top of page

Sejarah Indonesia

...

Sudjojono Proklamator Seni Rupa Modern Indonesia

_

Oleh :
...
bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

...

Pelukis Sindudarsono Sudjojono hidup dalam empat zaman berbeda. Dari zaman kolonial Belanda, pendudukan Jepang, Orde Lama, hingga Orde Baru. Perannya dalam dunia seni rupa Indonesia juga cukup penting. Ia sudah menulis wacana-wacana seni rupa Indonesia sejak muda dan melahirkan gagasan seni rupa Indonesia modern.


Peneliti seni Aminudin TH Siregar dalam dialog sejarah “Seni dan Politik: Riwayat Sudjojono dan Karya-karyanya” di saluran Facebook dan Youtube Historia.id, Selasa, 21 Juli 2020, menyebut bahwa berkat perannya itu, Sudjojono diibaratkan sebagai proklamator seni rupa modern Indonesia.


“Pak Djon ini harus kita tempatkan sebagai, kalau dalam konteks politik, beliau itu seperti seorang proklamator. Beliau itu Sukarnonya seni rupa Indonesia. Dia yang pertama memproklamasikan keberadaan seni lukis Indonesia. Itu dia lakukan di tahun 1939,” kata Aminudin.


Menggantikan Mooi Indie


Tulisan-tulisan Sudjojono sejak 1939 terhimpun dalam buku Seni Lukis, Kesenian, dan Seniman yang terbit pada 1946. Buku ini kemudian menjadi rujukan para sejarawan untuk memahami konteks lahirnya seni rupa modern Indonesia. Lebih jauh, jika Raden Saleh didapuk sebagai pelopor, melalui manifestonya Sudjojono adalah proklamator.


Dalam tulisannya yang terbit dalam Majalah Keboedajaan dan Masjarakat pada Oktober 1939, Sudjojono mengimbau pelukis-pelukis Indonesia untuk tidak melukis dengan gaya mooi indie. Mooi indie sendiri kala itu tengah populer dan memiliki corak yang khas yang menggambarkan pemandangan Hindia Belanda yang molek.


Sebagai gantinya, laki-laki kelahiran Kisaran, Sumatera Utara pada 1913 ini menganjurkan para seniman fokus pada persoalan-persoalan kebangsaan. Tentang kesadaran bahwa saat itu rakyat berada dalam penjajahan.


“Sudjojono saat itu mengatakan bahwa kita harus keluar dari gaya ini (mooi indie). Itu menjadi sangat terkenal sekali karena tulisan ini seperti manifesto atau seperti proklamasi,” kata Aminudin.


Namun, menurut Aminudin, hal ini seringkali disalahpahami oleh para sejarawan. Banyak yang mengira Sudjojono memaksakan atau mengharuskan realisme. Padahal, Sudjojono justru menawarkan gagasan tentang bagaimana membangun corak seni lukis Indonesia baru.


Bukan Melawan Barat


Kesalahpahaman tenyata tak hanya sampai di situ. Aminudin menyebut bahwa seringkali mooi indie sendiri sering diidentikkan dengan seni rupa Barat. Hal ini kemudian memunculkan kesimpulan bahwa Sudjojono melawan seni rupa Barat. Menurut Aminudin, kesalahan awal para sejarawan ini disebabkan oleh pembacaan terhadap Sudjojono tanpa melihat konteks. Padahal, tiap tulisan Sudjojono yang berbeda-beda tahun terbitnya memiliki konteks masing-masing.


“Ada dua artikel ditulis di zaman Jepang. Itu sudah beda. Kemudian ada beberapa artikel ditulis di zaman Belanda. Satu artikel ditulis tahun 1946. Sudjojono sudah berubah cara berpikirnya. Nah, tapi sejarawan atau siapapun seringkali menyamaratakan, seakan-akan buku ini satu (bagian) sekaligus,” kata Aminudin.


Jika dibaca konteksnya, Sudjojono sendiri tidak pernah bermasalah dengan seni rupa Barat. Pasalnya, menurut Aminudin, seniman Indonesia saat itu tidak bisa memberikan alternatif artistik untuk melawan seni lukis Barat atau Eropa yang dominan di Hindia Belanda khususnya Batavia saat itu.


“Melawan dengan apa? Melawan dengan gambar wayang? Nggak mungkin. Sudjojono nggak mau itu. Sudjojono itu nggak mau banget menggambar wayang. Dia justru megatakan bahwa keindonesiaan dalam seni lukis hanya bisa dihasilkan dengan cara kita mempelajari Barat,” kata Aminudin.


