- Randy Wirayudha
- 25 Apr
- 5 menit membaca
SUATU malam pada tahun 2012 di kediaman musim panas “Bapa Suci” di Castel Gandolfo, Italia, Kardinal Jorge Mario Bergoglio (diperankan Jonathan Pryce) menunggu Paus Benediktus XVI (Anthony Hopkins) sembari menyaksikan pertandingan sepakbola di televisi di ruang kerja Paus. Begitu sang tuan rumah datang, Kardinal Bergoglio berdiri menyambut dan mematikan televisinya.
“Tidak, biarkan saja,” kata Paus Benediktus XVI.
“Tidak, tidak apa-apa. Sudah saya matikan. Saya tahu Anda suka sepakbola,” ujar Kardinal Bergoglio.
“Sebenarnya saya sendiri tidak pernah paham antusiasme (sepakbola) itu,” jelas sang Paus.
“Benarkah? Bahkan tidak saat sedang ada Piala Dunia? Anda tahu, tim nasional Anda (Jerman) dan tim saya (Argentina) bisa saja masuk final tahun depan,” timpal Kardinal.
Begitulah sebuah premis di tengah babak film drama The Two Popes (2019) garapan sineas Fernando Meirelles. Filmnya mengisahkan masa-masa akhir Paus Benediktus XVI menjelang pengunduran dirinya dan kelak digantikan Kardinal Bergoglio yang memakai nama Paus Fransiskus.
Kedua Bapa Suci itu punya pandangan berbeda terhadap berbagai isu dunia. Paus Benediktus XVI terkesan konservatif sementara Paus Fransiskus lebih reformis. Namun keduanya tetap berhubungan karib.
Kedekatan itu turut digambarkan Meirelles lewat adegan Paus Fransiskus menjenguk Paus Benediktus XVI di Castel Gandolfo pada musim panas 2014. Keduanya bercengkerama seharian, termasuk dengan menonton final Piala Dunia 2014 di televisi yang –sesuai “prediksi” sebelumnya– menampilkan Argentina kontra Jerman.
“Oh lihat, itu Anda! Anda terkenal,” seru Paus Benediktus XVI saat kamera pertandingan menyorot suporter Argentina dengan spanduk wajah Paus Fransiskus.
“Baguslah Anda sekarang paham antusiasme (sepakbola) itu,” ujar Paus Fransiskus.
Keduanya saling menikmati pertandingan dengan camilan dan bir hingga pada akhirnya di babak perpanjangan waktu di menit ke-113, gol tunggal Mario Götze memecah kebuntuan dan jadi penentu kemenangan Jerman.
“Tidak,” kata Paus Fransiskus berkomentar lirih kala bahunya ditepuk Paus Benediktus XVI.

Kesukaan keduanya terhadap sepakbola adalah fakta. Paus Fransiskus atau Jorge Mario Bergoglio besar di lingkungan kelas pekerja di Buenos Aires dan acap bermain sepakbola di jalanan atau lapangan sekolah bersama teman-teman sebayanya. Namun karena jadi anak sulung, Bergoglio muda tak menaruh harapan pada sepakbola sebagai jalan hidupnya.
Namun sepakbola tetap digemari Bergoglio meski langkah kakinya meniti jalan agama hingga mebawanya menjadi uskup dan kardinal, lalu Paus. Sedari kecil, Paus Fransiskus adalah fans klub Argentina CA San Lorenzo de Almagro. Klub tersebut didirikan pada 1908 atas gagasan pastor Katolik imigran Italia, Lorenzo Massa.
Setelah San Lorenzo menjuarai Copa Libertadores 2014, Paus Fransiskus mengundang segenap anggota tim dan ofisialnya ke Vatikan. Oleh karenanya, San Lorenzo turut amat memendam kepedihan setelah mengetahui kabar wafatnya Paus Fransiskus pada Senin (21/4/2025) lalu. Pihak klub mengadakan misa pada Rabu (23/4/2025) untuk mendoakan mendiang Bapa Suci yang baru akan dimakamkan pada Sabtu (26/4/2025) pagi.
“Sebagai anggota kehormatan klub, gairahnya untuk San Lorenzo selalu menggerakkan dan menyatukan kami yang akan mendoakan jiwanya. Sejak kecil mendiang sudah mencintai (tim) Biru-Merah. Ia juga sosok kunci bagi kehidupan masyarakat Argentina sebagai figur yang terbuka dan berkomitmen terhadap dunia. Selamat jalan, wahai Bapa! Terima kasih telah memberi teladan bagi kami,” demikian bunyi pernyataan klub di laman resminya, Senin (21/4/2025).

