- Petrik Matanasi
- 24 Jun
- 3 menit membaca
PEMERINTAH Indonesia sedang “jor-joran” dalam pengadaan alutsista, terutama pesawat jet tempur. Setelah memborong Rafale dari Prancis, Indonesia dikabarkan membeli puluhan unit pesawat tempur generasi ke-5 KAAN dari Turki. Pengumuman pembelian itu diumumkan Presiden Turki Recep Teyip Erdogan baru-baru ini.
“Dalam kerangka kerja sama yang telah kami tandatangani dengan negara sahabat dan saudara, Indonesia, sebanyak 48 unit KAAN akan diproduksi di Turki dan diekspor ke Indonesia,” kata Erdogan di laman X-nya, dikutip cnnindonesia.com, 12 Juni 2025.
Terlepas dari pro-kontra yang mengelilinginya, kondisi tersebut jelas berbeda dibanding kondisi ketika Indonesia baru lahir. Kala itu, pesawat masih merupakan barang mewah buat bangsa Indonesia kendati penting. Segelintir pesawat yang dimiliki Indonesia kebanyakan warisan Jepang. Penggalangan dana-penggalangan dana sampai diadakan di beberapa tempat untuk membantu pemerintah membeli pesawat.
Peran pesawat jelas amat penting bagi para insan yang duduk dalam pemerintahan kala itu, terutama yang terkait langsung dengan diplomasi. Lantaran pentingnya diplomasi, sejak awal kemerdekaan perhubungan dengan luar negeri sudah diupayakan. Utusan demi utusan sudah dikirim pemerintah Indonesia ke berbagai negara, baik itu ke Eropa, Asia, ataupun Afrika, untuk mencari dukungan bagi kemerdekaan RI. Para pejabat tinggi RI di Yogyakarta bahkan kerap harus ke luar negeri.
Semua itu memerlukan transportasi udara. Sebab, dengan pesawat udaralah upaya-upaya diplomasi mempertahankan kemerdekaan itu bisa dilakukan dengan lebih cepat. Dengan demikian, peran Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI, kini TNI AU) sangat penting.
Tak hanya memungkinkan diplomasi berjalan lancar dengan lebih cepat, para awak AURI yang menerbangkan pesawat juga mesti memastikan keselamatan para penumpangnya. Ibarat ojek udara yang mengantar penumpangnya, para awak pesawat AURI mesti mencari “jalan tikus” untuk menghindari patroli udara Belanda. Sebab, bertemu dengan patroli udara Belanda kemungkinannya akan ditembak, seperti yang dialami pesawat Dakota CLA dari India yang mengangkut bantuan obat-obatan.
Namun, kala itu bahaya tak hanya datang peluru musuh. Keadaan pesawat RI, yang umumnya dirampas anggota AURI dari milik Jepang, juga memprihatinkan sehingga mempertaruhkan nyawa para pejabat atau diplomat yang hendak ke luar negeri.
“Sebelum memiliki pesawat angkut sendiri, untuk menghubungi daerah-daerah, tahun 1947 AURI menyewa pesawat milik perorangan,” tulis Irna Hanny Nastuti dkk. dalam Awal Kedirgantaraan di Indonesia Perjuangan AURI 1945-1950.
Kala itu, banyak pilot Amerika Serikat memiliki pesawat perorangan yang disewakan. Merekalah yang menjadi “tumpuan” AURI untuk bisa menyewa pesawat.
“Kendati masih bisa terbang, rata-rata kondisinya amat menyedihkan. Pesawat Dakota C-47 kepunyaan Bob Freeberg yang paling parah. Entah sudah berapa operasi yang dialaminya,” catat Ahmad Raoef Soehoed dalam AR Soehoed Menyertai Setengah Abad Perjalanan Republik.
Menurut aturan dari International Civil Aviation Organisation (ICAO), yang dulu disebut PICAO, pesawat-pesawat yang ada itu tidak layak terbang. Namun, aturan tersebut bisa “dibuat cincai” oleh para penyewa asal Indonesia yang amat membutuhkan penerbangan. Jadi pesawat tak layak terbang yang dipaksa terbang sudah dimulai oleh armada udara RI di masa lalu. Bukan semata karena keterpaksaan, tapi juga karena RI yang masih “balita” belum punya banyak uang sehingga budget untuk penerbangan para diplomat/pejabatnya terbatas.
Yang pasti, diplomasi RI butuh pesawat yang ada, bukan pesawat yang bisa terbang berdasar standar internasional. Dangan standarisasi yang minim, pesawat sewaan yang kondisinya menyedihkan itu pun jadi pilihan yang diambil para pejabat RI. Tentu saja risiko kecelakaan dari penerbangan menggunakan pesawat-pesawat tak layak terbang itu lebih besar. Belum lagi, para diplomat/pejabat RI bisa terbunuh oleh para serdadu Belanda seperti para prajurit tempur di sebuah palagan.
Para pilot pesawat sewaan yang bekerja untuk kepentingan RI juga berusaha berhati-hati dalam memilih rute. Jika mereka terbang malam, maka di sekitar wilayah pendudukan tentara Belanda, mereka mematikan lampu. Patokan mereka adalah deburan ombak putih di selatan utara Jawa. Patokan ini tak selalu menuntun ke arah yang benar. Pesawat Bob Freeberg pernah menyasar ke Pamempeuk di Garut, Jawa Barat, ketika ingin mendarat ke Yogyakarta.
Namun, semua risiko itu dikesampingkan oleh para diplomat/pejabat RI sebagai risiko perjuangan. Dengan kenekatan itu mereka bisa terbang ke luar negeri dengan berbagai cara menggunakan pesawat yang ala kadarnya itu.
“Disitulah saya sibuk mengarang dokumen-dokumen dan brevet-brevet yang diperlukan agar memenuhi persyaratan PICAO,” kenang Soehoed, yang sejak 1947 menjadi pimpinan Jawatan Penerbangan Sipil yang kala itu masih berada di bawah AURI.
Kala itu, pesawat dari Indonesia hanya aman mendarat di Manila, Filipina. Di sana, dokumen penerbangan RI bisa disahkan secara internasional dengan lewat “jalur belakang”. Selain itu, Pangkalan Udara Labuan di Kalimantan Utara, yang kini bagian dari Malaysia, adalah tempat pendaratan yang aman bagi pesawat yang bekerja untuk RI.
Selain perkara pesawat, kemampuan pilot yang dimiliki Indonesia juga belum diakui secara internasional. Jadi jika ada pilot Indonesia ikut serta dalam pesawat sewaan dari orang Amerika, paling tinggi hanya bisa jadi co-pilot (pilot pendamping).
benar-benar perjuangan dalam keterbatasan