- Bonnie Triyana
- 20 Okt
- 2 menit membaca
PENULISAN sejarah seringkali sesuai dengan rezim apa yang sedang berkuasa. Dalam sebuah zaman di saat rezim otoriter berkuasa, sedikit saja ruang bagi para sejarawan untuk menulis sejarah dengan bebas, terlebih dalam tema-tema yang membahas masa lalu sang penguasa.
Sejarah Peristiwa 1 Oktober 1965 misalnya, selama bertahun-tahun ditulis dan diajarkan secara sepihak dengan menggunakan versi penguasa. Versi lain di luar yang dianggap versi resmi, tak pernah diajarkan bahkan terkesan ditutup-tutupi. Pengetahuan sejarah mengenai Peristiwa 1 Oktober 1965 hanya membahas pembunuhan para jenderal tanpa pernah menyinggung pembunuhan terhadap ratusan ribu kaum komunis.
Pengajaran sejarah yang lebih berfungsi sebagai indoktrinasi berdampak fatal pada cara berpikir sebagian besar masyarakat. Ingatan kolektif masyarakat didominasi oleh ingatan resmi rezim Orde Baru. Fakta sejarah disortir, konstruksi masa lalu dibentuk berdasarkan kebutuhan untuk melegitimasi dan mempertahankan kekuasaan.
Selama puluhan tahun sejarah diajarkan dalam berbagai cara, mulai di kelas sampai ke gedung bioskop, tempat di mana film-film bernuansa propaganda diputar di hadapan masyarakat. Kebencian terhadap komunis semakin tebal dengan unsur sentimen keagamaan di dalamnya: “Yang Amoral, Yang Atheis” kata Taufiq Ismail dalam puisinya yang dibacakan pada sebuah talkshow salah satu televisi swasta di Jakarta.
Efek dari pengajaran sejarah yang sepihak adalah pengabaian terhadap segala bentuk kekerasan dan kejahatan kemanusiaan yang terjadi pada sepanjang tahun 1965–1969. Bahkan pula menghasilkan sikap mewajarkan pembunuhan massal sebagai balasan setimpal atas apa yang dilakukan PKI pada 1948 dan pada 1 Oktober 1965.
Cara pandang terhadap komunisme itu sepenuhnya dibentuk oleh narasi ciptaan Orde Baru, yang dalam beberapa aspek persis dengan cara pandang negatif sebagian orang Barat terhadap Islam hanya karena melihat tayangan video ISIS memenggal kepala sanderanya. Sehingga tak menyisakan sedikit pun ruang pemahaman yang lebih berimbang terhadap tema-tema sejarah tersebut.
Bahkan, pengungkapan sejarah mengenai pembunuhan massal yang terjadi pada 1965–1966 pun selalu dikait-kaitkan dengan isu kebangkitan komunis. Malah para peneliti serta sejarawan yang terlibat dalam penelitian tema tersebut hampir selalu dituduh sebagai antek PKI, paling tidak sebagai pembela kaum komunis.
Tuduhan tersebut dapat kita lihat dari pernyataan mantan Wakil Presiden Try Sutrisno yang mengatakan, “Gerakan PKI gaya baru ini mencoba merusak pikiran anak-anak muda yang tak paham sejarah. Mereka berupaya memutarbalikkan fakta dengan menyebut PKI sebagai korban kekejaman Pemerintah Orde Baru,” jelasnya seperti dikutip dari tribunnews.com.
Pernyataan itu tentu mengarah kepada usaha pengungkapan sejarah 1965–1969 yang marak semenjak kejatuhan Soeharto pada 1998 lampau. Banyak penelitian sejarah berhasil mengungkapkan apa yang terjadi di daerah setelah peristiwa 1 Oktober 1965 di Jakarta.
Penulisan sejarah itu juga dibarengi dengan upaya penegakkan keadilan terhadap para korban dan penyintas yang selama bertahun-tahun dibungkam dan mengalami diskriminasi oleh negara. Bukan hanya pada mereka yang dibantai sepanjang tahun 1965–1966, tapi juga kepada mereka yang pernah mengalami kekerasan dari negara semasa Orde Baru berkuasa.
Penulisan sejarah pada akhir-akhir ini sebenarnya mengalami kemajuan pesat. Banyak penelitian-penelitian dilakukan oleh para sejarawan dan peneliti sejarah. Tema-temanya pun beragam, merentang mulai dari tema Islam sampai dengan sejarah gerakan kiri di Indonesia. Hanya dalam iklim demokratis hal ini bisa terwujud.
Namun, belakangan ini situasi penuh kecurigaan, khususnya terhadap pengungkapan sejarah peristiwa 1965–1966, itu tentu saja tidak baik bagi perkembangan ilmu pengetahuan sejarah. Padahal, riset-riset yang mengungkapkan masa lalu secara faktual mutlak dibutuhkan agar masyarakat bisa belajar sejarah secara jujur dan bersedia mempelajari kesalahan masa lalu supaya tak terulang lagi di masa kini dan masa depan.*
Majalah Historia Nomor 26, Tahun III, 2015













Yg diungkap sbg pembunuhan massal, adlh thdp PKI...
Lha terus pembunuhan massal & sangat keji oleh PKI thdp Ulama, santri, membakar pesantren serta membuang Qur'an ke closet, kok gak diungkit...?
Anda waras...?
Atau anda anak cucu PKI...?
Masa PKI bunuhin ulama dan santri belum ditulis??