Paus Benediktus XVI
Paus Benediktus XVI juga seorang penggemar sepakbola. Ia tentu bahagia kala negerinya juara Piala Dunia 2014.
Sosok bernama asli Joseph Alois Ratzinger itu lahir di Marktl, Bavaria, Jerman pada 16 April 1927. Keluarga Ratzinger yang berlatarbelakang politikus turut membenci ideologi Naziisme. Namun, di masa remajanya Ratzinger tak bisa menghindar dari panggilan wajib untuk masuk pendidikan Hitjerjugend atau Pemuda Hitler.
Ratzinger memang tak seintens Bergoglio dalam mengikuti sepakbola. Namun seiring mulai populernya sepakbola pada 1970-an, Ratzinger yang sudah menjadi kardinal memandang sepakbola sebagai fenomena global yang begitu menyentuh setiap jiwa manusia hampir sepenting sepotong roti bagi kehidupan masyarakat dunia. Hal itu pernah ia sampaikan saat diwawancara sebuah radio Bavaria seiring turnamen akbar Piala Dunia 1978.
“Dengan melihat kembali di masa Romawi Kuno di mana massa berteriak untuk sepotong roti dan sirkus-sirkus yang sangat mengekspresikan hasrat kehidupan surgawi, untuk kehidupan yang mengenyangkan tanpa berusaha, dan memenuhi rasa bahagia. Karena itulah makna dari permainan (sepakbola, red.): aksi yang benar-benar bebas –tanpa tujuan dan tanpa keharusan melakukannya– sementara memanfaatkan dan memenuhi kekuatan pribadi belaka. Dengan begitu, melalui olahraga seolah menjadi sarana mencicipi surga: sebuah langkah untuk keluar dari kesungguhan yang membabi-buta dari keseharian kita dan itu membuat sesuatu yang serius menjadi tidak serius dan oleh karenanya olahraga itu menjadi indah,” kata Ratzinger, dikutip Kevin Lexy dalam artikel “Game Plan for Maximizing Sport’s Education Potential” di buku Sports and Christianity: Historical and Contemporary Perspective.
Ketika sudah menjadi Paus Benediktus XVI yang dikenal sebagai fans klub kota kelahirannya, Bayern Munich, turut prihatin pada kondisi sepakbola Italia tak lama setelah skandal Calciopoli mendera pada 2006. Keprihatinannya ia sampaikan ketika menyambut kedatangan tim kasta Serie C Italia, AC Ancona, di Vatikan.
“Sepakbola bisa menjadi wahana edukasi nilai-nilai kejujuran, solidaritas, dan persaudaraan, terutama untuk generasi muda. Sepakbola harus terus menjadi alat untuk mengajarkan nilai-nilai etika dan spiritual kehidupan,” ujar Paus Benediktus XVI –yang diberikan sebuah jersey bernomor punggung “16”, sesuai namanya, Benediktus ke-16– sebagaimana dikutip CNN, 10 Januari 2008.

Paus Yohanes Paulus II
Lain Benediktus XVI lain pula pendahulunya, Yohanes Paulus II. Lahir di Wadowice, Polandia pada 18 Mei 1920 dengan nama Karol Józef Wojtyła, ia sudah begitu getol dengan sepakbola sedari kecil hingga punya julukan “Lolek sang Kiper”.
Wojtyła kecil tumbuh di lingkungan masyarakat Katolik dan Yahudi. Saat main sepakbola, ia sering bermain jadi pengawal mistar di tim anak-anak Yahudi di Wadowice, baik saat masih di usia sekolah dasar maupun ketika di sekolah menengah.
“Di masa muda, Wojtyła seorang atlet dan sering bermain sebagai kiper. Masa-masa pertumbuhannya dipengaruhi hubungan dengan komunitas Yahudi Wadowice. Pertandingan-pertandingan sepakbola di sekolah sering digelar antara tim-tim Yahudi dan Katolik dan Wojtyła akan dengan senang hati mengajukan diri sebagai kiper pengganti di tim Yahudi jika mereka kekurangan pemain,” ungkap Pradeep Thakur dalam Most Important People of the 20th Century, Part I: Leaders & Revolutionaries.
Ketika sudah menjadi kardinal dan menduduki Takhta Suci Vatikan mulai 1978 dengan nama Paus Yohanes Paulus II, ia tetap “gila bola”. Diketahui ia jadi fans klub Inggris Liverpool FC dan sebuah klub domestik Polandia, KS Cracovia. Untuk menghormati sang Bapa Suci, Cracovia mempensiunkan nomor punggung “1” yang lazim jadi nomor punggung kiper.
Paus Yohanes Paulus II juga berperan dalam persepakbolaan Vatikan. Asosiasi sepakbolanya sudah eksis seiring lahirnya federasi olahraga Associazione Sportiva Dilettantistica (ASD) Vaticano pada 1972 dan liga amatirnya juga dibentuk setahun kemudian. Kendati tim nasionalnya (timnas) sulit dibentuk karena keterbatasan populasi, timnas Vatikan memainkan laga perdananya pada 1985 melawan sebuah tim jurnalis Austria. Sementara laga persahabatan resmi baru dimainkan pada 25 Oktober 2008 saat menjamu Timnas China U-23. Tim Vatikan juga tercatat pernah bertandang ke Palestina untuk menantang timnas Palestina pada 12 Juni 2011.*
Comments