top of page

Sejarah Indonesia

Advertisement

Tangan Besi Daendels dalam Menjaga Ketertiban di Jawa

Daendels menggunakan kebijakan tangan besi untuk menjaga ketertiban di Jawa. Hukuman yang diberikan beragam, mulai dari pemecatan, penjara, hingga dibuang.

3 Jul 2025

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Potret Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels (1808-1811) dalam lukisan karya Raden Saleh. (KITLV).

HERMAN Willem Daendels diangkat menjadi Gubernur Jenderal Hindia Timur pada 29 Januari 1807. Ia diberikan dua tugas penting oleh Raja Belanda Louis Napoleon, adik Napoleon Bonaparte, yakni mempertahankan wilayah Jawa agar tak jatuh ke tangan Inggris dan melakukan reformasi birokrasi, termasuk membenahi sistem administrasi, demi mewujudkan pemerintahan yang bersih di Hindia Timur.


Menurut Guru Besar Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, Djoko Marihandono, dalam disertasinya “Sentralisme Kekuasaan Pemerintahan Herman Willem Daendels di Jawa 1808-1811: Penerapan Instruksi Napoleon Bonaparte,” hingga saat kedatangan Daendels di Pulau Jawa, sistem administrasi pemerintahan di wilayah tersebut sangat lemah. Karena kelemahan itu, kehormatan dan kepentingan negara seringkali dikorbankan. Hal ini terlihat dari kondisi moral pegawai di berbagai dinas yang rusak akibat sistem administrasi yang ada.


Kelemahan lain para pejabat tinggi adalah sifat mudah menyetujui dan mudah mengalah. Sifat ini dianggap sebagai penghambat bagi pengawasan yang seharusnya dijalankan oleh para pejabat berwenang.


“Ini, ditambah sifat mudah menyerah karena rendahnya gaji yang mereka terima, sehingga memacu para pejabat untuk mencari pendapatan tidak sah seperti perdagangan gelap, perbedaan bobot hasil bumi, tunggakan pembayaran, penyusutan berat, kebocoran, keuntungan pribadi sumbangan, upeti, dan penerimaan kerja wajib yang menindas para penduduk pribumi,” tulis Djoko.


Ironisnya, kebobrokan ini tak hanya dilakukan oleh para pejabat rendah. Para pejabat tinggi juga melakukannya. Akibatnya, beberapa upaya untuk mengatasi masalah ini sering mengalami kegagalan. Sebab, keburukan menutupi keburukan yang lain. Atas dasar hal ini, setibanya di Jawa, Daendels menerapkan kebijakan tangan besi untuk memenuhi tanggungjawabnya.


Tokoh pers dan sejarawan Rosihan Anwar menulis dalam Sejarah Kecil Petite Histoire Indonesia Jilid 3, kejahatan pertama yang dihadapi Daendels, selain ketidaefisienan dalam administrasi pemerintah, adalah korupsi. Untuk mengatasi hal ini, pejabat pemerintah dilarang melakukan atau terlibat bisnis perdagangan. Selain itu, uang suap atau hadiah tidak boleh diberikan kepada pejabat. Timbangan bobot barang dan bobot minimum barang pun diatur. Tak hanya itu, Daendels juga memberlakukan larangan menebang kayu secara liar dan tidah sah atau illegal logging.


“Sebagai Gubernur Jenderal yang baru, Daendels tahu keadaan sebenarnya bekas pegawai VOC. Maka ia berusaha menaikkan gaji para karyawan. Ia menganggap bahwa korupsi disebabkan rendahnya gaji pegawai. Pada zaman Kompeni, para Bupati tidak mendapat gaji. Kepada mereka hanya diberikan sebidang tanah sebagai gaji dan sebagai ganjaran atas kesetiaan kepada Kompeni,” tulis Rosihan.


Oleh karena ini, dalam peraturan yang baru, Daendels tidak hanya melarang penyogokan pejabat dan pegawai, tetapi juga memberikan gaji yang layak kepada pegawai, termasuk pejabat tinggi di Jawa. Gajinya dalam bentuk ringgit dengan besaran yang telah ditentukan. Misalnya, seorang Gezaghebber (kepala pemerintahan lokal setingkat distrik, red.) di Surabaya menerima gaji 20.000 ringgit setahun. Untuk prefek (pejabat tinggi pemerintah), gajinya berbeda dari satu daerah dengan daerah lainnya. Contohnya, seorang prefek di Gresik menerima 10.000 ringgit per tahun, sedangkan prefek di Semarang mendapat gaji 20.000 ringgit per tahun.


Pendapatan tersebut diharapkan tidak hanya memberikan jaminan hidup yang layak sesuai tanggungjawab kerja para pegawai, tetapi juga membangkitkan semangat pejabat untuk bekerja lebih baik dan mengutamakan kepentingan negara dibandingkan kehendak pribadi. Itu sebabnya, bila ada pegawai melakukan korupsi aset-aset negara mencapai 3.000 ringgit, hukumannya mati.


