotonya langsung beredar di media sosial dengan komentar netizen yang beraneka rupa: dianggap teladan sampai dengan pencitraan. Yang normal dianggap aneh, sedangkan yang abnormal dipandang sebagai kewajaran umum.


Kisah pejabat negeri yang sakral, tak mudah disentuh, baik oleh rakyat maupun oleh hukum, pernah terjadi pada masa kolonial. Para pembesar negeri selalu diiringi rombongan besar ketika bepergian: pengawal, pembawa perlengkapan sampai kerabat pejabat dibawa serta menunggangi barisan kuda pengiring yang jumlahnya fantastis. Tiap kali berpapasan dengan rakyat jelata, si rakyat wajib berhenti, bersimpuh, menundukkan kepala dan beringsut minggir ke tepi untuk memberi jalan buat pembesar. Saat uang mereka habis, dengan gampang mereka gunakan kas masjid tanpa harus mempertanggungjawabkannya secara hukum ketika uang tak bisa dikembalikan karena pengelola masjid adalah kerabat yang ditunjuknya sendiri.


Kemegahan hidup sebagai pembesar di masa itu disebutkan dalam roman Max Havelaar, mengisahkan kunjungan adipati Cianjur, kerabat adipati Lebak, ke Rangkasbitung dalam rombongan besar. Kebiasaan hidup mewah para bupati ditiru pula oleh pejabat di bawahnya. Sebagaimana ditulis oleh Nina Lubis dalam buku Kehidupan Kaum Menak Priangan 1800-1942, mengutip berita Medan Prijaji, pada 1909 seorang wedana meminjam uang 450 gulden dari rentenir atau sepuluh kali lipat dari jumlah gajinya sebesar 40 gulden/bulan, untuk membiayai pesta pernikahan anak perempuannya yang dihadiri banyak pembesar.


Hidup di zaman kolonial dengan tradisi feodal yang sengaja dirawat dalam sistem indirect rule menciptakan jurang ketimpangan yang lebar antara rakyat dan elitenya. Bentuk beambten-staat, negara birokrasi kolonial pseudo-modern, namun masih menampung para pejabat tradisional ke dalam struktur kepengurusan negara membawa dampak pengelolaan pemerintahan yang tidak transparan dan bertanggungjawab. Pejabat tradisional berlatar belakang feodal menjalankan mesin birokrasi guna melayani keperluan penguasa, sebagai abdi negara kolonial sambil terus mempertahakan privilesenya.  


Keistimewaan pejabat tradisional-feodal dalam sistem birokrasi kolonial berwujud gaji dan berbagai macam tunjangan serta fasilitas yang melekat pada jabatan tersebut. Merujuk pada surat keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda No. 16/10 September 1870, seorang bupati Cianjur menerima gaji 20 ribu gulden per tahun plus tunjangan sebesar 24 ribu gulden per tahunnya. Total gaji dan tunjangan bupati Cianjur per tahun mencapai 44 ribu gulden atau 3.700 gulden per bulannya. Bupati Bandung pada tahun yang sama juga menerima gaji dan tunjangan setara dengan bupati Cianjur.


Pada masa tanam paksa, penghasilan bupati di wilayah Priangan masih ditambah lagi dengan fee setor kopi kepada pemerintah kolonial sebanyak 1 gulden per satu pikulnya (62,5 kilogram). Setiap kabupaten punya kuotanya masing-masing. Untuk kabupaten Bandung, pemerintah kolonial mematok jumlah maksimal fee setoran per tahun sebanyak 82.000 gulden atau sekitar 6.830 gulden setiap bulannya. Ironisnya, para buruh penggarap kebun kopi hanya menerima upah kurang dari satu gulden per bulannya.


Sejarawan Jan Breman dalam Koloniaal profijt van onvrije arbeid: het Preanger stelsel van gedwongen koffieteelt op Java, 1720-1870 mencatat banyak bupati yang hidup bergelimang kemewahan dari tetesan keringat pekerja kebun kopi. Saat pergi ke Batavia, mereka menaiki kereta kuda berlapis emas, membeli perhiasan dan berfoya-foya. Sementara itu, di wilayahnya sendiri, bupati mengambil jarak dengan rakyatnya dan tidak mempunyai banyak pekerjaan kecuali bersikap penting dan memancarkan kekuatan sakral sesuai jabatannya.


