- Randy Wirayudha
- 23 Apr
- 7 menit membaca
SEHARI selepas Minggu Paskah, umat Katolik di segenap penjuru dunia justru dirundung duka. Paus Fransiskus wafat di kediamannya di Domus Sanctae Marthae, Vatikan, pada Senin (21/4/2025) pagi waktu setempat di usia 88 tahun. Paus Fransiskus selama ini punya rekam jejak medis mengidap infeksi pernafasan dan pneumonia, namun ia menghembuskan nafas terakhir setelah mengalami stroke yang menyebabkan jantungnya berhenti mendadak.
Hingga tulisan ini dimuat, Gereja Katolik belum menentukan kapan Paus Fransiskus akan dimakamkan meski sudah dipastikan mendiang akan dikebumikan di Basilika Kepausan Santa Maria Maggiore di kota Roma, Italia, sesuai wasiat Paus Fransiskus. Dengan begitu, mendiang Fransiskus jadi Paus kedua yang dimakamkan di luar Vatikan setelah Paus Leo XIII yang wafat pada 20 Juli 1903. Gereja Katolik juga belum menentukan penggantinya karena Konklaf Kepausan lazimnya baru menggelar pemilihan pemimpin Gereja Katolik antara H+15 atau H+20 setelah wafatnya Paus lama.
Paus Fransiskus dicintai miliaran orang. Tidak hanya sekitar 1,4 miliar umat Katolik tapi juga umat-umat non-Katolik karena ia punya pandangan yang berbeda dari para pendahulunya yang cenderung konservatif. Paus Fransiskus berpandangan liberal dan progresif sehingga berbeda dalam melihat dan merespon aneka isu kemanusiaan di dunia. Dari persoalan kaum LGBTQIA+ yang termarjinalkan di banyak negara, penderitaan kaum imigran, nestapa penduduk Ukraina akibat serangan Rusia, hingga derita penduduk Palestina oleh genosida Israel.
Beberapa waktu hingga menjelang akhir hayatnya, Paus Fransiskus nyaris tak pernah lupa mendoakan penduduk Palestina yang bertubi-tubi digempur militer Israel sejak Oktober 2023. Pasalnya, banyak korbannya adalah anak-anak dan perempuan sehingga membuat geram Paus Fransiskus. Gereja Santo Porphyrius, Biara Misionaris Charitas, hingga Rumahsakit Baptis Al-Ahli di Gaza pun tak luput dari hantaman aneka senjata Israel bikinan Amerika Serikat.
“Saya terus menerima kabar yang serius dan menyakitkan dari Gaza. Warga sipil tak bersenjata jadi korban pemboman dan penembakan. Bahkan ini terjadi di dalam kompleks paroki, di mana tidak ada teroris, melainkan keluarga, anak-anak, pasien dan para difabel, para suster. Seorang ibu, Nyonya Nahida Khalil Anton dan putrinya Samar Kamal Anton, terbunuh dan yang lain terluka oleh para penembak jitu. Beberapa orang bilang, ‘ini terorisme, ini perang.’ Ya, inilah perang. Ini terorisme. Oleh karenanya kitab suci menegaskan bahwa, ‘Tuhan menghentikan peperangan...mematahkan busur panah, menumpulkan tombak.’ (Mazmur 46:10). Marilah kita berdoa pada Tuhan demi perdamaian,” cetus Paus Fransiskus di sela Doa Angelus, disitat Vatican News, 17 Desember 2023.
Di sela-sela doa dan pesannya menjelang Natal 2023 dan 2024, Paus Fransiskus juga tak pernah luput mendoakan para korban sipil Palestina. “Kemarin mereka (Israel, red.) tidak mengizinkan Patriark (Yerusalem) pergi ke Gaza seperti yang sudah dijanjikan. Kemarin, anak-anak dibom. Ini kekejaman, ini bukan perang. Saya ingin mengatakannya karena kabar ini sangat menyentuh hati saya,” katanya pada 21 Desember 2024, dilansir Palestine Chronicles, Senin (21/4/2025).
