- Hendi Jo
- 13 Agu 2021
- 5 menit membaca
RABU, 18 Agustus 1948. Harian Haarlems Daagblaad mengabarkan suatu berita dari tanah Jawa: tiga anggota kelompok Bamboe Roentjing, masing-masing bernama Soetjipta, Satibi dan Oemang, telah divonis mati oleh Pengadilan Sipil Hindia Belanda di Bogor. Vonis yang jatuh pada 17 Agustus 1948 itu, telah dijatuhkan berdasarkan aksi kriminal yang telah dilakukan oleh ketiganya di wilayah Cianjur selama 1947—1948.
“Mereka bertiga telah melakukan pembunuhan terhadap orang-orang yang dianggap sebagai kaki tangan NICA (Pemerintah Sipil Hindia Belanda), secara langsung maupun tidak langsung,” tulis media yang berpusat di Haarlem, Belanda itu. Siapakah tokoh Soetjipta?
Tidak seperti pihak Belanda, orang-orang Cianjur justru menganggap Soetjipta sebagai seorang pejuang. Hal itu dibuktikan dengan penyematan namanya untuk satu ruas nama jalan di pusat kota Cianjur. Sayangnya, jalan yang ketika diresmikan sekira tahun 1950-an tersebut bernama Jalan A. Soetjipta, kini telah berganti menjadi Jalan Adi Sucipta.
Kesalahkaprahan itu bukannya tidak pernah ada yang membetulkan. Menurut Rahmat Purawinata, saat masih bertugas sebagai anggota DPRD Kabupaten Cianjur pada 1990-an, dirinya pernah mengingatkan soal tersebut ke pihak Pemkab Cianjur dan langsung dituruti dengan mengganti secepatnya nama jalan tersebut dengan Jalan A. Sucipta. Namun begitu ia berhenti dari anggota DPRD Kabupaten Cianjur, nama jalan tersebut balik lagi ke nama asalnya yang salah: Jalan Adi Sucipta.
“Saya sendiri sampai sekarang tidak tahu apa yang menjadi penyebab berubahnya kembali nama jalan itu,” ujar Rahmat.
*
Menurut Mahkun Cipta Subagyo (75), selama 1942—1948, Soetjipta (lengkapnya adalah Asmin Soetjipta alias Aswin) tinggal di Desa Cisarandi (masuk dalam wilayah Kecamatan Warungkondang) dan menjadi guru di Landbouwschool (sekolah pertanian setingkat SMP) Bojongkoneng. Di tengah kesibukannya sebagai seorang guru, Asmin bersahabat dengan Muhammad To’ib Zamzami, Lurah Desa Cisarandi kala itu.
“Begitu lekatnya persahabatan itu, hingga Bapak menikahi Sitti Aisyah putri sang lurah, yang tak lain adalah ibu kandung saya,” ujar putra tunggal pasangan Soetjipta-Sitti Aisyah tersebut.
Soetjipta dikenal ahli bermain pencaksilat dan memiliki ilmu kanuragaan yang lumayan tinggi. Dengan keahliannya dan kedudukannya sebagai menantu lurah Cisarandi, tidak heran jika dia lantas dituakan dan dijadikan “jawara” penjaga keamanan desa yang terletak tepat di timur jalan raya Cianjur-Sukabumi tersebut.
Tahun 1945-1946, jalan raya di mulut Desa Cisarandi kerap dilewati oleh konvoi “pasukan ubel-ubel”. Itu nama julukan penduduk setempat untuk para serdadu Inggris dari kesatuan Jats, Rajputana dan Patiala yang berkebangsaan India. Rupanya, saat melewati Cisarandi itulah, para prajurit ubel-ubel sering bertindak semena-mena: mengganggu gadis-gadis desa dan merampoki harta benda penduduk Cisarandi.
Mengetahui desanya diganggu, Lurah To’ib meradang. Dia lantas mengajak Soetjipta untuk mengadakan perlawanan terhadap kesewenang-wenangan pasukan Inggris itu.
“Cipta, Abah tugaskan kamu cari senjata api ke kota ya?” ujar To’ib
“Buat apa, Bah?” Asmin malah balik bertanya.
“Buat nembakin itu tentara ubel-ubel. Abah sudah tidak tahan dengan prilaku mereka kepada rakyat kita”
“Oh…Mangga, Bah! Tiasa!”