Para bupati dan pejabat pribumi juga dibebaskan dari uang bekti yang sebelumnya diberikan pada saat pelantikan menjadi pejabat. Bila hal ini dilakukan, pejabat tersebut akan dipecat. “Semua penindasan dan pemerasan atas orang biasa yang dilakukan oleh para pejabat pribumi akan segera dihukum dengan risiko kehilangan jabatan, ditahan, dan dihukum,” tulis Djoko.


Hukuman Daendels

Tangan besi Daendels terlihat dalam kisah yang ditulis arsiparis Belanda, Frederik de Haan dalam Oud Batavia Volume 2. Sebagai upaya mewujudkan ketertiban di masyarakat, Daendels pernah menahan beberapa orang selama dua minggu karena menolak membayar tempat duduk saat melakukan perjalanan darat ke sebuah wilayah di Pulau Jawa dengan angkutan penumpang.


Daendels memiliki hak untuk memutuskan vonis pengadilan. Vonis yang dijatuhkan oleh gubernur jenderal yang dijuluki Tuan Besar Guntur itu bisa lebih berat atau lebih ringan dari vonis pengadilan. Contohnya kasus yang terjadi tahun 1808.


Pada Mei 1808, seorang kapten di Cirebon berbuat kasar terhadap orang-orang pribumi, yang dicurigai telah mencuri barang dari para majikannya, sehingga dua orang meninggal dunia. Dalam keputusan Daendels tanggal 25 Agustus 1808 disebutkan, kapten tersebut, baik di dalam maupun di luar dinas, selama penyelidikan dinyatakan bersalah kepada banyak orang yang menjadi bawahannya, karena sering memukuli wajah mereka. Kapten itu juga didakwa telah menjual persediaan beras demi keuntungan sendiri dan menggunakan pasukannya demi kepentingan pribadi yang bertentangan dengan perintah tanggal 30 Januari 1808. Sebagai pelajaran bagi anak buahnya yang lain, Daendels memecat kapten tersebut.


Nasib serupa dialami seorang Residen di Solo yang dilaporkan telah mencuri uang dan perhiasan milik pangeran yang meninggal bernilai hingga 39.800 ringgit Spanyol. Harta benda tersebut diambil dengan alasan sebagai jaminan bagi istri dan putranya. Dalam keputusan tanggal 31 Januari 1809, Daendels memecat Residen ini.


Kasus lain menimpa seorang kapten dari kesatuan artileri berkuda, yang kudanya tidak mampu berjalan ketika bergerak. Ia secara sewenang-wenang merampas seekor kuda milik mantri seharga 20 ringgit Spanyol. Dalam keputusan tanggal 10 Mei 1809, Daendels menjatuhkan hukuman pembayaran ganti rugi yang harus dibayar oleh kapten itu seharga 40 ringgit Spanyol. “Keputusan itu diumumkan dalam perintah harian kepada pasukan dengan tujuan untuk memperingatkan kepada setiap orang yang akan melakukan tindakan serupa,” tulis Djoko.


Di Surabaya, seorang petugas keuangan di pengadilan tinggi dilaporkan telah memeras dua orang tahanan Cina sebesar 1.000 ringgit perak untuk pembebasan mereka dari tuduhan. Petugas itu dinyatakan melanggar sumpah jabatan dan tidak berhak lagi mengabdi kepada Raja Belanda. Ia diusir dari wilayah koloni dengan menggunakan kapal.


Sementara itu, seorang prefek Ujung Timur dihukum kurungan selama 14 hari kerja tanpa boleh keluar dengan dijaga oleh seorang kapten yang harus memberinya makan. Hukuman itu diberikan karena ia mengabaikan persoalan penting bagi pemerintah dan bertindak sendiri tanpa berkoordinasi dengan atasannya.*

Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian

Advertisement

Tedy Jusuf Jenderal Tionghoa

Tedy Jusuf Jenderal Tionghoa

Tedy masuk militer karena pamannya yang mantan militer Belanda. Karier Tedy di TNI terus menanjak.
Mengakui Tan Malaka Sebagai Bapak Republik Indonesia

Mengakui Tan Malaka Sebagai Bapak Republik Indonesia

Tan Malaka pertama kali menggagas konsep negara Indonesia dalam risalah Naar de Republik Indonesia. Sejarawan mengusulkan agar negara memformalkan gelar Bapak Republik Indonesia kepada Tan Malaka.
Perang Jawa Memicu Kemerdekaan Belgia dari Belanda

Perang Jawa Memicu Kemerdekaan Belgia dari Belanda

Hubungan diplomatik Indonesia dan Belgia secara resmi sudah terjalin sejak 75 tahun silam. Namun, siapa nyana, kemerdekaan Belgia dari Belanda dipicu oleh Perang Jawa.
Prajurit Keraton Ikut PKI

Prajurit Keraton Ikut PKI

Dua anggota legiun Mangkunegaran ikut serta gerakan anti-Belanda. Berujung pembuangan.
Dewi Sukarno Setelah G30S

Dewi Sukarno Setelah G30S

Dua pekan pasca-G30S, Dewi Sukarno sempat menjamu istri Jenderal Ahmad Yani. Istri Jepang Sukarno itu kagum pada keteguhan hati janda Pahlawan Revolusi itu.
bottom of page