Bahkan beberapa waltu menjelang wafatnya, Paus Fransiskus masih mengharapkan terciptanya perdamaian yang ia sampaikan pada 23 Maret dan pada Minggu Paskah. “Saya mengungkapkan kedekatan kepada penderitaan umat Kristiani di Palestina dan Israel dan semua orang Israel dan orang Palestina. Meningkatnya iklim anti-semit di seluruh dunia sungguh mencemaskan. Di saat yang sama, saya memikirkan penduduk Gaza dan khususnya komunitas Kristiani, di mana konflik yang mengerikan terus menimbulkan kematian dan kehancuran dan menciptaskan situasi menyedihkan dan dramatis,” katanya pada pesan Minggu Paskah, dikutip BBC, Minggu (20/4/2025).
Bergoglio Muda dan Masa Kelam Junta Militer
Sebagai pemimpin Gereja Katolik periode 2013-2025, Paus Fransiskus tercatat jadi Paus pertama yang lahir di luar Eropa sejak 12 abad terakhir. Yang pertama adalah Paus Gregorius III, yang memimpin Gereja Katolik periode 731-741 Masehi. Paus Gregorius lahir di Bilal al-Sham, Kekhalifahan Umayyah (kini Suriah).
Paus Fransiskus lahir dengan nama Jorge Mario Bergoglio di Flores, sebuah barrio (distrik kelas pekerja) di tengah Buenos Aires, Argentina pada 17 Desember 1936. Ia anak sulung dari lima bersaudara yang dilahirkan pasangan imigran Italia, Regina María Sívori dan Mario José Bergoglio. Mereka mengungsi ke Argentina pada 1929 karena Italia sudah berada dalam cengkeraman rezim fasis pimpinan Benito Mussolini.
Seperti juga dua pendahulunya, Paus Yohannes Paulus II (memimpin 1978-2005) dan Paus Benediktus XVI (memimpin 2005-2013), Paus Fransiskus alias Bergoglio sudah jatuh cinta pada sepakbola sejak kecil. Club Atlético San Lorenzo de Almagro adalah klub domestik yang paling diidolakannya. Kelak saat sudah menjadi Paus dan San Lorenzo menjuarai turnamen Copa Libertadores 2014, ia mengundang segenap anggota tim dan ofisial ke Vatikan. Paus Fransiskus dihadiahi replika trofinya dan sarung tangan kiper milik Sebastian Torrico.
Kecintaannya pada San Lorenzo bukan tanpa alasan. Klub itu didirikan atas gagasan Pastor Lorenzo Massa di Distrik Almagro pada 1 April 1908 untuk mewadahi anak-anak yang sebelumnya bermain sepakbola di jalan. Nama klubnya pun didedikasikan untuk menghormati pastor yang juga imigran Italia tersebut. Namun, Bergoglio kecil tak bisa menjadikan sepakbola sebagai jalan hidupnya.
“Seperti anak-anak seusianya di distrik (Flores), Bergoglio anak yang sopan, cerdas, dan memiliki rasa humor yang tinggi, yang senang bermain sepakbola dengan teman-temannya. Namun sebagai anak tertua ia sangat bertanggung jawab dan harus giat belajar. Keluarganya juga tidak miskin tetapi karena ada banyak anggota keluarga –ia punya empat adik, Óscar Adrián, Marta Regina, Alberto Horacio, dan María Elena– ekonomi keluarga mereka terbatas dan mesti berhemat,” ungkap Elisabetta Piqué dalam Pope Francis: Life and Revolution.
Pada masa remaja, Bergoglio muda mengenyam pendidikan teknik kimia di Sekolah Menengah Teknik di Escuela Técnica Industrial No. 12 “Hipólito Yrigoyen”. Dengan menjalani program teknik industri tambahan, Bergoglio lulus dengan menggenggam ijazah título teknik kimia yang setara dengan diploma sarjana muda. Tetapi industri kimia pun bukan jalan hidupnya karena pada usia 21 tahun setelah beberapa lama bekerja di Laboratorium Hickhetier-Bachmann, Bergoglio terdiagnosa pneumonia dan kista paru-paru. Pada akhirnya di suatu hari di perayaan musim semi 1958, Tuhan seolah membukakan jalan menuju gereja dan ilmu agama pada Bergoglio muda.