Besoknya, pagi sekali Asmin sudah berangkat ke wilayah Cianjur kota dengan berjalan kaki. Ketika di Simpang Tiga, dekat Kampung Tangsi (sekarang menjadi Jalan A. Sucipta), dia berpapasan dengan beberapa serdadu Inggris. Tanpa banyak bicara dan dengan gerakan kilat, Soetjipta membekuk salah seorang prajurit yang berjalan paling belakang, melumpuhkannya lalu merampas senapan Lee Enfield milik prajurit itu.
Usai mendapatkan senjata, Soetjipta kabur ke arah jalur rel kereta api yang berada di sebelah timur Kampung Tangsi. Siraman timah panas sempat diarahkan kepadanya, namun karena kegesitannya, Soetjipta bisa lolos.
*
Atas keberhasilan menantunya mendapatkan senjata, Lurah To’ib tentu saja merasa bungah. Persoalan baru kemudian muncul saat tidak ada satu pun pemuda Cisarandi yang mahir mempergunakan senjata api. Namun Soetjipta tidak ambil pusing, dia lantas membawa senjata itu ke para pejuang dari Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo) kemudian meminta mereka untuk mengajarkannya. Dasar Soetjipta yang memang memiliki bakat bagus dalam menembak, hanya beberapa minggu dilatihd ia berhasil menguasai senjata buatan Inggris itu secara baik.
Soetjipta lantas menjadi seorang penembak runduk yang mumpuni. Berdasarkan keterangan Mahkun (berdasarkan cerita To’ib), dalam suatu penghadangan di jalan raya Sukabumi-Cianjur, Si Dukun (panggilan sayang Soetjipta untuk Lee Enfield pegangannya) pernah memakan nyawa 11 serdadu Inggris dari jarak sekitar 500 meter.
“Menurut kakek, waktu itu Bapak menembaki serdadu-serdadu tersebut dari balik pepohonan dan semak-semak secara berpindah di pinggir Sungai Cisarandi,” tutur Mahkun.
Sukses memimpin sejumlah penghadangan dan perampasan senjata, oleh anak-anak muda Cisarandi, Soetjipta lantas mendirikan unit laskar sendiri bernama Laspo (Laskar Pesindo) atau Bamboe Roentjing. Dia didapuk menjadi komandan dengan diberi pangkat kapten.
Kala para pejuang Republik aktif memerangi tentara Belanda yang berusaha kembali menguasai wilayah Indonesia pada 1946-1949, pasukan Bamboe Roentjing termasuk di dalamnya. Pada suatu penghadangan di wilayah Bojongkoneng, unit itu sukses menghabisi satu peleton KNIL (Tentara Kerajaan Hindia Belanda) dan merampas sejumlah senjata.
Tidak cukup dengan penghadangan, Soetjipta dan anak buahnya pun kerap melakukan operasi kecil-kecilan (diikuti hanya oleh 2-3 gerilyawan) ke wilayah kota Cianjur. Bersama sahabatnya bernama Poerawinata, Soetjipta pernah melakukan operasi agak nekad di wilayah jalan depan Pasar Bojongmeron.
Ceritanya, di suatu siang bolong, Soetjipta berpura-pura menjadi orang gila. Begitu bersisian dengan seorang serdadu Belanda yang tengah berjalan sendiri, Soetjipta langsung memukul kepala sang serdadu dengan botol kecap lalu merampas senjatanya. Senjata itu kemudian dilarikan oleh Poerawinata yang sudah siap sedia di sekitar tempat itu.
“Selain mengincar tentara Belanda, Bapak dan kawan-kawan juga kerap melakukan teror kepada para pengkhianat,” ungkap Mahkun.
Menurut Hadi, salah seorang eks anggota Bamboe Roentjing, aksi-aksi unit mereka itu tentu saja membuat gerah pihak militer Belanda. Bertruk-truk pasukan Belanda lantas dikirimkan ke Cisarandi. Namun alih-alih menemukan Soetjipta, yang ada mereka hanya mendapatkan sejumlah rumah kosong. Demi menumpahkan rasa kesalnya, maka dibakarlah markas unit Bamboe Roentjing itu, yang tak lain adalah rumah Lurah To’ib.