Penindasan tersebut mendapatkan legitimasi dari pemerintah kolonial. Wajar jika Multatuli mengatakan bahwa orang Jawa dilecut oleh dua kekuasaan: kolonialisme Belanda dan feodalisme bangsa sendiri. Ketika kesadaran nasionalisme mulai tumbuh pada awal abad ke-20, beberapa tokoh gerakan pembebasan nasional memandang perlunya mengakhiri penjajahan serta menghapuskan sistem feodalisme yang mendatangkan banyak penderitaan. Ahmad Subardjo, menteri luar negeri pertama di era kemerdekaan, dalam memoarnya mengisahkan hasratnya untuk mengubah kondisi tersebut melalui gerakan politik nasional yang lebih egaliter.


Upaya untuk meruntuhkan kekuasaan kolonial dibarengi pula dengan keinginan kuat mendesakralisasi status jabatan yang diperoleh dalam sistem kolonial-quasi-feodal, sebagaimana yang ditunjukan dalam revolusi sosial yang terjadi di Karesidenan Pekalongan pada akhir 1945. Rakyat mengarak para pejabat yang dituduh korup semasa pemerintah kolonial –dan kemudian masa Jepang– berkeliling kota diiringi bebunyian tong dan kaleng rombeng sehingga muncul istilah “dombreng”. Rakyat yang marah menggeruduk rumah para pejabat tersebut, lantas “mendombreng” mereka untuk mempermalukannya di depan publik.


Pada periode revolusi interaksi sosial berubah lebih egaliter. Paling tidak terlihat dari sapaan “bung” menggantikan panggilan “bapak” atau gelar yang melambangkan rezim lama yang kolonial dan feodal. Maria Ullfah dan S.K. Trimurti diangkat jadi menteri, menandai zaman baru yang membedakan dari rezim kolonial-feodal yang patriarkis. Kendati struktur masyarakat belum serta merta berubah total, ada semangat bersama untuk menciptakan masyarakat Indonesia baru yang lebih setara, gotong-royong dan bebas, senapas dengan semboyan revolusi Prancis “Égalité, Fraternité, Liberté”.


Masa awal kemerdekaan, banyak pejabat publik yang hidup dalam kesahajaan. Menjalani hidup sebagai pegiat politik pada bangsa yang baru bebas dari penindasan kolonialisme, bukanlah profesi yang menggiurkan dari sisi ekonomi. Memimpin adalah jalan penderitaan, leiden is lijden, kata pepatah Belanda yang sering dikutip Haji Agus Salim.


Tapi tentu semua itu tak bisa di-copy-paste mirip seratus persen pada era kini. Situasi banyak berubah. Namun, harapan perbaikan selalu ada. Birokrasi dituntut bekerja secara modern dengan sistem merit yang lebih jelas. Begitu pula para pejabat publiknya. Pada kala banyak orang menggantungkan harapan yang begitu tinggi, anak-anak muda pergi ke jalan, memprotes gaya hidup para pejabat publik.


Tak jarang pula terbaca kritik melalui media sosial soal iring-iringan pejabat dikawal voorijders polisi yang bikin repot pengendara lain di jalanan yang macet seperti di Jakarta. Belum lagi gaya hedon yang dipertontonkan secara gamblang melalui konten di berbagai platform media sosial. Dan semua itu terjadi pada saat 80 tahun kemerdekan Indonesia dan 27 tahun semenjak reformasi bermula pada 1998.


Setelah peristiwa yang terjadi pada beberapa anggota DPR baru-baru ini, mungkin kini saat yang tepat untuk menghentikan jarum jam kehidupan di masa lalu: di mana para pembesar negeri pernah hidup terpisah dari rakyatnya, para adipati menempuh perjalanan disertai iring-iringan yang berlebihan, hidup bergelimang kemewahan dari setoran upeti perasan keringat buruh kebun kopi dan memancarkan sikap sok penting guna mensakralkan diri dalam jabatannya.*


Tulisan ini juga otokritik bagi penulis yang kini menjabat sebagai Anggota DPR RI Fraksi PDI Perjuangan 2024-2029.

Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian
Memori dan Hegemoni

Memori dan Hegemoni

Pengajaran sejarah sebagai indoktrinasi berdampak fatal pada cara berpikir sebagian besar masyarakat. Ingatan kolektif masyarakat didominasi oleh ingatan resmi rezim Orde Baru.
Sebuah Pledoi untuk Snouck

Sebuah Pledoi untuk Snouck

Lorong Zaman Sebuah Pledoi untuk Snouck
Seputar Persoalan Eksil

Seputar Persoalan Eksil

Lorong Zaman Seputar Persoalan Eksil
Pertandingan

Pertandingan

Lorong Zaman Pertandingan
Lebaran

Lebaran

Bagi umat muslim di Indonesia, lebaran adalah festival kultural tahunan yang paling meriah yang menyatukan segala perbedaan: golongan, bahasa, etnis, ras, dan bahkan perbedaan agama.
bottom of page