“Bergoglio mendapatkan panggilannya saat hendak ke Perayaan Musim Semi dan lewat sebuah gereja. Ia masuk ke gereja itu untuk melakukan pengakuan dosa dan terinspirasi dengan sang pastor,” tulis Helládio Holanda dalam O Papa Do Povo!: Papa Francisco.
Bergoglio muda di usia 22 tahun memantapkan diri untuk masuk Seminari Inmaculada Concepción. Tentu ia paham konsekuensinya bahwa seorang agamawan Katolik harus siap selibat atau menjalani hidup dengan tidak menikah. Namun sebelum lulus dan resmi menjadi seorang Yesuit pada 1960, ia mengaku sempat kesulitan mengusir pikiran seorang gadis yang ia cintai.
“Ketika saya masih di seminari, saya pernah terkesima oleh seorang gadis yang saya temui di sebuah pernikahan paman saya. Kecantikan dan kecerdasannya membuat saya terkejut. Dalam arti kata, kadang saya bingung karena ia selalu hadir dalam pikiran saya. Ketika saya kembali ke seminari setelah acara pernikahan itu, saya tak bisa berdoa khusyuk seminggu penuh karena gadis ini terus muncul di kepala saya. Memang saya bisa saja pulang karena saya masih siswa seminari dan masih bisa bebas. Namun akhirnya saya memilih jalan agama – atau mungkin saya membiarkan diri saya dipilih Tuhan,” kenang Paus Fransiskus dikutip Piqué.
Dengan memilih jalan sebagai Yesuit, setidaknya pintu akademik pendidikan tinggi terbuka lebar baginya. Tidak hanya bisa melanjutkan studi filosofi di Colegio Máximo de San Jose, Bergoglio muda bisa melanjutkannya ke studi teologi di Facultades de Filosofía y Teología de San Miguel. Bergoglio juga tak ketinggalan menjalani pengabdian sebagai Yesuit di Chile, Spanyol, hingga Yerusalem, meski ziarahnya ke Yerusalem tak bisa berlangsung dengan lama sebagaimana keinginannya karena saat itu tengah berkecamuk Perang Yom Kippur (6-25 Oktober 1973). Kelamnya perang dan konflik nyatanya juga ia alami di negerinya sendiri.
Periode 1974-1983 Argentina didera Guerra sucia atau Perang Kotor sebagai periode kelam junta militer pimpinan Jorge Rafael Videla yang menimbulkan korban jiwa sekira 22-30 ribu nyawa. Videla dengan rezim sayap kanannya dengan brutal memburu dan menghabisi setiap kelompok kiri dan mereka yang dituduh sebagai simpatisannya tanpa pandang bulu, termasuk kalangan pastor Yesuit. Masa-masa pahit itu selalu menghantui Bergoglio, bahkan ketika kelak Bergoglio sudah menjadi Uskup Agung Buenos Aires dan menjadi Paus.
Bergoglio sudah menjadi Pastor Provincial di masa itu dan rezim junta militer sempat menculik dua koleganya, Pastor Yesuit Orlando Yorio dan Franz Jalics medio Mei 1976. Mengutip Amanda Lanser dalam Pope Francis: Spiritual Leader and Voice of the Poor, kedua pastor Yesuit itu diculik dengan tuduhan menyiarkan penentangan terhadap rezim. Mereka disiksa dalam penahanan berbulan-bulan sebelum akhirnya dilepaskan di dekat batas kota Buenos Aires.
Tidak sedikit kalangan masyarakat sipil menuding Bergoglio terlibat, baik secara langsung maupun tidak dalam penculikan itu. Ada yang menuduh Bergoglio secara langsung menyerahkan keduanya kepada aparat rezim maupun tuduhan Bergoglio sedikitnya tutup mata dan telinga karena dianggap enggan berusaha membebaskan keduanya.
“Setelah Perang Kotor, publik juga mengkritik Bergoglio karena gagal memimpin Ordo Yesuit untuk menentang dengan keras rezim diktator militer. Mereka mengklaim Bergoglio dan pihak gereja sebenarnya tahu tentang penculikan-penculikan dan kekerasan HAM oleh pemerintah tetapi tidak melakukan apapun untuk memprotes. Perdebatan tentang keterlibatan Bergoglio dan gereja terus diungkit sampai Bergoglio terpilih menjadi Paus,” tulis Lanser.