Menangkap Modernitas


Sudjojono menegaskan bahwa dengan mempelajari Barat, seniman Indonesia akan memahami apa itu Timur. Sementara itu, menganggap Timur itu otentik justru akan berbahaya.


Kala itu, seringkali seniman-seniman Barat di Batavia mendatangi museum untuk melihat karya-karya seni Nusantara dan menjadikannya inspirasi. Hal ini yang juga ditentang Sudjojono jika dilakukan oleh seniman-seniman Indonesia. Menurutnya, meski karya-karya itu warisan kesenian Indonesia, perlu adanya kekinian sebagai representasi zaman.


“Kekontemporeran kita itu hanya bisa didapat, kata dia, kemodernan kita itu kalau kita melihat realitas itu sendiri. Apa realitas itu, yaitu kata dia, para pemuda yang ada di jalanan, sepatu orang kaya, mobil. Itu scenery modern saat itu di Hindia Belanda. Itulah kemodernan yang mau dia tangkap,” kata Aminudin.


Visi modernitas itu kemudian juga dibarengi dengan semangat belajar yang tak membedakan mana Barat dan Timur. Aminudin mencontohkan, dalam lukisan yang berjudul Cap Go Meh, Sudjojono terpengaruh oleh lukisan Carnival in Flanders dan Intrigue karya pelukis Belgia James Ensor. Kedua lukisan Ensor itu pernah dipamerkan oleh kolektor Maurice Raynal antara tahun 1935 hingga 1940-an di Kunstkring, Batavia.


“Dia (Sudjojono) melihat pameran itu dan kemudian dia mencoba meramu. Saya kira itu yang dia bilang, kita jangan segan-segan belajar sama Barat untuk menemukan ini (identitas) kita,” kata Aminudin.


Sudjojono juga percaya, tema-tema yang diangkat oleh pelukis Barat akan tetap berbeda jika dibuat oleh pelukis-pelukis Indonesia. Hal inilah yang terlihat dalam lukisan Cap Go Meh yang dilukis dengan cara dan warna khas Sudjojono sendiri.


Sudjojono juga mengagumi pelukis Jerman, Marc Chagall. Lukisan Sudjojono berjudul Di Depan Kelambu Terbuka disebut Aminuddin terinspirasi secara artistik dari lukisan Bella in Green karya Chagall.


Modernitas yang ditawarkan Sudjojono serta anjurannya untuk belajar dari Barat agar dapat menemukan identitas seni lukis Indonesia inilah yang kemudian hari melambungkan nama Sudjojono. Namun, perjalanannya sebagai pelukis masih panjang melalui zaman Jepang, Revolusi, Orde Lama, dan Orde Baru kelak.

תגובות

דירוג של 0 מתוך 5 כוכבים
אין עדיין דירוגים

הוספת דירוג
Bung Karno dan Sepakbola Indonesia

Bung Karno dan Sepakbola Indonesia

Meski punya pengalaman kurang menyenangkan di lapangan sepakbola di masa kolonial, Bung Karno peduli dengan sepakbola nasional. Dia memprakarsai pembangunan stadion utama, mulai dari Lapangan Ikada hingga Gelora Bung Karno.
Juragan Besi Tua Asal Manado

Juragan Besi Tua Asal Manado

Bekas tentara KNIL yang jadi pengusaha kopra dan besi tua ini sempat jadi bupati sebelum ikut gerilya bersama Permesta.
Perdebatan dalam Seminar Sejarah Nasional Pertama

Perdebatan dalam Seminar Sejarah Nasional Pertama

Seminar Sejarah Nasional pertama tidak hanya melibatkan para sejarawan, melainkan turut menggandeng akademisi dan cendekia berbagai disiplin ilmu serta unsur masyarakat. Jadi momentum terbitnya gagasan Indonesiasentris dalam penulisan sejarah nasional Indonesia.
Sinong Kurir Kahar Muzakkar

Sinong Kurir Kahar Muzakkar

Terlihat seperti bocah, lelaki berusia 28 tahun ini memberi informasi berharga tentang "dalaman" Kahar Muzakkar kepada TNI.
Misteri Sulap

Misteri Sulap

Berusia setua peradaban manusia, sulap pernah bersanding dengan sihir. Sulap modern masuk pada masa kolonial Belanda. Pesulap Indonesia umumnya keturunan Tionghoa.
bottom of page