top of page

Sejarah Indonesia

Taman Siswa Wadah Menjadi Manusia

Taman Siswa Wadah Menjadi Manusia

Sekolah seharusnya tak hanya mengajarkan keterampilan semata. Dimensi kemanusiaan penting dihadirkan seperti di Taman Siswa.

Oleh :
8 Agustus 2020
bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

...

  • Aryono
  • 9 Agu 2020
  • 2 menit membaca

Butet Kartaredjasa, si raja monolog, ternyata mengidolakan Ki Hadjar Dewantara. Menurut Butet, Ki Hadjar sukses memberi sentuhan kemanusiaan di Taman Siswa, satu hal yang dilupakan institusi pendidikan di Indonesia dewasa ini.


Ki Hadjar Dewantara –nama mudanya Soewardi Soerjaningrat– terlahir dari lingkungan ningrat Paku Alaman di Yogyakarta pada 2 Mei 1889. Di usia 23 tahun, bersama Ernest Douwes Dekker dan Tjipto Mangoenkoesoemo, dia mendirikan Indische Partij, yang membuatnya masuk penjara.


Gagal di politik praktis, Ki Hadjar merintis Onderwijs Instituut Tamansiswa atau Perguruan Nasional Taman Siswa pada Juli 1922. Sekolahnya meluas, kendati pemerintah Hindia Belanda mencapnya sebagai “sekolah liar”.


Disela-sela kesibukannya menyiapkan pentas Gundala Gawat di Gedung Kesenian Jakarta, Butet berbagi cerita tentang sosok Ki Hadjar dan pengalamannya bersekolah di Taman Siswa. Berikut wawancaranya:


Mengapa Anda mengidolakan Ki Hadjar Dewantara?


Karena dia peletak dasar pendidikan formal, yang dalam mengimplementasikannya tetap mempertimbangkan sentuhan kemanusiaan. Jadi anak didik tak diperlakukan hanya seperti angka-angka, namun juga subjek untuk mengembangkan diri.


Apa arti merasakan sentuhan kemanusiaan itu?


Saya menyelesaikan SMP di sana, waktu itu Taman Dewasa Ibu Pawiyatan. Saya merasa betul ada dimensi kemanusiaan di sana. Anak didik dihargai secara utuh, punya martabat, punya harga diri.


Jadi, ukurannya bukan sukses akademik, namun sukses sebagai manusia. Bagi saya itu lebih penting. Dan tiga nilai dari ajaran Ki Hadjar ada di sana, ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani; yang di depan memberi contoh, di tengah memberi semangat, dan di belakang mendorong.


Apa saja yang diajarkan di Taman Siswa?


Waktu itu, misalnya mata pelajaran ke-Taman Siswa-an, yang gak ada di sekolah lain. Isinya ya tentang sejarah. Sejarah Ki Hadjar. Cita-citanya. Nilai-nilai kebangsaannya. Kemudian ada pelajaran ekstra, yaitu pencak silat dan menari; salah satu wujud menghargai produk kebudayaan dan menanamkan nilai.


Butet Kartaredjasa bersama Presiden Joko Widodo Istana Merdeka, 6 April 2018. (Kantor Staf Presiden).
Butet Kartaredjasa bersama Presiden Joko Widodo Istana Merdeka, 6 April 2018. (Kantor Staf Presiden).

Apakah nilai-nilai yang diajarkan Taman Siswa itu memengaruhi Anda?


Jelas. Saya mulai mencintai sastra, membaca novel, itu dimotivasi oleh guru saya, guru bahasa Indonesia yang namanya Pak Rusmiadi atau Ki Rusmiadi. Lalu suka melukis, mengelola majalah dinding, yang memotivasi Ki Sukirno. Mereka memberi perhatian khusus. Namanya anak SMP kan bangga mendapat penghargaan personal, dan menjadi rajin. Saya yang sebelumnya bandel, suka membolos, kemudian menjadi percaya diri dan merasa bangga karena merasa punya talenta.


Sampai saat ini, saya selalu memakai sandal “Taman Siswa”, sandal yang dulu dikenakan guru-guru di Taman Siswa. Mungkin jalan sejarah hidup saya akan lain jika tidak sekolah di Taman Siswa. Di situlah terbuka perspektif saya.


Semangat apa yang Anda dapatkan dari sosok Ki Hadjar Dewantara?


Semangat ayah saya mendirikan padepokan Bagong Kussudiardja tidak jauh beda dengan semangat Ki Hadjar Dewantara ketika mendirikan Taman Siswa. Nah, sepeninggal Pak Bagong, saya mengelola padepokan Bagong Kussudiardja, dengan warisan semangat yang sama pula.


Sekarang saya meneruskan cita-cita almarhum ayah saya, menanamkan visi kepada orang yang datang belajar di padepokan, yang bukan sekadar belajar keterampilan seni namun juga menciptakan manusia yang punya integritas, mimpi besar, dan tanggung jawab sosial. Di titik ini, ayah saya dipengaruhi Ki Hadjar Dewantara, sedang saya dipengaruhi ayah saya. Jadi, ini suatu rentetan, suatu produk pendidikan yang bukan model kurikulum, karena ada dimensi kemanusiaannya. 

Comments

Rated 0 out of 5 stars.
No ratings yet

Add a rating
Ayah dan Anak dalam Delegasi Indonesia di Konferensi Meja Bundar

Ayah dan Anak dalam Delegasi Indonesia di Konferensi Meja Bundar

Margono Djojohadikusumo dan Sumitro Djojohadikusumo menjadi anggota delegasi Republik Indonesia dalam Konferensi Meja Bundar. Ayah dan anak ini berunding dalam komisi keuangan dan ekonomi.
Ikut Piala Dunia, Hukom Naik Pangkat

Ikut Piala Dunia, Hukom Naik Pangkat

Di luar lapangan hijau, Hukom hanya serdadu rendahan. Keikutsertaannya di Piala Dunia membuat pangkatnya naik.
Anwar Sutan Saidi, Konglomerat yang Berdayakan Rakyat

Anwar Sutan Saidi, Konglomerat yang Berdayakan Rakyat

Bermula dari keinginan berdayakan ekonomi rakyat, Anwar Sutan Saidi kemudian ikut mengongkosi pergerakan nasional di Minangkabau.
Bersantap ala Eropa di Braga

Bersantap ala Eropa di Braga

Restoran Maison Bogerijen yang kini Braga Permai menjadi saksi bisu sejarah kuliner dari era Hindia Belanda yang masih tersisa.
Zulkifli Lubis Sabotase Pelantikan Bambang Utoyo

Zulkifli Lubis Sabotase Pelantikan Bambang Utoyo

Ketika Zulkifli Lubis memboikot pelantikan Bambang Utoyo sebagai KSAD.
bottom of page