- Aryono
- 27 Jan 2019
- 3 menit membaca
SENJA menghampiri Jakarta. Sepi melanda. Jalan silang Monumen Nasional (Monas), yang biasanya ramai lalu lalang kendaraan, mendadak senyap. Maklum, hari itu, 1 Oktober 1965, Kodam V/Jaya selaku Penguasa Pelaksana Perang Daerah memberlakukan jam malam mulai pukul 18.00 sampai 06.00.
Pasukan baret merah dari Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) mengendap mendekati gedung , di seberang Monas. Mata mereka nyalang. Setiap personelnya memegang senjata dalam posisi .
Di dalam gedung , pelukis Sudjojono tengah menemani istrinya, Rose Pandanwangi, yang sedang bernyanyi diiringi pianis Narto. Rose santai menyenandungkan suara soprannya tanpa tahu apa yang tengah terjadi di luar. Malam itu,dianyanyi di namun tidak disiarkan. Setelah usai, mereka pulang naik Ford warna hitam ke Pasar Minggu.
“Orang-orang RRI heran kami berani, tetapi kami lebih heran lagi, sebab tidak tahu apa-apa. Kami selamat pulang sampai Pasar Minggu,” ujar Sudjojono dalam otobiografinya .
Rose Pandanwangi diuji dalam suasana , tahun yang menyerempet bahaya. Dan tentu, dia lulus.
Rose Pandanwangi lahir dengan nama Rosalina Wilhelmina Poppeck pada 26 Januari 1929 di Makassar. Ayahnya berdarah Jerman, bernama Gustav Poppeck dan ibunya, Sara Elizabeth Pondt Supit, keturunan Spanyol dan Manado.
Sejak kecil, Rose sudah digembleng olah vokal dan berlatih piano. Beranjak dewasa, dia dikirim orangtuanya ke Belanda untuk meneruskan sekolah, sebab keadaan di Indonesia tak kunjung membaik. Dia menikah dengan Yahya Sumabrata, mahasiswa kedokteran di Rijks Universiteit-Utrecht. Dia pun mengasah olah vokalnya.
Setelah lima tahun di Belanda,Rose kembali ke Indonesia pada 1952. Kualitas vokal dan teknik bernyanyinya dianggap mumpuni untuk dikirim ke Festival Pemuda ke-4 di Bukares, Hongaria. Rose kemudian menjadi penyanyi seriosa Indonesia pertama yang tampil di panggung internasional.
“Ibu Rose Pandanwangi adalah soprano pertama di dunia musik klasik yang dimiliki Indonesia,” kata pianis Ananda Sukarlan dalam acara konferensi pers “Kisah Mawar: 90 Tahun Rose Pandanwangi untuk Seriosa dan Keroncong” (24/01).
Nama Pandanwangi pemberian pelukis Sudjojono, suami keduanya. Dan nama Rose Pandanwangi pun dipakai dalam beragam kontes vokal. Pada 1958, tulis Sori Siregar dalam Kisah Mawar Pandanwangi, nama ini dipakai pertama kali sebagai peserta Pemilihan Bintang Radio. Dia menyabet juara kedua Bintang Radio Jenis Seriosa daerah Jakarta Raya.
“Ibu Rose ini dulu banyak menyanyikan karya seriosa yang berangkat dari karya sastra,” sambung Ananda Sukarlan. Sejak 1953, sebagai pengisi acara , Rose terus berkiprah dalam gelanggang seriosa Indonesia. Dia menjadi pengisi acara konser musik klasik hingga opera sampai tahun 1990-an. Genap berusia 65 tahun pada 1994, dia menggelar konser perpisahan (afscheids concertbersama pianis Sunarto Soenaryo di gedung Erasmus Huis.
Pada 27 Januari 2019, Rose akan merayakan ulang tahun ke-90. Yang menggembirakan, dia akan kembali menampilkan suara soprannya.
“Ibu akan menyanyikan dua lagu, dan diiringi pianis Lani Sihombing (Oinieke Lani Sihombing Palar,) dalam acara itu,” ujar Mariano Dara Putih atau Maya Sudjojono, anak bungsu Sudjojono-Rose.
Maya punya cerita menariksoal namanya. Dulu, saat Maya masih dalam kandungan, Sudjojono berencana memberi nama bungsunya ini Mariano Planet Gompal. Nyentrik, tapi anak pertama Rose dan Yahya Sumabrata yang bernama Sara, tak setuju. Saat si bungsu akan lahir, Sudjojono ditemani Sara bermobil menuju rumah sakit. Sara menceritakan mimpinya bertemu burung dara (merpati) berwarna putih. Sudjojono pun menamai anak bungsunya Mariano Dara Putih.
Juara 1 Bintang Radio Daerah Jakarta Raya tahun 1959 ini dipastikan berseriosa pada acara ulang tahunnya di gedung teater Ciputra Artpreneur. Ciputra Artpreneur Theater dipilih selain akustik ruangan yang bagus jugakarena keluarga Sudjojono dekat dengan Ciputra.
Pada 1985, tulis Alberthiene Endah dalam , Ir. Ciputra-lah yang “mendamaikan” tiga maestro lukis Indonesia: Sudjojono, Affandi, dan Basuki Abdullah. Selain itu, Ciputra juga mengoleksi beberapa karya Sudjojono, salahsatunya lukisan “Ada Terang di Wajahmu” yang dilukis Sudjojono tahun 1969.
“Ayah saya berkenalan dengan Pak Sudjojono sudah lama sekali. Ada beberapa lukisan beliau yang kami koleksi. Maka ketika mendengar ada acara ulang tahun Ibu Rose, kami menyediakan tempat disini,” ujar Rina Ciputra Sastrawinata, managing director Ciputra Group, di Marketing Gallery Artpreneur lantai 11-Ciputra World 1.
Memang, musik seriosa semakin langka atau jika tak ingin dikatakan mandeg. Kemandegan ini, dalam buku , dimulai sejak akhir 1970-an karena tidak ada karya baru dan tidak ada seniman baru seperti pada awal pertumbuhannya tahun 1950-an.
Seriosa yang disamakan dengan atau “nyanyian cantik”, menurut Yapi Tambayong atau Remy Sylado dalam , memiliki beberapa syarat diantaranya frasa yang diucapkan sempurna; artikulasinya jernih; fonetikanya terang; sistem pernapasan sesuai kaidah kesehatan; menganut metode “suara seni” yang bukan sekadar “seni suara”.
“Memang, genre musik yang dipilih Ibu Rose Pandawangi ini bukan yang arus besar seperti pop yang pengikutnya berjuta-juta, namun inilah musik yang mengikuti tradisi tinggi, yang tidak hanya di Indonesia namun juga di luar negeri,” kata Ninok Leksono, rektor Universitas Multimedia Nusantara.
Menjaga suara di usia 90 tahun memang tak mudah. Dibutuhkan keuletan dan ketekunan untuk menjaganya.
“Ya setiap minggu, bisa Kamis atau Jumat, Ibu ke Bogor untuk latihan vokal. Itupun biasanya gak lama, sejam saja. Dan Ibu enggak pernah minum ramuan untuk menjaga suara, apa adanya saja,” kata Alexandra Pandanwangi, putri sulung Sudjojono dan Rose.










Komentar