“Untuk mencegah kembalinya tentara Belanda, kami kemudian membom Jembatan Cisarandi,” ungkap Hadi yang saya wawancarai pada 2013.
*
Februari 1948, Divisi Siliwangi harus hijrah ke Jawa Tengah dan Yogyakarta. Namun keharusan itu tidak berlaku untuk sebagian kecil pejuang republik., termasuk Bamboe Roentjing. Mereka memilih tetap melawan militer Belanda dibandingkan harus berangkat hijrah.
Belum sebulan Divisi Siliwangi hijrah ke Jawa Tengah dan Yogyakarta, suatu hari tetiba Asmin menerima sepucuk surat yang ditandatangani oleh atasannya yakni S. Waluyo (Pimpinan Laskar Pesindo Sukabumi). Isinya: perintah agar seluruh unit Bamboe Roentjing pergi ke Sukabumi untuk berunding dengan pihak militer Belanda.
“Saat pemberangkatan, senjata harap diikat dalam satu kumpulan dan masukan ke truk,” demikian salah satu bunyi perintah itu.
Merasa yakin dengan surat yang ditandatangani oleh pimpinannya, Soetjipta lantas menuruti perintah surat tersebut. Dengan menggunakan beberapa truk milik KNIL, mereka kemudian diangkut ke Sukabumi. Ternyata mereka terkena tipu muslihat pihak intelijen Belanda. Alih-alih dibawa ke meja perundingan, Soetjipta justru langsung dijebloskan ke penjara sedangkan semua anggota pasukannya diperintahkan untuk bubar.
Ada suatu kejadian mengharukan, saat tipuan licik itu dijalankan oleh militer Belanda. Dua anak buah Soetjipta bernama Oemang dan Satibi menolak dipulangkan. Soetjipta sendiri sudah membujuk kedua anak muda itu untuk pulang kembali ke Cianjur, tapi mereka tetap bersikukuh ikut kemanapun komandan pergi.
“Maaf Pak, Bapak adalah komandan kami. Kami akan tetap bersama Pak Cipta, dalam kondisi apapun itu,” jawab salah seorang dari kedua anak muda tersebut. Akhirnya ketiga gerilyawan itu dibawa oleh militer Belanda ke Penjara Paledang, Bogor. Pertengahan Agustus 1948, Hakim Pengadilan Sipil Bogor yakni Mr. Cohen mengganjar mereka bertiga dengan hukuman mati.
*
Suatu pagi di akhir tahun 1948. Masih segar dalam ingatan Mahkun beberapa hari sebelum eksekusi mati dilaksanakan, dia yang saat itu masih bocah berumur 3 tahun, bersama sang ibu sempat mengunjungi Asmin di Penjara Paledang. Dalam pertemuan itu, Siti Aisyah menyerahkan sepasang pakaian putih yang dipesan sang suami untuk menghadapi maut.
“Saya ingat wajah Bapak terlihat tidak terawat: penuh dengan bulu. Tapi di mata saya hingga kini, dia terlihat tampan dan lembut dengan senyumnya yang tak pernah bisa saya lupakan seumur hidup,” kenang Mahkun.
Soetjipta dan Mahkun kecil sempat bercengkrama. Apapun diceritakan Mahkun sebagai bentuk rasa rindunya kepada sang ayah yang sudah berbulan-bulan tak pernah ditemuinya. Sesekali mereka berdua becanda.
Hingga tibalah waktu berpisah, komandan gerilya itu terlihat tak kuasa menahan rasa sedih: memeluk sekaligus menciumi istri dan putranya itu. Saat merangkul Mahkun, Soetjipta mendekap si kecil itu agak lama.
“Saya sempat menengadah dan melihat mata bapak terpejam tapi air matanya perlahan meleleh di kedua pipinya yang penuh bulu,” tutur Mahkun.
Asmin Soetjipta beberapa hari kemudian digiring ke Kampung Dereded. Di sanalah sang guru yang jago menembak itu, bersama Satibi dan Oemang bergegas menyambut maut. Di hadapan regu tembak, menurut para saksi yang mengisahkan kepada keluarganya, mereka berdiri dengan tabah dan gagah. Sebelum kemudian peluru-peluru itu menghabisi hidup mereka.*













Komentar