Bergoglio menyanggah segala tuduhan itu. Dalam pembicaraannya dengan jurnalis Argentina, Sergio Rubin menjelang Konklaf 2013 – yang kemudian dibukukan dalam El Jesuita: Conversaciones con el Cardenal Jorge Bergoglio, Bergoglio menyingkap beberapa hal yang justru tak banyak diketahui orang. Bahwa semasa Perang Kotor, ia dan beberapa rekan pastor lain berusaha menyembunyikan orang-orang yang diburu aparat secara diam-diam di sejumlah kompleks gereja. Bahkan beberapa di antaranya ia bantu untuk kabur ke luar Argentina.
Pastor Jalics juga mengonfirmasinya, bahwa Bergoglio bukanlah orang yang bertanggungjawab atas tindakan aparat menculik dirinya dan Pastor Yorio. Presiden Mahkamah Agung Argentina Ricardo Lorenzetti juga menyatakan Bergoglio tidak bersalah dan segala tuduhan tidaklah berdasar.
Terlepas dari itu, Bergoglio terus menapaki jalan gereja hingga menjadi uskup pada 1992 dan menjadi kardinal mulai 2001. Kardinal Bergoglio dikenal sebagai sosok agawaman yang berbeda dari banyak koleganya, sebagai figur dengan gaya hidup sederhana dan dengan pandangan liberal dan reformis. Tak ayal pada Konklaf 2005 untuk menentukan suksesor mendiang Paus Yohanes Paulus II, ia jadi salah satu kandidat terkuatnya walaupun kemudian yang terpilih adalah Kardinal Joseph Alois Ratzinger yang kemudian memilih nama Paus Benediktus XVI.
Bergoglio pun terus mengabdi sebagai kardinal walau dalam beberapa kesempatan, kerap berbeda pendapat dengan Paus Benediktus XVI yang cenderung konservatif, mengingat latar belakangnya dari Ordo Yesuit yang sepanjang sejarah juga kerap berlainan argumentasi soal banyak hal dengan Takhta Suci Vatikan. Beberapa di antara perbedaan pandangannya adalah Bergoglio acap memberi saran agar Gereja Katolik untuk tidak kaku dalam menjawab banyak perubahan zaman. Agar Gereja Katolik mau lebih dekat dengan kehidupan umatnya, khususnya mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan.
“Kardinal Bergoglio dikenal dengan pribadinya yang rendah hati dan berkomitmen pada keadilan sosial. Gaya hidupnya sangat sederhana, termasuk tinggal di sebuah apartemen kecil ketimbang menikmati kediaman yang elegan. Ia juga gemar menggunakan transportasi umum dan memasak makanannya sendiri. Ia sering membatasi diri bepergian ke Roma (Vatikan, red),” ungkap Rubio.
Meski begitu secara pribadi, Kardinal Bergoglio dan Paus Benediktus XVI tetap berhubungan baik. Maka setelah Paul Benediktus XVI memutuskan mengundurkan diri pada 2013, pada pemungutan suara yang kelima dalam Konklaf 2013, Kardinal Bergoglio terpilih sebagai suksesor sekaligus Paus pertama yang punya latar belakang Ordo Yesuit. Ia memilih nama “Fransiskus” yang diambil dari nama tokoh Santo Fransiskus Assisi.
“Saya ingin Gereja untuk orang-orang miskin, itu alasannya saya memilih nama Fransiskus dari (Santo) Fransiskus Assisi, seorang tokoh pecinta damai, sosok yang mencintai Sang Pencipta karena hari ini kita tidak punya hubungan yang baik dengna Sang Pencipta. Dalam pemungutan suara (di konklaf) saya ingat (Kardinal) Cláudio Hummes memeluk saya dan mengatakan: ‘jangan lupakan kaum miskin’. Lalu saya teringat dengan kemiskinan, peperangan, dan Santo Fransiskus Assisi. Maka saya memutuskan mengambil nama itu,” tukas Paus Fransiskus, dikutip Leo Lyon Zagami dalam Pope Francis: The Last Pope?*
Commenti