- Petrik Matanasi
- 2 Mei
- 3 menit membaca
SETELAH kembali dari Negeri Belanda untuk menjalani pembuangan sekitar enam tahun karena artikelnya, “Als ik eens Nederlander was” (Seandainya aku seorang Belanda), Raden Mas Suwardi Surjaningrat menempuh cara lain dalam melanjutkan perjuangannya. Bukan lagi lewat tulisan seperti ketika bersama Indisch Partij dan De Express, kali ini dia berjuang dengan memakai sekolahan alias lewat pendidikan. Di kota asalnya, Yogyakarta, dia mendirikan National Onderwijs Institut Taman Siswa pada 3 Juli 1922.
Taman Siswa menjadi wadah pertama dalam penanaman budaya bangsa kendati sistem yang dianutnya sistem Barat. Suwardi menggagas Patrap Triloka terkait bagaimana sikap seharusnya seorang guru kepada muridnya. Seorang guru harus memberi teladan (ing ngarsa sung tulada), seorang guru harus membangun kemauan dan inisiatif (ing madya mangun karsa), dan seorang guru harus mendorong siswanya ke arah kemajuan (tut wuri handayani). Poin terakhir diadopsi pemerintah Republik Indonesia setelah Indonesia merdeka hingga dijadikan jargon dunia pendidikan Indonesia.
“Menurut KHD (Ki Hadjar Dewantara, red.) pendidikan yang mengena kepada bangsa Timur adalah pendidikan yang humanis, kerakyatan, dan kebangsaan. Tiga hal inilah dasar jiwa KHD untuk mendidik bangsa dan mengarahkannya kepada politik pembebasan atau kemerdekaan,” tulis Museum Kebangkitan Nasional dalam Ki Hajar Dewantara, “Pemikiran dan Perjuangannya”.
Awalnya, menurut buku Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Istimewa Yogyakarta, Taman Siswa hanya membangun Taman Anak dan Taman Guru. Namun, kemudian didirikan pula Taman Dewasa dan Taman Muda. Dalam hitungan tahun, Taman Siswa juga membangun SD yang berupa Hollandsche Inlandsch School (HIS), sekolah dasar pribumi tujuh tahun berbahasa Belanda. Taman Siswa pun memiliki Meer Uidgebried Lager Onderwijz (MULO) yang setara SMP. MULO Taman Siswa punya sekitar 238 murid. Taman Siswa cukup peduli kepada remaja-remaja yang belum punya ijazah setara HIS dengan membangun Schakel School (sekolah lanjutan) hingga mereka punya ijazah setara HIS.
“Berdirinya sekolah pertama adalah tepat pada waktu keinginan dari orang Indonesia bertambah besar untuk meninggikan derajatnya dalam masyarakat dengan perantaraan pengajaran,” catat W. le Fèbre dalam Taman Siswa Ialah Kepertjajaan kepada Kekuatan Sendiri untuk Tumbuh.
Taman Siswa kemudian memiliki banyak sekolah yang tersebar di Jawa, bahkan Sumatra dan Kalimantan. Jumlah itu termasuk beberapa sekolah yang telah berdiri lalu menyerahkannya ke Tmaan Siswa, seperti sekolah Budi Utomo di Jatibaru, Jakarta. Alhasil pada 1929, tujuh tahun setelah pendiriannya, Taman Siswa telah memiliki 40 cabang.
“Semula didirikan pada tahun 1922 di Yogyakarta, sekarang ini perguruan Taman Siswa meliputi 40 cabang, 3 di antaranya di Sumatra Timur dan 4 di Keresidenan Kalimantan Selatan dan Timur, dengan jumlah murid 5.140 orang,” tulis Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto dalam Sejarah Nasional Indonesia: Zaman Kebangkitan Nasional dan Masa Republik Indonesia, +1900-1942 mengutip Mededeelingen der regeering omtrent enkele onderwerpen van algemeen belang.
Namun, Taman Siswa tak hanya mendidik anak-anak yang tidak punya privilige untuk bersekolah di sekolah negeri yang dibangun pemerintah kolonial. Sesuai maksud pendiriannya untuk wadah perjuangan, Taman Siswa juga menampung pemuda-pemuda terpelajar Indonesia yang tidak bekerja kepada pemerintah kolonial.
Sindoedarsono Soedjojono (1913–1985) merupakan salah pemuda lulusan Taman Siswa dalam kategori tersebut. Lulusan Taman Guru yang pandai melukis ini kemudian menularkan bakatnya dengan mengajar di sekolah dasar Taman Siswa sebagai guru gambar. Profesi itu dilakoninya sepanjang masa mudanya sebelum dia sibuk dengan organisasi juru gambar Indonesia.
Pemuda lain bernama Manai Sophian (1915–2002). Setelah lulus dari Taman Dewasa, dia juga bergelut dalam pergerakan nasional sebagai guru di Taman Siswa Makassar.
“Bersama perguruan kebangsaan Taman Siswa, sekolah-sekolah adalah wadah perjuangan bangsa,” terang Abdul Latief Hendraningrat dalam Bunga Rampai Perjuangan dan Pengorbanan II.
Pemerintah kolonial Hindia Belanda pun mengkhawatirkan berkembangnya Taman Siswa dan sekolah-sekolah swasta lain yang bermunculan. Taman Siswa dan sekolah-sekolah swasta lain lalu dijegal pemerintah lewat Ordonansi Sekolah Liar.
Namun, itu tak membuat Taman Siswa mati. Suwardi yang sudah mengganti namanya menjadi Ki Hajar Dewantara (KHD) tak tinggal diam.
“Pada 1 Oktober 1932 KHD mengumumkan tantangannya terhadap ordonansi itu lewat telegram kepada Gubernur Jenderal de Jonge bahwa KHD akan mengorganisasikan perlawanan masif. Pada 3 Oktober dikeluarkan manifesto yang menganjurkan perlawanan,” tulis Museum Kebangkitan.
Gerakan yang diinisiasi Ki Hadjar berhasil. Ordonansi pemerintah itu akhirnya dihentikan pada 1933.Setelah Indonesia merdeka, Taman Siswa dan alumninya menjadi pendukung Republik Indonesia. Selain Ki Hadjar sendiri menjadi menteri, alumnus-alumnusnya seperti Manai Sophiaan ikut berjuang dalam mempertahankan kemerdekaan. Sekolah Taman Siswa di daerah Garuda, Jakarta, semasa revolusi bahkan menjadi sarang pendukung republik meski kota Jakarta sedang diduduki tentara Belanda. Dari kantong-kantong perlawanan seperti itulah perang gerilya dilancarkan.
Di antara sekolah-sekolah Taman Siswa itu kemudian juga melahirkan seniman top. Ateng dan Benyamin Sueb dua di antaranya.
Namun, kini zaman telah berubah. Dalam bidang pendidikan, peran pemerintah amat dominan. Kendati beberapa sekolah Taman Siswa masih berdiri sekarang dan belakangan Taman Siswa juga membangun Universitas Sajana Wiyata Taman Siswa di Yogyakarta, Taman Siswa tergilas roda zaman. Ia kalah bersaing dengan sekolah sekolah dari lembaga lain. Greget Taman Siswa pun tak sehebat di zaman kolonial. Mungkin karena tak adanya figur sentral macam Ki Hadjar lagi di dalamnya.*
Comments