top of page

Sejarah Indonesia

Advertisement

Sultan Aman Setelah Pertempuran Tempel 1883

Demi memperjuangkan takhta anaknya, Ratu Kedaton melawan pasukan Belanda. Sebuah pertempuran terjadi di perbatasan Yogya-Magelang.

11 Okt 2024

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Ratu Sekar Kedaton memperjuangkan hak anaknya sampai melawan pasukan Belanda. (Tropenmuseum/Wikipedia.org)

TAK nyaman tinggal istana sepeninggal Sultan Hamengkubuwono (HB) V suaminya, sang permaisuri GKR Sekar Kedaton memilih keluar. Tapi bukan kenyamanan semata yang ingin dikejarnya. Ada hal lebih penting yang ingin ia kejar dengan keluar.


Semua bermula dari ditetapkannya Raden Mas Kadijat oleh Sultan Hamengkubuwono VII sebagai calon penggantinya. Penetapan itu membuat Ratu Kedaton merasa dikhianati. Sebab menurutnya, dulu Sultan HB VI berjanji bahwa Gusti Raden Mas Timur Muhammad alias Pangeran Suryenglogo, putra Ratu Kedaton-HB V, akan naik takhta jika kelak sudah dewasa. Timur lahir 13 hari setelah Sultan HB V wafat.


Maka setelah Sultan HB VII naik takhta, hak takhta untuk Timur terancam hilang dan makin tak jelas setelah Maret 1883. Ratu Kedaton tak bisa tinggal diam. Hak atas takhta anaknya mesti dituntut. Dan itu sulit diupayakan dari dalam istana sudah tak nyaman lagi dirasakannya.


Kamis malam tanggal 5 April 1883 sekitar pukul 8, Ratu Kedaton dan Timur pun keluar istana meninggalkan kota Yogyakarta dengan kereta kuda sewaan. Dalam pelarian itu, sebut Java Bode tanggal 13 April 1883, Ratu Kedaton membawa sejumlah barang seperti bendera, keris emas, dan enam ekor kuda di samping selir-selir anaknya. Kereta mereka bergerak ke arah Magelang. Mereka bertemu dengan para haji dan ulama di tempat pengungsian.


Kepergian mereka rupanya merepotkan pejabat Belanda di wilayah kerajaan itu. Rust en orde (ketertiban) terancam dan itu menganggu tugas mereka. Residen Yogyakarta Bastiaan Van Baak pun mengerahkan militer. Letnan Kohn bersama 25 dragonder (kavaleri berkuda ringan) diperintahkan mengejar mereka.


Menurut De Sumatra Courant tanggal 19 April 1883, rombongan Khon bergerak dua jam setelah kepergian Ratu Kedaton. Di sekitar Kali Krasak, Tempel, perbatasan Magelang-Sleman, mereka mendapati Ratu Kedaton. Kohn langsung menempatkan seorang kopral dan 4 dragonder lain untuk mengintai. Mereka melihat Ratu Kedaton bersama orang-orang yang banyak bersenjata tombak.


Rombongan Kohn akhirnya bertemu mereka dan terlibat perkelahian. Seorang anak buah Kohn terluka karenanya.


Kohn terus berkoordinasi dengan bupati Sleman. Dari informasi antara keduanya itulah militer Belanda menyiagakan pasukan lain di bawah Kapten Bakkenes. Beberapa saat kemudian, pasukan berkekuatan 59 prajurit pimpinan Kapten Bakkens termasuk rombongan yang mendekati posisi Ratu Kedaton.


Jumat (6 April 1883) pagi, pertempuran pecah di sekitar Kali Krasak daerah Tempel. Saking sengitnya, De Locomotief tanggal 9 April 1883 menyebut Kohn sampai terluka dalam pertempuran tersebut.


Setelah pukul 10 pagi, sekitar 140 orang pihak Ratu Kedaton bergerak ke Muntilan. Pangeran Timur lebih dulu jatuh ke tangan otoritas kolonial. Ratu Kedaton bersama tiga pengikutnya yang tersisa pun terdesak. Pada 8 April, ia pun menyerah kepada residen Kedu (Magelang).


Militer Belanda membawanya ke Tempel lagi. Letnan Kohn lalu menjemput Ratu Kedaton untuk kemudian dibawa ke Yogyakarta. Di sana, sudah ada Timur Muhammad yang, menurut Java Bode tanggal 13 April 1883, ditangkap pada hari pertempuran di Tempel yakni Jumat, 6 April 1883. Timur dikurung di ruang tahanan Benteng Vredeberg. Ratu Kedaton dan para pengikutnya, termasuk para bangsawan berpengaruh, kemudian ditahan juga.


Ratu Kedaton dan Timur Muhammad kemudian dibuang ke Manado. Mereka tak pernah kembali ke Jawa. Timur tutup usia pada 12 Januari 1901 dan Ratu Kedaton mengikuti pada 25 Mei 1918, juga di Manado.


Setelah pemberontakan yang gagal berkat kerja keras tentara kolonial yang dipimpin perwira macam Kohn dan Bakkenes itu, kekuasaan Sultan Hamengkubuwono VII kembali aman. Dari Sultan Hamengkubowono VII, takhta kemudian turun ke anaknya (yang kemudian Hamengkubowono VIII), lalu ke cucunya (Hamengkubowono IX), dan kini cicitnya (Hamengkubowono X). Jadi sudah lebih dari seabad keturunan Hamengkubowono VI berkuasa di Kesultanan Yogyakarta Hadiningrat.

Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian

Advertisement

Tedy Jusuf Jenderal Tionghoa

Tedy Jusuf Jenderal Tionghoa

Tedy masuk militer karena pamannya yang mantan militer Belanda. Karier Tedy di TNI terus menanjak.
Alex Kawilarang Menolak Disebut Pahlawan

Alex Kawilarang Menolak Disebut Pahlawan

Alex Kawilarang turut berjuang dalam Perang Kemerdekaan dan mendirikan pasukan khusus TNI AD. Mantan atasan Soeharto ini menolak disebut pahlawan karena gelar pahlawan disalahgunakan untuk kepentingan dan pencitraan.
Mengakui Tan Malaka Sebagai Bapak Republik Indonesia

Mengakui Tan Malaka Sebagai Bapak Republik Indonesia

Tan Malaka pertama kali menggagas konsep negara Indonesia dalam risalah Naar de Republik Indonesia. Sejarawan mengusulkan agar negara memformalkan gelar Bapak Republik Indonesia kepada Tan Malaka.
Perang Jawa Memicu Kemerdekaan Belgia dari Belanda

Perang Jawa Memicu Kemerdekaan Belgia dari Belanda

Hubungan diplomatik Indonesia dan Belgia secara resmi sudah terjalin sejak 75 tahun silam. Namun, siapa nyana, kemerdekaan Belgia dari Belanda dipicu oleh Perang Jawa.
Prajurit Keraton Ikut PKI

Prajurit Keraton Ikut PKI

Dua anggota legiun Mangkunegaran ikut serta gerakan anti-Belanda. Berujung pembuangan.
bottom of page